"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Watch Me
Di tengah suapannya, air mata Tari tiba-tiba jatuh. Setetes demi setetes membasahi pipinya. Tangannya yang memegang sendok terlihat gemetar, tapi tangannya tak berhenti memasukkan makanan ke mulutnya.
Riana yang sedang menyuap makanannya ikut terdiam, memperhatikan Tari dengan ekspresi wajah yang membeku. "Tar...? Kok nangis?" tanyanya, meletakkan sendoknya ke piring.
Tari mengangkat wajahnya perlahan, menatap Riana dengan mata yang berkaca-kaca. Napasnya terasa berat. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan.
"Riana.... Kemarin malam aku juga berada di apartemen Ade."
Riana langsung membeku di tempatnya. Wajahnya pucat, sendok di tangannya terjatuh ke piring, menimbulkan suara dentingan yang terdengar begitu nyaring dalam keheningan ruangan.
"Apa...?" Tanyanya memastikan pendengaran nya, suara itu bergetar.
Tari menarik napas perlahan. "Aku dengar semuanya Riana. Setiap kelakuan dan ucapan yang kau katakan disana." Mata yang biasanya lembut itu kini terasa tajam menatap Riana.
"Aku nggak butuh pembelaanmu. Jawab saja satu pertanyaanku, Apa yang sebenarnya pernah aku lakukan padamu?"
Riana menelan ludah dan menundukkan kepalanya. Tangannya mencengkeram ujung meja.
"Yang tidak aku mengerti, kenapa kau membunuh anak dalam kandunganku dan bahkan sekarang kau ingin mengulanginya lagi. Apa kau itu bahkan manusia?" Ujar Tari dengan nada yang dingin.
Mata Riana membesar. Bibirnya terasa kelu.
Tari tersenyum getir, melihat Riana yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membela dirinya sendiri.
"Tari, aku—"
"Kau mengambil milikku," potong Tari cepat. "Dan sekarang aku akan mengambil apa yang menjadi milikmu. Ah satu yang harus kau ingat, aku akan menikmati melihatmu sengsara karena kehilangan semua yang kau miliki sekarang,"
Riana menggigit bibirnya, lalu menutup matanya sejenak lalu kembali terbuka dengan sorot mata yang dingin. "Oh ya, memang nya apa yang bisa kau lakukan? Kau pikir Yudha akan percaya padamu. Memang benar aku yang membunuh anakmu, aku melakukannya karena dengan melihatmu memiliki segalanya membuat ku sangat merinding dan kesal,"
Mata Tari membelalak, mendengar ucapan yang pertama kali didengar nya dari mulut Riana. Bukan ini yang diharapkan nya keluar dari mulut itu, apa sedikit saja wanita ini tidak merasa bersalah padanya.
"Wanita jalang!"
Tari menggebrak meja dengan keras, membuat piring dan gelas bergetar. Ia menatap Riana dengan mata yang berkilat penuh amarah, sedangkan Riana membalas tatapannya tanpa rasa takut, terlihat tidak ada rasa menyesali satu pun kata yang baru saja keluar dari mulutnya.
"Jadi selama ini kau memang sengaja?! Artinya selama ini kau menghancurkan hidupku hanya karena kau iri?!"
Riana mendengus remeh, bersandar santai ke belakang. "Iri? Kenapa aku harus iri padamu, memangnya apa yang kau punya sehingga aku harus iri. Jika ada yang harus iri, kau lah orangnya. Kan sudah kubilang, aku hanya tidak suka melihatmu bahagia. Dengan melihat mu seperti itu membuat seluruh tubuhku merinding,"
Tari mengepalkan tangannya begitu erat, dadanya naik turun dengan cepat, menahan gejolak emosinya yang ingin meledak. "Jadi solusi yang kau pikirkan adalah dengan membunuh anakku?,"
Riana menatap Tari dengan pandangan remeh. "Jangan salah paham, kali ini ada alasannya. Aku melakukannya karena kau berani-beraninya ingin mengambil Yudha dariku." Riana menatap langit-langit ruangan dan kembali melanjutkannya.
"Soal dulu, itu karena aku kesal melihat mu ingin membangun keluarga bersama Ade. Aku sudah melakukan semuanya untuk menggoda pria itu, dan bahkan dia masih tak ingin meninggalkan mu. Dan yah apalagi solusinya selain menyingkirkan kehamilanmu dengan memanfaatkan kebodohan nya,"
PLAK!
Tamparan Tari begitu kuat hingga kepala Riana terpelanting ke samping. Bekas merah mulai muncul di pipinya.
"Apa kau baru saja meletakkan tangan mu pada wajahku?," Riana menoleh perlahan dan menatap tajam pada Tari.
Tari meraih kerah baju Riana dengan kasar, wajah mereka kini begitu dekat, matanya menyala penuh kebencian. "Kau pikir aku akan diam saja. Riana.... Kau terlalu meremehkanku," bisiknya tepat di telinga Riana.
Riana tersenyum meremehkan, tak takut dengan ancaman Tari. "Apa yang bisa kau lakukan? Membunuh ku?," Tantang Riana, senyum seringai muncul di wajahnya
Tari ikut tersenyum simpul, lalu mendorong Riana dengan kasar hingga hampir jatuh dari kursinya. "Kau akan melihat nya, apa yang bisa dilakukan oleh ku. Kau lupa aku lah yang membantu rencana mu ini?."
