"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch~
Lily berjalan tanpa tujuan di sepanjang jalan yang terasa begitu panjang dan sunyi. Malam semakin larut, dan udara kota yang dingin mengingatkannya pada kesendirian yang selalu hadir di dalam hidupnya.
Rumah kontrakan yang terletak di atap sebuah bangunan tua itu, yang selalu menjadi tempat persembunyian untuknya, kini terasa begitu jauh, seolah-olah tempat itu tidak lagi mampu memberi kenyamanan.
Hari itu, seperti banyak hari sebelumnya, hanya dipenuhi dengan kebingungan, kekecewaan, dan kehilangan.
Langkahnya semakin lambat seiring dengan berlarinya waktu. Pikiran-pikiran itu terus berputar, berlarian tanpa kendali, kembali ke masa lalu, saat segala sesuatu masih terasa penuh harapan.
Ia ingat dengan jelas bagaimana ia pertama kali bertemu dengan Hugo, seorang teman kuliah yang selalu ada untuknya.
Dulu, Hugo adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa tidak sendirian, yang memberi arti pada setiap hari yang dilaluinya.
Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang banyak hal, dan perlahan hubungan mereka berubah menjadi lebih dari sekadar persahabatan.
Mereka mulai berpacaran, dan meskipun begitu banyak yang mereka jalani bersama, Lily selalu menjaga jarak dalam hubungan fisik mereka.
Ia selalu percaya bahwa cinta sejati harus dihargai, dan ia ingin hubungan mereka terjaga dengan baik hingga hari pernikahan mereka tiba.
Setiap kali mereka berbicara tentang masa depan, apartemen yang mereka rencanakan menjadi tempat tinggal mereka setelah menikah selalu menjadi bagian dari impian itu.
Hugo, dengan segala kebaikan dan perhatian yang diberikan, membuat Lily merasa bahwa mungkin, akhirnya, hidupnya bisa sempurna. Namun, harapan itu kini hancur dalam sekejap.
Lily menghentikan langkahnya dan menunduk, merasakan sakit yang kembali melanda hatinya. Ia teringat saat baru saja membuka pintu apartemen Hugo dan melihat pemandangan yang tidak pernah ia duga, Hugo, tidur di atas tempat tidur bersama Daisy, teman kantornya.
Ada begitu banyak yang ingin ia katakan saat itu, begitu banyak kata yang ingin ia teriakkan, tetapi yang keluar hanyalah kesedihan yang semakin dalam.
Kebenaran itu datang begitu menghancurkan, seperti pisau yang menembus langsung ke dalam hatinya. Semua yang ia percaya ternyata hanya ilusi belaka.
Malam semakin larut, dan Lily tahu ia harus kembali ke rumah. Namun, setiap langkahnya terasa begitu berat. Dalam kegelapan malam, hanya suara langkahnya yang terdengar, dan angin dingin yang bertiup lembut.
Lily merasa seperti melangkah di antara dunia yang tidak mempedulikannya dan masa depan yang tak pasti. Tiba-tiba, bayangan masa kecilnya muncul di benaknya—kenangan tentang orang tuanya yang telah pergi begitu lama.
Sejak mereka meninggal dalam kecelakaan tragis dua puluh tahun lalu, hidup Lily selalu dipenuhi kesendirian. Neneknya yang tinggal di desa jauh selalu ada untuk memberikan kasih sayang, tetapi perasaan kesepian itu tetap ada, seolah-olah mengikutinya ke mana pun ia pergi.
Seiring berjalannya waktu, Lily berusaha mengatasi segala kesulitan dengan cara yang hanya bisa ia pahami sendiri. Meskipun hidupnya penuh dengan kehilangan, ia selalu berusaha untuk bertahan, bahkan ketika ia merasa dunia ini terlalu besar dan keras untuk seorang gadis kecil yang telah kehilangan segala-galanya.
Setelah beberapa lama berjalan, Lily akhirnya sampai di rumah kontrakannya. Malam semakin larut, dan pikirannya terus menerus dihantui oleh kenangan itu, Hugo, Daisy, dan semua kebohongan yang selama ini ia percayai.
Dengan langkah yang perlahan, Lily berjalan menuju pagar rumah kontrakannya, berharap bisa menemukan kedamaian dalam kesendirian malam itu.
Tetapi begitu ia melihat ke depan, bola matanya membulat. Di sana, di depan pagar, Hugo berdiri, menatap ke arah lain dengan penuh harapan.
Lily sudah menebak, pria itu pasti ingin merayunya lagi, mencoba membuatnya percaya bahwa semuanya bisa diperbaiki.
Namun, hati Lily sudah terlalu hancur untuk bisa mendengarkan kata-kata manis itu lagi. Hatinya begitu sakit, lebih sakit dari apapun yang pernah ia rasakan.
