NovelToon NovelToon
Benang Merah Penyihir Kolot

Benang Merah Penyihir Kolot

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Mengubah Takdir / Penyeberangan Dunia Lain / Pembaca Pikiran
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Gaurika Jolie

Difiar Seamus seorang penyihir penyedia jasa pengabul permintaan dengan imbalan sesuka hatinya. Tidak segan-segan Difiar mengambil hal berharga dari pelanggannya. Sehingga manusia sadar jika mereka harus lebih berusaha lagi daripada menempuh jalan instan yang membuat mereka menyesal.

Malena Safira manusia yang tidak tahu identitasnya, pasalnya semua orang menganggap jika dirinya seorang penjelajah waktu. Bagi Safira, dia hanyalah orang yang setiap hari selalu sial dan bermimpi buruk. Anehnya, mimpi itu merupakan kisah masa lalu orang yang diambang kematian.

Jika kalian sedang putus asa lalu menemukan gubuk tua yang di kelilingi pepohonan, masuklah ke dalam penyihir akan mengabulkan permintaan kalian karena mereka pernah mencicipi rasanya ramuan pengubah nasib yang terbukti ampuh mengubah hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gaurika Jolie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bulan Semerah Darah

Seorang wanita tua keturunan penyihir murni diam-diam masuk ke dunia manusia untuk mencari cucunya setelah diberi tahu anaknya dibunuh oleh penyihir. Wanita tua itu bernama Matilda Seamus yang memiliki kekuatan meracik ramuan. Sama halnya dengan sihir penyembuh, sihir meracik ramuan pun bisa mengobati segala macam penyakit.

“Nenek,” panggil wanita yang membantu pemakaman kedua orang tua Difiar. “Kenapa Nenek ke sini?”

“Kamu siapa?” tanya Matilda yang berusaha meraih tangan wanita itu.

Wanita itu bernama Endora Demona, memegang telapak tangan Matilda yang buta. “Saya sahabat Denzel, Nek.”

“Kamu Endora, ya?” tanya Matilda lalu menepuk-nepuk tangannya. “Seseorang mendatangiku, dia mengatakan jika Denzel punya anak dari manusia. Kamu tau siapa orangnya?”

“Ada di dalam pemakaman. Dia nggak mau pulang sama aku, Nek. Dia kira aku pelaku yang membunuh kedua orang tuanya.” Lantas Endora menggelengkan kepala lalu melanjutkan perkataannya, “Tapi, bukan aku. Pelakunya penyihir."

Wanita tua itu mengangguk paham. “Biar kementerian sihir yang mencarinya. Aku akan mengurus anak Denzel sendiri.”

“Nenek masih penduduk sihir, nanti kalau ketahuan bahaya, ancamannya nyawa, Nek. Nenek jangan cemas, biar aku yang mengurusnya,” larang Endora dengan memohon agar Nenek itu tidak mengambil keputusan yang beresiko.

Matilda meyakinkan wanita muda yang mengkhawatirkannya. “Nggak papa selagi kamu diam.”

“Tapi, Nek—”

“Nggak perlu khawatir!” potong Matilda meninggalkan Endora yang mencemaskannya.

Endora menganggukkan kepala guna meyakinkan dirinya. “Itu lebih baik daripada aku yang berusaha mengurusnya.”

Lewat mata batin yang menggantikan fungsi penglihatan Matilda yang rusak akibat meracik ramuan, dia tetap bisa mengerti jalan walaupun sering salah arah.

“Siapa nama ayahmu?” Matilda berdiri di samping anak kecil tengah sesenggukan itu.

Anak kecil berlinang air mata mendongak keheranan menatap seorang Nenek yang kedua matanya berwarna putih. “Denzel Seamus.”

Sang Nenek pun tersenyum lebar lalu mengulurkan kedua tangannya. “Ayo, kita pulang ke rumah.”

“Nenek siapa?” tangan Difiar yang belum mengingat Nenek tua di depannya.

“Aku Nenek kamu, Cu. Sekarang kebutuhan kamu Nenek yang urus,” jawabnya seraya tersenyum lebar.

Sontak Difiar berdiri menerima uluran tangan itu sampai memeluknya. “Aku senang masih punya Nenek. Aku kira nggak punya siapa-siapa di sini. Aku nggak mau tinggal sama Tante jahat itu!”

Matilda mengusap kepala anak kecil itu kemudian mengajaknya pergi meninggalkan pemakaman. “Kenapa? Dia baik.”

“Enggak! Dia yang bunuh orang tuaku, Nek! Aku lihat sendiri!” seru Difiar yang masih menahan duka dalam hatinya.

Sementara Matilda hanya mengusap kepalanya, dirinya hanya bisa menyembunyikan fakta yang harus dirahasiakan. Kelak Difiar pasti mengetahui rahasia sebenarnya.