Kali ini Riana terdiam, matanya menyipit. Lalu ia tersenyum kecil. "Coba saja, aku ingin lihat apa yang bisa dilakukan olehmu,"
Tari perlahan menyeringai, dan itu membuat Riana sontak terdiam. "Oh kau akan melihatnya sayang," Tari melangkah mundur, lalu kepalanya perlahan menoleh ke arah kamar tidurnya. "Yudha," panggilnya dengan tenang.
Pintu kamar yang sedari tadi tertutup perlahan terbuka. Yudha berdiri di sana, wajahnya pucat, sorot matanya membeku penuh keterkejutan.
Riana langsung bangkit berdiri, tubuhnya mendadak terasa kaku. "Yu... Yudha?" suaranya bergetar, tenggorokan nya terasa kering.
Yudha tidak menjawab. Ia hanya menatap Riana dengan sorot mata yang belum pernah ditunjukkannya sebelumnya. Yang jelas kekecewaan yang besar ada disana.
"Bagaimana dengan ini Riana?" suara Tari kembali mengisi keheningan yang muncul mendadak di antara mereka.
Riana mengabaikan perkataan Tari, ia terus menatap Yudha dengan mata yang mulai berair. "Sayang.... Aku bersumpah aku bisa menjelaskannya,"
Yudha menggigit bibir bawahnya, lalu dengan suara berat dan dingin, akhirnya ia membuka suara. "Keluar dan pulang lah kerumah Riana. Aku akan menemuimu disana." Ucapnya tak ingin dibantah.
Ruangan itu kini terasa begitu mencekam. Riana menatap Yudha dengan mata yang panik, sementara pria itu tetap berdiri dengan sorot mata yang dingin.
"Sayang... dengarkan aku dulu, aku bisa menjelaskannya," Riana melangkah mendekat, mencoba meraih tangan Yudha, tapi pria itu dengan cepat menepisnya.
"Keluar,"
Riana membeku, matanya membesar, tak percaya dengan perlakuan Yudha padanya. "Sayang! Apa kau tak ingin mendengarkan aku dulu. Tari yang menjebakku,"
"Jangan buat aku mengulanginya Riana, sudah cukup kau membuatku malu dengan sikapmu," suara Yudha semakin dingin.
Riana menggeleng dengan panik, air matanya mulai mengalir. "Kalau gitu ayo pulang denganku, kumohon dengarkan aku! Aku hanya berbicara asal karena emosi! Aku tidak benar-benar—"
"RIANA!"
Suara bentakan Yudha menggema di seluruh ruangan, membuat Riana seketika terdiam. Itu pertama kalinya—pertama kalinya Yudha membentaknya.
Tari tersenyum tipis di sudut ruangan, ia tak menyangka akan begitu menikmati pemandangan di depannya. Awalnya bukan ini niatnya, ia hanya ingin Riana berlutut minta maaf padanya. Tapi Riana malah bersikap sombong dan membangkitkan amarah nya.
Tari mengelus pelan perutnya, ia bersyukur Ade jujur dengan mengatakan bahwa obat yang akan diberikan oleh Riana hanya lah jamu biasa. Karena ia sudah memakan semua makanan di meja yang disiapkan oleh Riana.
Yudha menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Aku tidak ingin mendengar penjelasan apa pun darimu sekarang. Percayalah aku benar-benar ingin muntah hanya dengan melihatmu sekarang. Kau sekarang pulanglah dan aku akan menemuimu di rumah."
Riana menggigit bibirnya, menahan isakan. "Baiklah aku akan pulang, tapi kau harus cepat datang. Aku akan menjelaskan semuanya,"
Yudha menatap Riana tajam. "Riana... Kumohon setidaknya milikilah sedikit saja rasa malu. Aku sudah mendengar lebih dari cukup dari mulutmu sendiri sejak tadi. Jangan membuatku marah lebih dari ini."
Riana menatap Yudha lama, berharap sedikit saja ada harapan untuknya di sorot mata itu.
Dengan langkah gemetar, Riana akhirnya berbalik dan berjalan menuju pintu. Namun, sebelum keluar, ia sempat menoleh ke arah Tari. Mata mereka bertemu.
Tari tersenyum tipis, tanpa mengatakan apapun.
Riana menggertakkan giginya, lalu melangkah pergi dengan air mata yang terus mengalir.
Begitu pintu tertutup, Yudha menghela napas berat dan menutup matanya sejenak.
Tari yang sejak tadi hanya mengamati, akhirnya bersuara. "Aku juga sama terkejut nya denganmu. Aku tak menyangka aku menganggap wanita itu sebagai sahabatku selama ini,"
Yudha membuka matanya, menatap Tari dengan sendu. Ada banyak hal yang ingin ia katakan pada Tari. Ia merasa malu sekaligus rasa bersalah yang mendalam pada Tari.
Tari melangkah mendekat secara perlahan. Ia menatap mata Yudha dengan sorot mata yang datar. "Dan sekarang saatnya kau memilih Yudha,"