Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Izinkan Aku Pulang
Kelopak mata Vino bergerak-gerak pelan, perlahan membuka, setelah dokter selesai memeriksa kondisinya.
"Vino sayang, kakak senang kamu sudah sadar," Vina berucap lembut sambil menghapus air matanya diam-diam.
Bocah laki-laki itu menatap sayu, memperhatikan orang-orang yang ada disekitarnya, hingga berhenti pada Vina yang mengusap lembut rambut kepalanya.
Bibirnya mengatup rapat, hanya tangannya yang bergerak-gerak lemah, berusaha melepas ventilator yang menempel pada hidungnya.
"Dokter!" panggil Vina, cemas melihat Vino bersikap seperti itu.
"Sebentar ya Vino. Pelan-pelan, kamu pasti merasa terganggu dengan ini kan?" sang dokter tersenyum lembut, tangan terampilnya segera menjauhkan benda itu setelah berhasil melepasnya.
"Bude..." lirih Vino, masih memandang sayu pada Vina.
"Tenanglah, beberapa pasien tipes kadang kehilangan setengah kesadarannya setelah koma, tapi itu akan kembali pulih, karena Vino sudah melewati masa kritisnya," jelas sang dokter pelan saat Vina menatap kearahnya penuh kecemasan.
Vina menelan salivanya, hatinya trenyuh.
"Vino dingin, Bude. Minta peluk," lirih bocah laki-laki itu.
Vina gegas memeluk Vino. Tanpa terasa, air matanya menggenang, dan luruh begitu saja, merasakan tubuh kecil itu menggigil dalam dekapannya.
"Bude... Vino titip Vaniza ya, kak Vina pasti pulang jemput adek," suara Vino setengah berbisik.
Vina tersedu, sudah tidak mampu menahan kesedihannya, melihat kondisi adik laki-lakinya itu.
"Maafin kakak, Vino. Kakak janji, nggak akan ninggalin kalian lagi."
Dibandingkan dengan Vaniza yang ceria, mudah kesal, dan berekspresi apa adanya, Vino memang lebih pendiam, jarang menunjukan kesedihannya, hanya menyimpan dalam hati untuk dirinya sendiri.
Didepan pintu yang setengah terbuka, Bimo berdiri mematung disana, mendengar dan melihat semuanya. Pria itu mengurungkan niatnya untuk masuk.
...***...
"Ayah sudah makan?" Gunawan bertanya lembut, duduk disamping Lahang sambil membuka bungkusan makanan yang ia beli saat di jalan pulang tadi.
Pria tua beruban itu tidak menjawab, tapi bunyi perutnya yang berkumandang menjadi jawaban atas pertanyaan putra sulungnya itu.
Gunawan tersenyum.
"Aku bawa nasi padang kesukaan Ayah. Dua potong daging rendang dan sepotong dada ayam," ucap Gunawan sambil membuka bungkusan itu.
"Ayah bisa sendiri," Lahang menolak disuap. Suaranya terdengar dalam dan sayup, tergerus usia dan beberapa gigi yang sudah tanggal.
"Baiklah, kalau begitu aku tinggalkan ayah sebentar untuk mandi dan berganti pakaian." Gunawan tersenyum lagi, dan berlalu.
Suasana rumah nampak sepi, tidak ada tanda-tanda kalau Lolita dan Riska ada didalam. Gunawan mendesah kasar, lalu masuk kekamarnya hanya untuk mengambil handuk.
Mulai sekarang, dirinya harus membiasakan diri hidup sederhana.
Kamar mandi yang menempel dengan dapur ini tidak memiliki shower air panas seperti hunian Villa milik Bimo. Untuk membilas tubuhnya, gayung lah yang digunakan untuk mencedok air dari dalam bak.
Sambil mandi, dirinya juga membuka kran air, harus rajin menampung air. Bila tidak, sewaktu-waktu PDAM macet, bisa tidak ada persediaan air dirumah, begitu keterangan sang pemilik kontrakan saat dirinya memilih kediaman sederhana ini.
"Cuh! Cuh! Uhuk! Uhuk!"
"Jorok!"
Gunawan buru mengenakan pakaian dan gegas keluar, begitu mendengar teriakan Riska diluar.
"Lihat, lantai teras kotor! Kalau mau meludah direrumputan sana kakek!" omel Riska kesal.
