Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 ALAM BAWAH SADAR.
Cintia menggenggam kertas itu erat-erat hingga kusut di tangannya. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang mulai membakar dadanya. Araf, yang selama ini ia anggap sebagai seseorang yang peduli, kini justru menjadi ancaman.
Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan melangkah cepat kembali ke dalam toko, meninggalkan Araf yang masih duduk di bangku. Araf hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan cemas, merasa ada sesuatu yang benar-benar salah.
Namun, yang tidak Araf sadari, Cintia tidak hanya sekadar marah. Ia sedang berpikir keras tentang langkah selanjutnya.
Malam itu, di dalam kamar yang remang-remang, Cintia duduk di depan meja kerjanya dengan tatapan kosong. Kotak kecil berisi semua bukti dan rencananya masih tersembunyi di bawah tumpukan buku. Namun, ada satu masalah baru yang harus ia selesaikan: Araf.
“Aku nggak bisa biarin dia ngancurin semuanya,” gumamnya pelan.
Ia membuka laci meja dan mengambil pisau lipat kecil dengan gagang hitam. Benda itu ringan di tangannya, tetapi memiliki daya rusak yang lebih dari cukup jika digunakan dengan benar. Ia menatap pantulan dirinya di bilah pisau itu, lalu tersenyum kecil.
Araf harus disingkirkan.
Keesokan harinya, Cintia kembali bertemu dengan Araf. Kali ini, ia yang menghubungi terlebih dahulu, meminta Araf untuk menemuinya di sebuah taman kota yang sepi pada malam hari.
Araf datang tanpa curiga. Ia melihat Cintia berdiri di bawah lampu taman yang temaram, mengenakan jaket hitam dan celana panjang. Wajahnya tampak lebih tenang dari sebelumnya.
“Cin,” panggil Araf sambil mendekat. “Aku senang kamu ngajak ketemu. Aku harap kamu mau cerita.”
Cintia tersenyum tipis, tetapi matanya tetap tajam. “Aku pikir-pikir lagi, mungkin kamu benar, Raf. Aku nggak bisa sendirian dalam semua ini.”
Araf tersenyum lega. “Aku tahu kamu butuh seseorang buat dengerin.”
Cintia melangkah lebih dekat, menatap Araf dalam-dalam. “Tapi ada satu hal yang harus aku pastikan dulu.”
Araf mengerutkan kening. “Apa?”
Cintia tidak menjawab. Dalam satu gerakan cepat, ia menghunus pisau dari balik jaketnya dan mengarahkannya ke perut Araf.
Namun, Araf lebih cepat.
Ia menangkap pergelangan tangan Cintia sebelum pisau itu mengenai tubuhnya, mendorongnya mundur dengan tenaga penuh. Cintia terhuyung ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan.
“Cin?!” suara Araf terdengar shock, matanya membelalak. “Apa yang kamu lakuin?!”
Cintia menggeram, mengayunkan pisaunya lagi. Tapi kali ini Araf sudah siap. Ia menepis tangan Cintia dengan keras, hingga pisau itu terlepas dan jatuh ke tanah.
“Kenapa?” tanya Araf dengan suara serak. “Kenapa kamu—”
“Karena kamu terlalu banyak tahu!” bentak Cintia.
Napas Araf memburu. “Aku cuma mau bantu kamu.”
“Bantu aku?!” Cintia tertawa sinis. “Kamu pikir aku butuh bantuan? Aku nggak butuh siapa pun, Raf! Aku bisa selesaikan semuanya sendiri!”
Araf menatapnya dengan penuh kesedihan. “Cin… apa yang terjadi sama kamu?”
Cintia terdiam sejenak, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Aku hanya belajar dari dunia ini, Raf. Dunia yang ngajarin aku bahwa yang kuat akan bertahan, dan yang lemah akan dihancurkan.”
Araf perlahan mundur, menyadari bahwa Cintia bukan lagi orang yang ia kenal. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Cintia berlari mengambil pisau yang jatuh dan kembali menyerangnya.
Kali ini, Araf tidak punya waktu untuk menghindar.
Pisau itu menusuk bahunya.
Araf terhuyung, matanya membelalak karena rasa sakit yang tajam dan tiba-tiba. Darah mulai mengalir dari lukanya, membasahi kemejanya.
“Cin…” suara Araf melemah.
Cintia menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada kepuasan, tapi juga sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang kelam.
“Maaf, Raf,” bisiknya pelan, sebelum berbalik dan berlari meninggalkannya di taman yang sepi itu.
Cintia kembali ke rumah dengan tangan gemetar. Ia mencuci pisau dengan hati-hati, memastikan tidak ada noda darah yang tersisa.
Namun, pikirannya terus berputar. Ia telah melukai Araf. Tapi apakah itu cukup? Apakah Araf akan diam setelah ini?
Ia tahu jawabannya. Tidak.
Araf bukan tipe orang yang menyerah begitu saja. Jika ia selamat, ia pasti akan mencari tahu lebih banyak. Ia akan mencoba menghentikan Cintia.
Dan itu berarti…
Ia harus menghabisinya.
Beberapa hari kemudian, berita tentang penyerangan Araf tersebar. Ia selamat, tetapi masih dirawat di rumah sakit. Polisi masih menyelidiki kasusnya, tetapi Araf tidak memberi tahu siapa pun tentang Cintia.
Namun, itu hanya masalah waktu.
Cintia tahu ia harus bertindak cepat.
Malam itu, ia menyelinap ke rumah sakit. Berpakaian serba hitam, ia berjalan menyusuri lorong dengan langkah ringan. Ketika ia tiba di depan kamar Araf, ia mengintip ke dalam.
Araf tertidur, dengan perban menutupi bahunya.
Ini kesempatan terbaiknya.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melangkah masuk, pisau kembali tergenggam erat di tangannya.
Namun, saat ia mendekat, tiba-tiba Araf membuka matanya.
Mereka saling bertatapan.
Dan dalam sekejap, semuanya berubah.
Alarm berbunyi.
Lampu menyala terang.
Dan suara langkah kaki terdengar mendekat dengan cepat.
Cintia membeku.
Jebakan.
Araf sudah menyiapkan ini semua. Ia tahu Cintia akan datang.
Sebelum ia bisa berlari, dua petugas keamanan masuk dan langsung menahannya.
Cintia berontak, tetapi sia-sia.
“Aku nggak percaya…” gumamnya, menatap Araf dengan tatapan benci sekaligus kecewa. “Kamu…”
Araf hanya menatapnya dengan kesedihan di matanya. “Maaf, Cin. Aku nggak bisa biarin kamu terus seperti ini.”
Cintia berteriak marah, tetapi suaranya tenggelam saat petugas memborgolnya dan membawanya pergi.
Dunia yang selama ini ia kendalikan… kini hancur dalam sekejap.
Dan kali ini, tidak ada jalan keluar.
Hah.. hah..
Cintia terbangun, dan langsung termenung. Merenungi mimpi yang baru saja ia alami.
"Kenapa bisa aku memimpikan itu?!" gumam Cintia dan langsung bangun untuk mencuci wajahnya.
"Araf," panggil Cintia pelan. Karena teringat Laki-laki yang kebelakang ini selalu mengacaukan pikiran dan hatinya.
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku