Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah Raga?
Netha Putri, 27 tahun, duduk di meja kerjanya dengan mata yang terasa berat. Jam telah menunjukkan pukul 03.00 sini hari. Sudah seharian ia sibuk mengejar deadline laporan untuk perusahaan tempat ia bekerja. Lupa makan, lupa minum, dan bahkan lupa menikmati hidup. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap cantik dengan riasan tipis yang ia pakai sejak pagi.
"Satu halaman lagi... satu halaman lagi, setelah ini selesai," gumamnya seraya mengetik cepat di laptop. Namun, rasa kantuk akhirnya tak tertahankan. Kelopak matanya tertutup, dan kepalanya tertunduk di atas meja.
Ketika Netha membuka mata, ia merasa aneh. Pandangannya buram, tubuhnya terasa berat, dan ada sesuatu yang berbeda. Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun sulit. Ia merasakan kasur di bawah tubuhnya, bukan kursi kantor. Perlahan, ia berguling-guling, namun tubuhnya malah oleng hingga
Brak!!!
"Ahhh!" Netha meringis. Kepalanya terbentur sesuatu, kaleng soda. Ia terduduk di lantai, memegang kepalanya yang nyut-nyutan. "Apa-apaan ini?"
Matanya menyapu ruangan. Gelap, pengap, dan... berantakan. Sampah berserakan di lantai, gorden tertutup rapat, dan bau apek menyeruak di udara. Jantungnya berdegup kencang.
“Ini bukan rumahku…” bisiknya.
Netha berdiri dengan susah payah. Tubuhnya begitu berat. Dengan langkah terseok, ia mendekati cermin yang menempel di lemari. Apa yang dilihatnya membuatnya terkejut.
"Wah… apa-apaan ini!?"
Di cermin, seorang wanita dengan wajah mulus dan rambut hitam panjang yang sehat menatap balik ke arahnya. Namun, tubuhnya... gemuk. Sangat berbeda dari tubuh langsingnya. Kaos tidur lusuh membalut tubuh besar itu. Namun meski begitu, wajahnya tetap cantik dan kulitnya putih bersih.
“Ini... aku?”
Ingatan asing mulai berputar di kepalanya, seperti film rusak. Adegan-adegan singkat, dua anak laki-laki, seorang pria tinggi berseragam militer, dan dirinya sendiri yang terlihat lusuh, malas, dan… suka marah-marah?.
“Astaga… apa ini? Aku mimpi?!”
Dengan gemetar, ia masuk ke kamar mandi. Wajahnya yang penuh busa sabun menatap balik dari cermin kamar mandi. Setelah membersihkan diri, Netha berjalan menuju lemari pakaian. Hampir semua bajunya berwarna mencolok: merah, kuning, pink terang. Ia meringis.
“Astaga, ini baju atau permen?” gumamnya, lalu menemukan satu kaos putih dan rok lilit besar. Setelah berpakaian, ia menguncir rambutnya ala messy bun dan memoles wajahnya dengan skincare seadanya.
Setelahnya, ia membuka jendela kamar lebar-lebar. Cahaya pagi masuk dan udara segar mengusir pengap yang menyelimuti ruangan. Sprei kotor ia lepas, bungkusan makanan dan minuman ia ambil dan dikumpulkan di kresek sampah, lantai ia sapu, dan tak lupa parfum ruangan yang hanya sisa dua semprotan saja, namun ruangan itu perlahan kembali layak huni.
Sementara itu, di ruang tamu, Sean Jack Harison duduk dengan kedua anak kembarnya, Elbarack dan Albarack. Sean, dengan wajah tegas dan sorot mata dingin, sedang membaca laporan dari ponselnya. El duduk di sebelah kanan, diam seribu bahasa sambil memainkan robot kecil. Sedangkan Al, yang lebih cerewet, mulai bersandar pada bahu Sean.
“Papa, suara apa itu?” tanya Al tiba-tiba.
Sean mengangkat alis. “Suara apa?”
“Seperti suara orang jatuh. Dari kamar ‘dia’,” jawab Al, sambil menunjuk ke lantai atas dengan dagunya.
El menoleh. “Mungkin dia bangun.”
Al mendorong El pelan. “Kamu saja yang lihat.”
El menggeleng. “Kamu saja.”
“Sudah, kalian berdua lihat,” potong Sean dingin, membuat kedua anak itu saling pandang. Akhirnya, dengan wajah cemberut, Al dan El berjalan ke kamar Netha.