"Jaga bicaramu Riska! Dia kakekmu!" tegur Gunawan didepan pintu.
"Tapi kakek meludah sembarangan Papi! Riska jijik!" gadis itu seketika mual sambil membekap mulutnya.
"Kalau kamu tidak mau lantainya kotor, bantu kakek kamu berdiri, lalu papah ke rerumputan, biar bisa meludah disana!"
"Nggak mau! Kakek bau," Riska kembali mual, mengingat aroma yang keluar dari tubuh sang kakek yang tidak sedap. Gadis itu berlari, menerobos tubuh ayahnya yang berdiri didepan pintu.
Lahang yang menjadi sumber pertengkaran hanya duduk diam dikursinya, hatinya terluka.
Gunawan kembali mendesah kasar, sangat sulit rasanya mendidik putrinya itu.
Didepan pagar rumah, taxi online berhenti, Lolita turun dari sana setelah membayar ongkosnya. Tangannya penuh dengan barang belanjaannya.
"Mami dari mana saja?" tanya Gunawan datar.
"Jalan-jalan, sumpek tinggal dirumah sempit!"
Gunawan gegas menghalangi, begitu Lolita akan berlalu masuk melewati dirinya.
"Disini ada Ayah mertuamu Mami, setidaknya kamu memberi salam atau menyapanya, jangan menjadi menantu yang tidak punya sopan santun."
Lolita memutar bola matanya jengah.
"Ayah, maafin saya. Saya benar-benar tidak melihat Ayah duduk disudut situ. Selain itu, selama ini kami hanya bertiga, tidak ada orang lain yang tinggal bersama kami," ucap Lolita menatap Lahang.
"Buruk sekali..." Gunawan bergumam, hatinya begitu jengkel mendengarnya.
"Mami salah lagi? Apaan sih maunya Papi? Ngajak bertengkar saja beberapa hari ini! Sudah rumahnya kumuh, bau manusia renta memenuhi rumah, uang jajan Mami juga dikurangi!"
Lolita yang sudah menyimpan rasa dongkolnya langsung menumpahkan semua kekesalannya.
"Berhenti Gun... cukup... Ayah yang salah... harusnya kamu tidak menjemput ayah pulang dari panti..." Lahang angkat bicara, suara dalam dan sayupnya masih jelas terdengar.
"Maafkan aku Ayah, tidak bisa mendidik isteri dan putriku," Gunawan mendekati Lahang, lalu membantu ayahnya itu berdiri.
"Bersihkan lantai teras dan buang bungkusan makanan Ayah ketempat sampah!" perintah Gunawan, sambil memapah ayahnya masuk ke rumah.
"Papi gila?! Mami nggak mau! Kotor, menjijikan!" pekik Lolita tidak terima, lambungnya serasa diaduk-aduk melihat lantai teras penuh lendir.
"Kalau Mami tidak mau, Papi akan menghentikan sepenuhnya uang jajan Mami!" balas Gunawan dari dalam rumah.
...***...
"Bude mana?" Bimo mengedarkan pandangannya keseluruh sudut ruang rawat inap.
"Aku meminta Bude pulang siang tadi, kasian beliau lelah," sahut Vina, memandang sekilas pada Bimo yang baru tiba, lalu kembali fokus mengelap tubuh lengket Vino yang tidurnya gelisah.
"Aku membawa roti manis, dan beberapa camilan. Siapa tahu kamu dan Vaniza lapar ditengah malam."
Vina kembali menoleh, melihat Bimo meletakan barang yang ia sebut itu diatas meja. Pria itu juga mengeluarkan laptopnya yang ia bawa lalu duduk nyaman disofa dekat Vaniza yang sudah terlelap.
"Tuan--, Daddy..." Vina langsung mengubah panggilannya lagi, begitu tatapan tajam Bimo seakan menghujam jantungnya.
"Katakan, aku akan mendengarkanmu Baby," datar Bimo kemudian. Pandangan pria itu kembali beralih pada layar laptopnya, tapi tetap memasang telinganya untuk mendengar apa yang akan Vina katakan.
"Izinkan aku pulang, untuk merawat adik-adikku."
Spontan Bimo mengangkat wajahnya dari laptop didepannya, menatap lekat wajah penuh permohonan Vina padanya.
Bersambung...✍️
syaratnya🤭