NovelToon NovelToon
Kubungkam Hinaan Keluarga Dengan Kesuksesan

Kubungkam Hinaan Keluarga Dengan Kesuksesan

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:8.2k
Nilai: 5
Nama Author: Araya Noona

"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"

Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.

Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.

Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.

Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?

Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

Asya pikir kakek dan om-nya tidak serius tentang dirinya yang akan dimasukkan ke asrama pesantren. Namun ternyata mereka benar-benar serius. Mereka bahkan menunjukkan formulir di mana nama Asya terpampang jelas di sana. Dia telah terdaftar sebagai salah satu penghuni asrama pesantren tersebut.

Menolak? Tentu saja Asya menolak dengan keras. Jika dia masuk asrama pesantren, lalu bagaimana caranya dia bisa melunasi semua hutangnya dimana kebun mereka yang menjadi jaminan yang bahkan Yani dan Hamid saja tidak tahu akan hal itu? Dia sudah meminta bantuan pada kedua orangtunya agar mereka juga ikut menolak dan membiarkan Asya tetap bekerja saja. Namun kedua orangtuanya diam saja terkesan membiarkan jika Panji dan Radit membawa Asya.

Apakah mereka sekecewa itu hanya karena sebuah video itu? Asya memang tidak bisa menyangkalnya namun dia tetap berusaha menjelaskan apa yang terjadi saat itu. Ironisnya tidak ada yang ingin percaya pada apa yang Asya ucapkan. Mereka menganggap apa yang dikatakan Asya hanya kebohongan belaka.

"Pak, Bu, Asya gak mau! Asya mohon jangan biarin kakek sama Om Radit masukin Asya ke pesantren!" Sampai Asya memohon pun, baik Yani atau Hamid sama sekali tidak menggubrisnya. Saat itu Asya sadar jika tak satupun lagi dari mereka yang berada dipihaknya. Padahal Asya hanya melakukan kesalahan kecil yang membuat mereka salah paham, kecuali satu orang. Luna, adiknya. Sayangnya apa yang bisa ia lakukan? Dia hanya bisa menangis melihat sang kakak ditarik dengan paksa untuk pergi dari sana.

Beberapa orang yang berada di koridor rumah sakit hanya melihat saja adegan dimana Asya meronta menolak tapi Radit tetap kekeh menariknya. Mereka saling berbisik, bertanya apa yang terjadi. Ada juga kasihan tapi tidak satupun dari mereka yang ingin menolong sampai akhirnya Asya berada di dalam mobil Radit.

Gadis itu sudah tidak memberontak lagi. Dia sudah kehabisan semua tenaganya dan hal itu tak membuat dirinya bisa lepas. Rasanya sia-sia saja. Hanya tinggal isak tangis yang masih terdengar lirih.

"Ini demi kebaikan kamu sendiri, Asya," kata Radit yang saat ini tengah mengemudi. Asya mendongak menatap pria itu dari cermin persegi panjang yang ada di depan dengan perasaan kesal dan marah. Dia memilih memalingkan wajahnya keluar jendela. Sungguh dia sangat muak dengan semua ini.

Ternyata mereka tidak datang berdua. Ada Dini, sepupu Asya, anak kedua Rania. Gadis yang lebih muda dari Asya satu tahun itu tampak tidak peduli dengan situasi yang sedang terjadi. Dia malah sibuk memainkan ponsel pintarnya tanpa melirik Asya sedikitpun.

"Lihat! Walaupun ibu, bapak dan kamu sendiri menjelek-jelekkan kami namun kami masih tetap peduli sama kamu sebagai keluarga." Radit berkata seakan dirinya sudah sangat berjasa dalam hidup Asya. Gadis itu terkekeh kecil seakan mengejek kata-kata Radit. Peduli katanya? Apakah pria itu sedang mencoba bercanda? Sungguh lelucon yang tidak lucu sama sekali.

Tidak butuh waktu lama, mereka pun sampai di sebuah pesantren yang cukup besar dan terkenal di tempat itu. Tempatnya berada ditengah-tengah antara kota dan desa. Bisa dikatakan pesantren itu adalah perbatasan antara kota dan desa.

