Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinding dalam pernikahan
Beberapa hari sebelum hari pernikahannya, Nanda tertegun menatap layar ponselnya. Sebuah berita yang tak ia harapkan muncul di halaman utama, menampilkan wajah tampan Dimas Larung Mahdiva, calon suaminya, berdampingan dengan Shelma Anderia, model internasional yang dikenal dengan pesona dan kecantikannya yang memukau.
"Kemesraan Dimas Larung Mahdiva, Pewaris PT. Larung Construction, dan Model Internasional Shelma Anderia di Acara Gala Amal," begitu judul berita itu tertulis. Foto-foto mereka berdua tampak begitu serasi. Dimas mengenakan setelan jas hitam elegan, sementara Shelma memamerkan senyum menawan dalam gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna.
Nanda membaca artikel itu dengan hati yang berdesir. Setiap kata, setiap foto, seolah-olah menusuk ke dalam hatinya. "Kenapa harus ada berita ini sekarang?" gumamnya, merasa campur aduk antara cemas, marah, dan kecewa.
Dalam diam, Nanda membandingkan dirinya dengan Shelma.
"Aku ini apa dibanding dia?" pikirnya getir. Shelma adalah simbol kesempurnaan tinggi, langsing, berkelas, dan memiliki karier gemilang di dunia internasional. Sementara Nanda, meskipun cantik dengan caranya sendiri, merasa dirinya tak lebih dari wanita biasa yang hidup di bawah bayang-bayang ibunya yang ambisius.
Kata-kata ibunya, Saraswati, beberapa hari lalu terngiang kembali di kepalanya.
"Dimas itu pilihan terbaik, Nanda. Dia pria mapan, tampan, dan punya masa depan cerah. Kamu tidak akan menemukan yang lebih baik dari dia."
Tapi benarkah Dimas pria terbaik? Jika memang begitu, mengapa bayang-bayang Shelma Anderia terus mengusik hatinya?
Nanda mendesah pelan. Ia tahu pernikahan ini bukanlah tentang cinta, melainkan tentang ambisi keluarganya, tentang status sosial, dan tentang bisnis yang akan menyatukan dua keluarga besar. Namun, melihat berita itu membuat Nanda mempertanyakan segalanya. Apakah ia hanya akan menjadi istri yang dinikahi untuk kepentingan bisnis.
Di tengah lamunannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Dimas muncul.
"Kita akan bertemu nanti malam untuk membahas detail pernikahan."
Pesan singkat, dingin, tanpa sapaan hangat atau perhatian.
Nanda terdiam sejenak, menatap pesan itu. Sesederhana itukah hubungan mereka? Hanya sekadar kewajiban dan formalitas? Di balik layar ponselnya, Nanda tahu ada sesuatu yang hilang cinta, perhatian, dan kebahagiaan yang sejati. Tapi ia juga tahu, tak mudah untuk membatalkan semua ini. Terlalu banyak yang dipertaruhkan.
Malam itu, Nanda mencoba menenangkan hatinya. Tapi bayangan Shelma Anderia dan senyum dingin Dimas terus menghantui pikirannya, seolah menjadi pertanda bahwa kehidupan yang akan ia masuki tidak akan seindah yang dibayangkan banyak orang.
Malam pertama yang seharusnya menjadi awal indah bagi sebuah pernikahan, justru menjadi malam yang sunyi bagi Nanda. Di dalam kamar yang megah, dihiasi dengan lilin-lilin romantis dan aroma mawar yang memenuhi ruangan, Nanda duduk di tepi ranjang dengan gaun malam putih yang anggun. Wajahnya yang cantik tampak sendu, matanya terus melirik jam di dinding yang terus berdetak.
Sudah berjam-jam berlalu sejak acara pernikahan selesai. Namun, sosok Dimas Larung Mahdiva, suaminya, tak juga muncul di kamar. Nanda mencoba menenangkan hatinya. "Mungkin dia sibuk, mungkin ada urusan yang harus diselesaikan," gumamnya, berusaha memberikan alasan.
Tapi jauh di lubuk hatinya, Nanda tahu. Ini bukan sekadar urusan mendadak atau alasan lain yang bisa diterima. Ini adalah bukti dari apa yang telah ia curigai sejak awal. Pernikahan ini bukanlah tentang cinta. Bukan tentang kebersamaan. Dan malam ini, Dimas telah membuktikan bahwa ia tidak menginginkannya.
Nanda menghela napas panjang. Rasa kecewa merayap ke dalam hatinya. Sejak awal, ia tahu Dimas bukan pria yang akan bertahan hanya dengan satu wanita. Meskipun mereka pernah saling mengenal di masa lalu, itu tidak cukup untuk mengikat hati Dimas hanya padanya. Dimas adalah pria dengan pesona luar biasa, pewaris kekayaan besar, dan terbiasa hidup dengan kebebasan. Bagaimana mungkin dia bisa puas hanya dengan seorang istri, apalagi istri yang pernikahannya diatur oleh keluarga?
Telepon genggam Nanda yang tergeletak di meja samping berbunyi. Dengan cepat ia meraihnya, berharap itu adalah pesan atau panggilan dari Dimas. Tapi yang muncul hanyalah pesan singkat dari Dayu, adiknya.
"Mbak, gimana malam pertamanya? Semoga bahagia, ya."
Nanda terdiam, menatap layar ponsel itu dengan perasaan campur aduk. Ingin rasanya ia menjawab jujur bahwa malam ini tidak ada kebahagiaan. Tidak ada kehangatan yang ia harapkan. Tapi ia hanya membalas singkat.
"Baik, Dayu. Selamat tidur."
Sementara itu, di sudut kota yang berbeda, Dimas duduk di sebuah club eksklusif bersama teman-temannya. Musik berdentum kencang, gelas-gelas berisi alkohol diangkat untuk bersulang. Dimas tersenyum, seolah-olah malam ini hanyalah malam biasa. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada beban dari pernikahan yang baru saja ia jalani.
Shelma Anderia, wanita yang beberapa hari lalu menghiasi berita bersama Dimas, duduk di sampingnya. Ia menatap Dimas dengan tatapan menggoda.
"Jadi, bagaimana rasanya menjadi pria yang sudah menikah?" tanya Shelma dengan senyum nakal.
Dimas hanya tertawa kecil. "Pernikahan hanyalah formalitas. Hidupku tetap sama seperti sebelumnya."
Kata-kata itu seolah menjadi bukti bahwa Dimas tidak pernah berniat untuk berubah. Nanda hanyalah seorang istri di atas kertas, seseorang yang dinikahi untuk menyenangkan keluarga dan menjaga reputasi bisnis. Tapi hatinya, keinginannya, masih berkeliaran di luar, mencari kebebasan yang ia anggap sebagai kebahagiaan.
Di kamar yang sunyi, Nanda masih menunggu. Malam terus berlalu, dan ia mulai menyadari sebuah kenyataan pahit. Pernikahan ini tidak akan menjadi seperti dongeng yang ia harapkan. Ini adalah perjalanan panjang yang penuh dengan kesepian dan pengorbanan.
"Inikah yang disebut pernikahan?" batinnya bertanya. Namun, di balik rasa kecewa dan kesedihan itu, Nanda bertekad. Jika Dimas memilih untuk mengabaikannya, ia akan menemukan cara untuk bertahan. Ia tidak akan menjadi wanita yang hanya menunggu. Karena di dalam dirinya, ada kekuatan yang perlahan mulai tumbuh kekuatan untuk menemukan kebahagiaan dengan caranya sendiri.