Tok tok tok!
“Kamu!” suara Al terdengar dari balik pintu. “Hei, bangun nggak?”
Tak ada jawaban. El mengetuk lagi, lebih keras. Namun tetap hening. Mereka juga membuka pintu itu, namun tak terbuka. Mereka akhirnya turun kembali dengan angkat bahu.
“Papa, dia nggak jawab. Pintunya juga dikunci.”
Sean hanya mendengus kecil. “Biarkan saja.”
Tanpa banyak bicara, ia bangkit dan menuju dapur. Tangannya cekatan memecahkan tiga butir telur, namun sayangnya, keahlian memasaknya benar-benar buruk. Telur ceplok yang ia buat gosong di pinggir, dan terlalu banyak garam masuk ke penggorengan.
Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah duduk di meja makan, menatap tiga piring telur gosong itu dengan ekspresi datar. Al mendesah keras.
“Papa… kenapa gosong lagi?” keluh Al.
El hanya diam sambil memandangi telur di piringnya.
Tiba-tiba, suara pintu kamar terdengar. Ketiganya menoleh ke arah tangga, dan mereka semua terdiam. Netha muncul dengan penampilan yang berbeda.
Kaos putih polos, rok lilit, rambut digelung rapi meskipun sedikit berantakan, dan wajah bersih tanpa polesan lipstik merah cerah. Penampilan yang begitu sederhana, namun membuat mereka semua terpana.
Netha berjalan menuju meja makan, menatap tiga piring telur yang tampak menyedihkan itu. Seketika, bibirnya melengkung kecil menahan tawa.
“Itu telur.... gosong?” gumamnya pelan, namun cukup terdengar. Karena Netha hanya melihat 3 piring saja, akhirnya ia ingin memasak sendiri saja.
Ketiga pria itu hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Netha berdehem, lalu berbalik menuju dapur. Setelah membuka kulkas dan lemari dapur, ia mendapati bahan makanan yang sangat terbatas.
“Hanya telur dan mie instan? Ya sudah, ini juga bisa,” ujarnya sambil mulai memasak.
Netha memasak porsi jumbo dengan cekatan, ditambah dengan beberapa bahan tambahan, sehingga aroma nya lebih terasa.
10 menit kemudian, Netha telah selesai memasak, ia membawa sepiring mie goreng.
Tak lama, Netha muncul kembali dengan sepiring mie goreng. Aromanya menggugah selera. El dan Al menatap piring itu dengan mata berbinar.
Netha duduk di kursinya dan hendak menyendok mie ke piringnya, namun ia berhenti sejenak. “Mau coba?” tanyanya santai.
El diam saja, sedangkan Al langsung bersuara, “Aku mau!”
“Al,” suara Sean memotong tegas. “Makan makananmu sendiri.”
Al merengut. “Tapi, Papa… ini gosong dan keasinan!”
Sean tak menjawab, hanya memandang El dan Al dengan tajam. Namun Al tak peduli. “Kamu, boleh aku makan mie-nya?” tanyanya pada Netha.
Netha terkekeh kecil. “sebentar, aku ambilkan dulu yang baru.”
El yang tadinya diam akhirnya mengangguk pelan lalu berkata “Aku juga mau.”
Sean yang cemberut, karena makanan yang ia masak Tidak dimakan oleh si kembar El dan Al, akhirnya ia mengambil telur gosong itu dan memakan semua nya. Tak masalah, Sean sudah terbiasa di militer, tak boleh mengeluh dan habiskan.
Netha akhirnya kembali ke dapur, membawa dua porsi mie goreng lagi untuk El dan Al. Begitu ia kembali, kedua anak itu makan dengan lahap. Sean hanya melirik dari ujung meja, namun gengsinya terlalu besar untuk ikut meminta.
Setelah makanan habis, Sean meletakkan sendoknya dan memandang Netha. “Nanti temui aku di ruang tamu. Ada yang ingin kubicarakan.”
Netha, yang sedang mengumpulkan piring, menoleh dan mengangguk santai. “Oke.”
El dan Al saling pandang dengan bingung, sedangkan Sean bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ruang tamu.
Sementara itu, Netha melanjutkan pekerjaannya, membersihkan meja makan dan mencuci piring-piring kotor. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi di hidup barunya ini. Namun satu hal yang ia tahu pasti: dunia ini jauh berbeda dari yang ia tinggalkan.