Saat sampai di sana Asya jadi tahu kenapa Dini bersama mereka. Ternyata bukan hanya Asya yang akan terkurung di sana namun Dini juga. Entahlah, mungkin bagi Dini tempat itu bukan sebuah penjara untuknya. Gadis itu bahkan tersenyum sembari menyeret kopernya yang cukup besar. Berbeda dengan Asya yang memasang wajah masam. Dalam pikirannya saat ini hanya satu, bagaimana dia bisa pergi dari sana secepatnya.

Tujuan mereka adalah gedung yang berada di samping kanan tempat itu. Mungkin karena sudah tahu mereka akan datang, pemilik yang merupakan pasangan suami istri itu menyambut kedatangan mereka dengan gembira.

"Jadi ini Asyafa dan Dini, cucu saya yang akan menjadi santri di sini," ujar Panji. Pasangan itu kompak menatap Asya dan Dini bergantian. Namun tatapan mereka lebih lama pada Asya. Bisa Asya tebak itu pasti karena pakaiannya yang hanya mengenakan celana panjang dan hoodie tanpa mengenakan jilbab. Sementara Dini mengenakan gamis berwarna hijau mint yang dipadukan dengan jilbab berwarna putih. Gadis itu tampak anggun sekali.

"Saya Dini," ujar Dini memperkenalkan diri. Tak hanya pakaiannya, tutur kata gadis itu juga terdengar sangat lembut.

"Saya Asyafa," ujar Asya ikut memperkenalkan diri dengan nada yang sangat berbeda dengan Dini. Terdengar buru-buru dan tidak ikhlas sebab ketahuilah, tubuh Asya ada di sana namun pikirannya tidak. Dia memikirkan keluarganya yang akan mendapat uang dari mana jika dirinya tidak bekerja, Zhaki yang pasti bingung saat sampai di rumah sakit untuk menjemputnya dan Bang Roy yang pasti akan sangat kecewa karena Asya tidak bisa datang lagi.

"Wah! Cucu Pak Panji cantik-cantik sekali ya," puji wanita yang mereka ketahui bernama Mawar tersebut.

Dini tersenyum kecil, gadis itu tersipu malu dengan pujian Mawar. Asya? Jangan tanya. Ekspresinya tetap datar. Mawar menyadari hal itu. Gadis itu pasti tidak mau datang ke sana namun dipaksa oleh keluarganya. Mawar dan Ridwan, suaminya sudah biasa menerima calon santri seperti Asya.

"Terimakasih," ujar Dini.

"Tapi, kalo udah jadi santri di sini harus mau pake jilbab ya." Kalimat Ridwan itu dia tujukan untuk Asya. Semua orang melihat ke arah gadis itu.

"Itu sudah pasti dong, Pak! Asya harus memakai jilbab mulai sekarang," kata Radit.

"Bagaimana, Asya? Kamu udah siap kan untuk mulai menutup auratmu?" Kali ini Mawar yang bertanya. Tidak ada jawaban. Asya memilih menunduk melihat tangannya yang saling bertautan.

"Asya, kalo ditanya itu dijawab," kata Radit  merasa tidak enak karena Asya diam saja.

"Gak apa-apa kok, Pak Radit. Saya ngerti," kata Mawar tak ingin membuat suasana menjadi canggung. Mereka lalu membicarakan beberapa hal yang Asya sendiri tidak tahu apa.

"Assalamualaikum!" Ucapan salam dari seseorang membuat mereka kompak melihat ke arah pintu utama sambil menjawab salam tersebut.

Seorang pria dengan baju koko berwarna putih dipadukan dengan celana kain berwarna hitam baru saja masuk dari pintu utama. Dengan ramah pria itu menyapa para tamu.

"Perkenalkan ini Bahtiar, putra kedua kami," ujar Ridwan memperkenalkan putranya pada keluarga Panji.

"Saya pikir anak Pak Ridwan sama Bu Mawar itu cuma Satya, ternyata masih ada putra yang lain rupanya," kata Radit.