Tidak ada lagi ruang bagi Hugo dalam hidupnya, tidak ada lagi kesempatan untuk kebohongan atau penyesalan yang tidak pernah datang tepat waktu.
Dengan langkah yang cepat, Lily mundur dan berbalik arah, tidak ingin bertemu dengan siapa pun malam itu, terutama dengan Hugo. Ia tak mau lagi mendengar alasan atau permintaan maaf yang kosong.
Kata-kata itu tidak akan menghapus pengkhianatan yang baru saja ia alami. Tanpa menoleh, ia berjalan menjauh, meninggalkan sosok pria yang pernah ia cintai, yang kini hanya menjadi kenangan pahit dalam hidupnya.
Lily tahu ia tidak bisa berlari selamanya. Suatu saat, ia harus menghadapi kenyataan dan melanjutkan hidupnya. Tapi untuk malam ini, ia hanya ingin pergi, menghindari semua orang dan segalanya.
Ia ingin bersembunyi di dunia kecilnya sendiri, di tempat yang bisa memberinya ketenangan sementara, meski hanya untuk beberapa saat.
Saat ia melangkah lebih jauh, langit malam yang gelap semakin menyelimuti kota, seolah memberikan perlindungan bagi Lily yang terluka.
Dalam sepi dan kesedihan, Lily berjalan sendirian, dengan hati yang penuh luka dan pikiran yang kosong. Namun di dalam kegelapan malam itu, ada satu hal yang ia tahu pasti, meskipun dunia ini terasa begitu berat, ia akan bertahan. Ia harus bertahan, demi dirinya sendiri.
Suara deringan ponsel Lily memecah keheningan malam yang semakin pekat. Nama Emma muncul di layar, sang nenek yang tinggal di desa jauh.
Lily tahu betul apa artinya panggilan ini. Pasti Hugo yang menghubungi neneknya dan memberitahunya bahwa mereka hanya bertengkar soal masalah kecil.
Itu adalah cara Hugo untuk menenangkan semua pihak, meyakinkan orang-orang yang peduli padanya bahwa semuanya baik-baik saja, meskipun kenyataannya jauh dari itu.
Lily memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong, jari-jarinya terhenti sejenak di atas tombol terima panggilan.
Pikirannya berputar, namun hati kecilnya sudah tahu, ia tidak ingin berbicara dengan siapapun saat itu. Terutama dengan nenek yang selalu berusaha mengerti dan menenangkan hatinya.
Lily tahu, jika dia mengangkat telepon itu, neneknya akan meminta penjelasan yang akan semakin membuatnya merasa terpojok. Perasaan yang begitu rapuh, hancur dan tak ingin dibebani lebih jauh.
Dengan satu napas panjang, Lily mengirimkan pesan singkat kepada Emma, memberitahunya bahwa ia sedang sibuk bekerja dan akan menelepon kembali setelah pekerjaannya selesai.
Setelah mengirimkan pesan tersebut, Lily menundukkan kepalanya, merasakan berat di dadanya yang semakin mencekik.
Ada sesuatu yang sangat menyakitkan dalam kata-kata itu, kebohongan yang harus ia sampaikan agar tidak mengecewakan neneknya, dan kebohongan itu seperti memisahkannya lebih jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Lily merasa kesepian di tengah keramaian kota, meskipun tidak ada seorang pun di dekatnya. Tanpa bisa menahan lagi, ia duduk jongkok di pinggir jalan, berusaha melawan perasaan yang semakin membanjir.
Dan akhirnya, air matanya pun jatuh, tak terbendung lagi. Tangisnya begitu keras, seolah-olah seluruh dunia ikut menangis bersamanya. Lidahnya kaku, tidak bisa berbicara apa-apa selain isak tangis yang tak henti-henti.
Seketika, kenangan tentang masa kecilnya muncul di pikirannya. Kepergian orang tuanya yang begitu tragis, hidupnya yang selalu merasa kesepian, dan kini, pengkhianatan dari orang yang sangat ia percayai.
Semua itu mengalir begitu deras, membuatnya merasa seolah-olah tidak ada lagi tempat untuknya di dunia ini.
Air mata Lily terus mengalir, seolah-olah ia ingin mengeluarkan semua rasa sakit yang menumpuk selama bertahun-tahun. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menangis, merasakan kepedihan yang terlalu besar untuk dipikul sendiri.
Lily ingin berteriak, ingin melawan semua ini, namun suara hatinya tertutup oleh kesedihan yang begitu dalam. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah ruang kosong, tanpa harapan, tanpa jalan keluar.
Lily tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah hari itu. Ia merasa hancur, seperti segala sesuatunya telah runtuh begitu saja, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk bangkit.
Namun, dalam kesedihannya yang mendalam, ada satu hal yang tetap ada, keinginan untuk melupakan dan melangkah jauh dari semua yang telah terjadi. Tapi entah bagaimana, dalam kekosongan itu, Lily tahu ia harus tetap bertahan.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