“Cu, kamu percaya sama penyihir?”

“Penyihir?” Difiar menengok sebentar lalu melihat ke depan. “Yang membunuh orang tuaku penyihir!”

“Mereka nyata, tapi tinggalnya jauh dari manusia.” Sebelah tangan merentang ke atas sehingga Difiar tertarik dengan dunia sihir.

“Aku ingin ke sana, Nek. Ayo tinggal di dunia sihir aja!” ajak Difiar menarik tangan Neneknya.

Kepala Matilda menggeleng yang membuat Difiar menurunkan pundaknya. “Dunia sihir hanya untuk orang punya sihir. Manusia biasa seperti kamu nggak bisa melihat portal masuk dunia sihir.”

Ucapan sang Nenek mematahkan semangat anak kecil itu yang kini memilih diam daripada ingin tahu dunia yang belum pernah dia pikirkan, karena dunia itu hanyalah dongeng belaka dan hanya sebatas mimpi saja.

Batinnya mengatakan jika orang yang tengah bersamanya terlalu banyak mendengarkan cerita orang daripada berpikir jernih tentang hal yang dianggap tabu.

Mana mungkin dunia sihir itu ada?

“Nek, masih jauh, ya? Aku capek,” keluh anak kecil itu setelah sadar jalan yang dilalui bagaikan berada di gurun pasir.

“Sebentar lagi, semakin kamu mengeluh dan putus asa, kamu akan cepat sampai di tempat tujuan.”

“Kenapa bisa gitu?” herannya karena Matilda lebih menyuruhnya menyerah daripada menyemangati.

Matilda menjelaskan seraya mengusap kepala anak kecil di sampingnya. “Karena sejatinya manusia itu selalu mengeluh dan putus asa, dia selalu menuntut agar sampai tujuan dengan cepat, kalau enggak mereka akan mengamuk. Itulah sifat manusia yang enggak disukai penyihir karena mereka bergantung pada penyihir, tetapi saat keinginannya terwujud mereka jadi angkuh seolah melupakan peran penyihir yang membantu mereka.”

“Benar sekali.” Difiar pun mengambil napas lalu melanjutkan perjalanan.

“Kamu menyerah menempuh perjalanan jauh?” tanya Matilda menertawakan cucunya yang selalu saja mengeluh.

Difiar mengangguk, benar perkataan Matilda jika dirinya putus asa mencari rumah yang dimaksud maka akan sampai ke tempat tujuan.

Matilda mengajak Difiar masuk ke dalam gubuk yang berisi banyak ramuan serta tanaman yang asing baginya. “Ini tempat persembunyianku di bumi untuk membuat ramuan rahasia yang nantinya digunakan di sana. Jangan bilang-bilang, ya!”

Difiar mengangguk sebagai jawaban.

Ketika Difiar memegang pohon yang batangnya seperti wajah manusia itu dia dikejutkan oleh suara teriakan yang entah dari mana asalnya.

“Jangan sentuh, aku lagi istirahat!”

Difiar mencari di mana asal suaranya, ternyata berasal dari pohon yang bisa berbicara. Difiar sampai tidak berhenti menatap pohon aneh itu.

“Itu Mandrake, lebih baik jangan disentuh. Dia sensitif,” sahut Neneknya tengah bersih-bersih tempat tinggalnya selama mampir di bumi.

“Nenek bisa lihat?” Difiar menghampirinya.

“Enggak, aku hanya bisa merasakan sekeliling menggunakan mata batin,” jelasnya yang memang tampak seperti orang buta, tetapi seolah bisa melihat sekeliling.

Anak lelaki yang masih kebingungan antara mimpi dan kenyataan itu kembali membahas penyihir. “Sebelum tidur, Ayah selalu bercerita tentang penyihir. Mereka menyalurkan sihirnya lewat tongkat sihir.”

Matilda mengeluarkan tongkat yang Difiar maksud. “Seperti ini?”

Difiar terpesona akan keindahan ukiran tongkat itu, ketika dia ingin menyentuhnya seketika digagalkan oleh Neneknya sendiri.

“Tongkat sihir ini udah memilih tuannya, kalau jatuh di tangan orang lain nanti disalahgunakan atau tongkat itu akan rusak,” terangnya agar Difiar paham.

“Nenek, aku ingin jadi penyihir.”

Perkataan cucunya itu membuatnya ragu. “Kamu bukan seorang penyihir karena nggak punya kekuatan sihir. Lebih baik kamu jadi manusia.”

“Aku pasti bisa jadi penyihir yang punya kekuatan paling kuat!”

Neneknya ingin melarang, tetapi apa boleh buat, darah penyihir pasti mengalir dalam tubuhnya. “Kamu merasa punya kekuatan sihir?”

“Enggak.”

“Ya udah, sekarang kamu bantu Nenek racik ramuan untuk perang nanti. Manusia pasti membutuhkannya.”

Anak kecil itu berpikir keras. “Perang? Memang kita nanti diserang siapa?”

“Sesama manusia merebutkan wilayah kekuasaan dan mengambil harta kekayaan. Penjajah mengincar hasil bumi untuk kekayaan mereka sehingga pribumi sengsara harus kerja tanpa bayaran, justru mereka dijadikan budak di wilayahnya sendiri. Maka dari itu, kita harus membantu,” terang Matilda selembut mungkin sehingga Difiar bisa memahaminya.

“Manusia serakah!”

“Enggak juga. Mereka ada yang baik. Kamu harus jadi manusia baik untuk orang sekitar kamu.”

“Enggak mau, Nek. Aku ingin jadi penyihir!”

...****************...

Difiar membenarkan ucapan Neneknya, Indonesia akan dijajah. Pribumi perang melawan Portugal untuk pertama kalinya sehingga Difiar membantu mereka yang terluka.

Ketika mereka tengah bersembunyi mengobati luka dan memulihkan tenaga, ledakan besar terjadi begitu saja yang menewaskan semua orang kecuali Matilda. Tempat persembunyian mereka terbakar tidak ada satu orang pun yang selamat.

“Cucuku!” Matilda mencari sekeliling berharap bisa menemukan Difiar.

Ketika Difiar meringis kesakitan, Matilda bisa bernapas lega. “Cepat pulang lalu ambil ramuan hijau di rumah! Jangan ke sini lagi biar Nenek yang urus!”

“Tapi, Nek. Kalau Nenek kenapa-kenapa bagaimana?” Difiar cemas sehingga dia menolak perintah Neneknya.

Matilda memaksa pergi. “Kamu yang buat Nenek cemas. Aku bisa menjaga diri sendiri, buruan pergi!”

Secepatnya Difiar pergi menahan luka dalam perutnya. Berulang kali dia batuk mengeluarkan darah sambil lari secara diam-diam, Difiar tetap kena tembak oleh penjajah yang melihatnya.

“Argh!!”

Laki-laki yang beranjak dewasa itu terkena tembakan berulang kali, anehnya dia tidak tumbang sama sekali. Dirinya masih bisa berlari walaupun tertatih-tatih sehingga mengharuskannya bersembunyi di semak-semak.

“Semoga Nenek baik-baik aja,” pintanya sepenuh hati ketika penjajah pergi, Difiar kembali menuju rumah.

Saat ini Difiar tengah meninggalkan kota yang terbakar habis tanpa sisa. Difiar hanya bisa menangis sambil jalan menuju rumahnya yang sepanjang jalan harus melihat mayat manusia dimana-mana sehingga menciptakan darah yang menggenang.

Setelah melewati genangan darah yang mengingatkan kejadian orang tuanya dibunuh. Tubuh Difiar ambruk karena dia pikir sebentar lagi akan mati.

“Kamu nggak papa?” tanya gadis yang lebih muda dari usianya lalu membantu berdiri.

Difiar melihat gadis itu penuh curiga pasalnya paras cantik serta rambut panjang bagaikan musuhnya. “Kamu anak penjajah?”

“Aku benci mereka!”

“Jadi, kamu pribumi. Bantu aku sampai ke rumah, nggak masalah, kan?” Difiar pun meliriknya yang langsung mendapatkan jawaban lewat anggukan.

Mereka pun menuju ke gubuk Matilda sementara anak perempuan itu melihat langit. Difiar merasa gadis di sampingnya tidak fokus karena sering kesandung, sehingga mencari apa yang dia lihat.

“Lihat apa?”

Gadis itu gelagapan langsung fokus ke depan. “Nggak ada apa-apa. Masih jauh?”

“Enggak kok.”

Ketika melihat hanya ada satu-satunya gubuk yang berada di hamparan luas membuat gadis itu iri.

“Aku bisa main di sini karena punya halaman yang luas. Di lingkunganku padat penduduk, mau lari-lari pasti kena marah!” Gadis itu jengkel yang membuat Difiar senyum.

“Kamu tunggu di sini, aku masuk ke dalam dulu.”

Difiar langsung lari ke dalam mencari botol hijau yang dimaksud neneknya. Ketika menemukan botol hijau, Difiar minum sampai habis.

“Segarnya,” gumam Difiar yang merasakan sakitnya berangsur-angsur hilang.

Dirinya melihat tubuhnya kini tidak merasakan sakit, hanya tersisa darah yang menempel di luka tembak. Difiar pun ke luar yang mendapati gadis itu duduk seraya melihat ke arah bulan yang berwarna merah.

“Lihat apa?” tanya Difiar yang ikut duduk di sampingnya.