Keluarga Panji dan keluarga almarhum ayah Ridwan memang sudah saling mengenal sejak dulu. Itulah sebabnya mereka cukup akrab. Namun tentang Bahtiar mereka benar-benar baru tahu.

"Iya, sejak kecil Tiar ini memang lebih suka tinggal bersama neneknya. Dia juga melanjutkan pendidikan di luar kota dan hanya pulang sesekali. Itupun hanya dua sampai lima hari aja. Setelah neneknya meninggal barulah dia mau tinggal menetap bersama kami. Itulah sebabnya gak banyak yang tahu tentang Tiar," jelas Bu Mawar.

"Oh begitu. Saya aja baru tau padahal sering ke sini," kata Radit diakhiri dengan tawa kecil.

"Kalo begitu, saya permisi masuk dulu," kata Tiar menundukkan sedikit kepalanya sebelum berlalu dari sana. Tanpa pria itu sadari ada seorang gadis yang tak mengalihkan pandangannya bahkan sampai Tiar kini menghilang di balik pintu kamarnya. Dan gadis itu adalah Dini.

'Wah! Kayaknya aku bakalan betah di sini.' Batin Dini tersenyum sambil membayangkan lagi wajah Tiar yang tampan.

Setelah bicara beberapa hal lagi Radit dan Panji pun pamit pergi dari sana. Asya sempat menahan sang kakek. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa tapi tatapannya bisa mengatakan semuanya. Dia ingin ikut pulang bersama mereka.

"Kamu harus tetap di sini, Asya, sampai kamu bisa mengakui jika apa yang sudah kamu lakukan itu salah dan membuat malu keluarga," kata Panji sambil melepaskan tangan Asya dari lengannya. Dia bisa melihat mata Asya berkaca-kaca. Panji berbohong jika dia mengatakan dirinya tidak merasa bersalah pada Asya. Hal itu juga yang membuatnya hanya diam saja sejak tadi.

'Tidak! Saya tidak boleh merasa seperti itu. Ini semua demi kebaikan Asya dan keluarga.' Panji mencoba meyakinkan dirinya jika keputusan yang baru saja dia ambil adalah keputusan terbaik.

Asya hanya bisa mengepalkan kedua tangannya sambil melihat mobil Radit yang mulai menghilang.

"Gak usah lebay deh. Kakek itu cuma pengen kamu jadi anak yang baik. Tapi, kalo emang dasarnya udah murahan emang susah sih berubahnya," ujar Dini yang sejak tadi berdiri di belakang Asya penuh penghakiman. Jujur saja dia jijik banget melihat drama sepupunya itu.

Asya menoleh melihat Dini yang sudah berlalu setelah memberikan tatapan remeh kepadanya. Asya terkekeh kecil. Tepatnya miris. Dia pikir mungkin Dini akan berbeda dengan sepupunya yang lain. Ternyata gadis itu sama saja. Apa yang dia tunjukkan di rumah Pak Ridwan tadi hanya sebatas sandiwara untuk menutupi sifat aslinya. Benar kata Rania bukan, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.

1
Nur Hayati Dzacaulnaufin
mengapa Asya tidak minta izin pd Ustadz tuk menjenguk ayahnya
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
Araya Noona
Jangan lupa memberikan dukungan jika kalian suka dengan karyaku ini yah😁😁. Terimakasih untuk yang sudah membaca😉
Nur Hayati Dzacaulnaufin
Biasa
Shezan Ezan
ceritanya bagus, dan keluarga pak hamid harus melawan jngn diam kalau diintimidasi oleh keluarganya, karena mereka susah keluarganya ogah untuk membantu,



saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,
Araya Noona: untuk saat ini memang sampai bab 27 kak besok akan diperbaharui lagi babnya😊😊
Shezan Ezan: tapi kenapa setelah saya sampai bab 27 ada tulisan bersambung, trus sya scrolling k bawah untuk lanjut bab selanjutnya sdah cerita lain yg muncul,
total 4 replies
Anto D Cotto
lanjut crazy up thor
Araya Noona: Iya kak sabar yah
total 1 replies
Anto D Cotto
menarik
Ah Serin
lanjut lagi please
Araya Noona: pasti kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!