***
Setelah prosesi ijab kabul yang berlangsung khidmat, Dimas membawa Nanda ke rumah barunya. Rumah itu adalah hadiah dari orang tua Dimas—sebuah rumah megah dengan arsitektur modern, terletak di kawasan elite kota. Halamannya luas, dengan taman yang tertata rapi, dan di dalamnya terdapat beberapa kamar yang masing-masing didesain dengan nuansa minimalis elegan.
Ketika mobil mereka berhenti di depan rumah, Nanda memandang bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Rumah besar ini terasa asing baginya. Tidak ada rasa hangat yang menyambut, hanya dingin yang menyelinap di antara tembok-temboknya. Dimas membuka pintu mobil dan mengisyaratkan Nanda untuk masuk tanpa sepatah kata pun.
"Ini rumah kita," ucap Dimas singkat, tanpa menoleh ke arah Nanda.
Nanda hanya mengangguk pelan, mengikuti langkah Dimas masuk ke dalam rumah. Di dalam, seorang wanita paruh baya berdiri dengan sopan di dekat pintu.
"Selamat malam, Tuan, Nyonya," sapanya. "Saya Turi, pembantu di rumah ini."
Nanda tersenyum tipis dan mengangguk, sementara Dimas hanya mengangguk seadanya sebelum melangkah menuju ruang tamu, meninggalkan Nanda berdiri di ambang pintu.
Setelah beberapa saat berbasa-basi dengan Bu Turi, Nanda akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan untuk mereka. Sebuah kamar besar dengan tempat tidur king-size, tirai tebal berwarna beige, dan lampu-lampu redup yang memberikan suasana tenang. Nanda duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kebaya pernikahannya. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya terus berputar.
Dimas tidak lama di rumah. Setelah memastikan Nanda masuk ke kamar, ia keluar lagi dengan alasan bertemu teman. Nanda tidak bertanya, tidak pula mencoba menahan. Ia hanya membiarkannya pergi, meski hatinya mulai merasakan dinginnya jarak di antara mereka.
Pagi hari, Bu Turi sudah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk majikan barunya. Aroma roti panggang dan kopi mulai menyebar ke seluruh rumah. Setelah memastikan meja makan tertata dengan rapi, ia menuju kamar Nanda untuk membangunkannya.
Bu Turi mengetuk pintu kamar perlahan. "Nyonya, selamat pagi. Sarapan sudah siap," panggilnya dengan nada lembut.
Tidak ada jawaban. Bu Turi kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. "Nyonya?"
Setelah beberapa detik, pintu kamar perlahan terbuka. Nanda berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kebaya pernikahan yang kusut, wajahnya tampak lelah dengan sisa-sisa riasan yang mulai memudar. Matanya sedikit sembap, menunjukkan bahwa malam itu bukanlah malam yang mudah baginya.
"Maaf, Bu Turi," ucap Nanda lirih. "Saya tertidur tanpa mengganti pakaian."
"Tak apa, Nyonya. Saya siapkan air hangat jika ingin mandi," ujar Bu Turi penuh perhatian. "Sarapan juga sudah siap di meja."
Nanda mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu Turi."
Setelah mandi dan berganti pakaian sederhana, Nanda duduk di meja makan. Bu Turi menyajikan sarapan dengan telaten. Namun, kursi di seberangnya kosong. Dimas belum pulang, atau mungkin masih tertidur di tempat lain.
Nanda menyendokkan roti panggang ke piringnya, tetapi rasanya hambar di mulutnya. Sarapan pertama di rumah ini terasa sepi, seperti bayangan akan pernikahan yang mulai terasa jauh dari kebahagiaan. Bu Turi memperhatikan Nanda dari dapur, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Apakah Nyonya baik-baik saja?" tanya Bu Turi hati-hati.
Nanda menatapnya dan tersenyum tipis. "Ya, saya baik-baik saja," jawabnya, meski di dalam hatinya, ia tahu bahwa semuanya baru saja dimulai. Sebuah kehidupan baru yang penuh dengan ketidakpastian dan kesepian.