Gadis itu membalas dengan gelengan. “Aku menyebutnya bulan berdarah. Kata tetanggaku bulan yang warnanya merah hanya terjadi 195 tahun sekali dan saat ini waktu yang nggak pas untuk melihatnya. Aku yakin di masa depan bisa lihat kejadian ini lagi dengan tenang sampai puas!”

“Memang bisa hidup sampai seratus tahun lagi?” Difiar melirik gadis itu yang juga tengah melihatnya.

“Mau berjanji?”

“Apa?”

Gadis itu mengulurkan jari kelingkingnya. “Ayo kita janji bertemu lagi saat bulan berwarna merah. Kita habiskan malam bersama melihat bulan merah sampai selesai.”

Difiar mengangguk lalu mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking milik gadis itu. “Walaupun hidup kita nggak tau sampai kapan, tapi aku janji kita bertemu lagi saat bulan berwarna merah.”

Lantas mereka tertawa karena tau hidup mereka tidak akan selama itu. Namun, mereka berharap penderitaan segera berakhir supaya orang-orang di masa depan dapat menikmati keindahan gerhana bulan merah.

“Kamu bisa main ke sini kalau ada waktu luang,” kata Difiar seraya melihat ke arah langit.

Gadis itu mengangguk memamerkan deretan gigi rapih dan putih. “Iya, kalau aku masih hidup.”

Difiar pun setuju. Saat ini cuma ada hari ini dan kemarin. “Aku ingin hidup yang lama.”

“Aku juga.”

Difiar mendengar langkah sepatu mendekat ke arahnya sehingga mengajak teman barunya berdiri. Mereka langsung diam hendak bersembunyi, tetapi penjajah lebih dulu menemukannya.

Mereka terkejut di kepung penjajah sehingga Difiar menggenggam tangannya erat. Tidak ada celah untuknya kabur.

“Aku takut.”

“Kita akan selamat!”

Suara tambakan membuat keduanya terkejut, anehnya Difiar tidak merasa sakit. Dia pikir ramuan itu mampu membuatnya mati rasa, ternyata yang ditembak bukan dirinya melainkan gadis itu yang berdiri di depannya.

Tubuh gadis itu tumbang yang langsung ditangkap oleh Difiar. Tembakan itu mengeluarkan darah yang terus bercucuran. Difiar pun menghampirinya berusaha menutup darah itu yang keluar.

Suara tembakan kembali terdengar, kini mengenai Difiar. Para penjajah heran Difiar tidak tumbang sehingga dia ditembak berulang kali.

Tiba-tiba gadis itu menyeretnya lalu berbisik. “Hey! Pura-pura mati!”

Difiar kebingungan, secepatnya dia mengikuti perintah gadis itu sehingga penjajah pergi dengan tertawa puas.

Gadis itu bangun dengan kesakitan sambil tersenyum ke arahnya. “Semoga kita bisa bertemu lagi, aku ingin main bersama kamu.”

"Kali ini kamu nggak bercanda, kan?" Difiar memastikan jika gadis itu masih hidup.

"Kita pasti bertemu lagi karena udah janji. Kamu harus menepati janji kamu! Pokoknya, kamu harus lebih dulu datang sebelum aku!" Gadis itu tersenyum melihat Difiar yang menangis.

Kepala Difiar menggeleng saat gadis itu perlahan menutup matanya. "Jangan sekarang! Bertahanlah sebentar, Nenekku pasti datang. Dia bisa menyelamatkan kamu!" Tidak ada yang bisa Difiar perbuat. Sepanjang hidupnya harus melihat orang mati secara langsung sehingga menimbulkan luka di hatinya karena semua orang terdekatnya meninggalkan dirinya sendiri.

“Aku janji saat bulan berwarna merah, bagaimana pun caranya kita akan bertemu!”

1
iyantaritari
meleleh aku bang
iyantaritari
omgg
iyantaritari
tiba tiba banget
iyantaritari
jahat banget mulut mertua
iyantaritari
caranya biar bisa ke sana gimana?
iyantaritari
widih agak laen emang
watix14
kasian juga loh, penyihir butuh bersenang2 juga
watix14
setuju si, tapi untuk rakyat kecil uang memang segalanya
miyantoroo
ada apa denganmu pak penyihir?
cahyaningtyasss
yaampunnn
cahyaningtyasss
tetap aja kamu salah
cahyaningtyasss
sama aku juga mau
miyantoroo
coba dulu
watix14
Rekomendasi novel yang pas untuk dibaca tengah malam buat begadang. Aman dari dosa dan hawa panas. pokoknya kalian harus baca
watix14
keren banget jamu racikan penyihir kolot
watix14
secepat itu?
watix14
sisain setetes aja
watix14
memang aku juga gitu
watix14
samuel si serba bisa
watix14
siapasih safira itu?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!