Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Pinky yang telah kembali ke rumahnya disambut dengan amarah seorang pria paruh baya yang tak lain adalah ayahnya sendiri, Mark. Wajah pria itu memerah, sorot matanya tajam, dan suaranya menggema di dalam ruang tamu yang sudah penuh ketegangan sejak ia membuka pintu.
"Kau melarikan diri di saat menjelang pernikahanmu. Apa kau sengaja mempermalukan aku? Apa kau tahu dia adalah atasanmu?" kata Mark dengan nada tinggi, mengarahkan telunjuknya tajam ke wajah Pinky.
Namun, Pinky, yang sudah terbiasa dengan amarah ayahnya, hanya berdiri dengan malas di ruangan. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah tak terpengaruh oleh kemarahan yang memuncak di hadapannya.
"Mark, jangan salahkan Pinky lagi. Bukankah dia sudah pulang? Untuk apa kau marah-marah sejak tadi?" ujar seorang wanita yang berdiri tak jauh dari mereka. Itu adalah Ruby, ibu Pinky, yang mencoba meredakan ketegangan.
Mark menoleh ke arah istrinya dengan tatapan menusuk.
"Ruby, jangan ikut campur di saat aku mendidik anak kita!" ketus Mark dengan nada dingin.
Ruby hanya menghela napas panjang, memilih untuk diam. Sementara itu, Pinky tetap berdiri dengan malas, tangan bersilang di depan dada, tak peduli dengan ocehan ayahnya.
"Pinky, besok kau harus patuh dan menikah. Jangan menimbulkan masalah lagi!" kata Mark dengan tegas, menunjuk wajah Pinky.
Namun, alih-alih menunjukkan rasa bersalah, Pinky malah membalas dengan nada santai, namun tajam. Ia menatap ayahnya tanpa rasa takut.
"Pria yang Papa cari tidak ada yang baik. Kalau bukan pemabuk, ya pejudi. Selain itu, ada juga yang pemain wanita. Kalau aku menikah dengan mereka, maka nasibku akan sial seperti Mama," jawab Pinky, nada bicaranya penuh sindiran.
Mark tersentak. Ia merasa harga dirinya terluka mendengar kata-kata itu. Wajahnya berubah lebih merah, menandakan kemarahannya semakin memuncak.
"Apa maksudmu bicara seperti itu?" tanyanya, mencoba menahan emosinya.
Pinky tidak ragu menjawab. Sorot matanya menantang, bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
"Maksud aku adalah, aku akan sama seperti Mama. Menikah dengan pria hidung belang," jawab Pinky, menatap ayahnya dengan tajam.
"Jangan bicara sembarangan!" bentak Mark. "Apa kau masih tidak cukup mempermalukan keluarga kita? Tetangga sudah tahu bahwa kau gagal menikah sebanyak lima kali, dan dipecat sebanyak lima puluh sembilan kali!"
Pinky mengangkat bahu dengan santai, seolah itu bukan masalah besar baginya.
"Jangan salahkan aku! Aku mendapatkan pelanggan yang tidak sadar diri, makanya aku balas mereka," jawab Pinky tanpa beban.
Mark menggelengkan kepala, hampir tak percaya dengan alasan putrinya. Ia mendekat, menunjuk Pinky dengan telunjuk yang bergetar.
"Lalu, bagaimana dengan pasangan yang di rumah sakit itu? Kau bekerja di sana sebagai perawat, dan kau menyuntik bius ke tubuh pasienmu!" ujar Mark dengan suara tinggi.
Pinky hanya mengerling, tampak tak peduli. Ia menjawab dengan nada santai, nyaris seperti sedang bercanda.
"Dia adalah pria yang berselingkuh, sementara istrinya sedang hamil. Makanya aku suntik bius untuk beri pelajaran. Lagi pula, dia tidak mati," jawab Pinky dengan nada datar.
Mark mendengus kesal. Ia menekan pelipisnya, berusaha menahan amarah.
"Dia memang tidak mati, tapi kau malah mematikan bagian pentingnya. Sehingga kita dilaporkan, dan aku yang harus ganti rugi!" balas Mark, nyaris berteriak.
Pinky mengangkat alis, tampak tak terpengaruh. Ia menatap ayahnya dengan ekspresi penuh tantangan.
"Papa, aku ingin bertanya sesuatu," ucap Pinky tiba-tiba.
"Tanya apa?" balas Mark, mencoba mengendalikan suaranya.
"Pria yang suka selingkuh, bukankah karena burungnya kegatalan? Makanya dia suka mencari sarang di mana-mana? Lalu apa salahnya aku suntik bius ke burungnya? Hanya overdosis saja, tapi masih bisa untuk buang air kecil. Hanya saja, dia tidak bisa main wanita lagi," ujar Pinky santai, seolah sedang membicarakan hal biasa.
Mark menahan nafas, wajahnya memerah, nyaris kehabisan kata-kata. Ia mengepalkan tangan di sisinya, menahan diri untuk tidak meledak.
"Kau..." ucap Mark, suaranya tertahan oleh rasa kesal yang meluap.
"Sudah! Sudah!" sela Pinky cepat, melambaikan tangan seolah tak mau lagi mendengar ocehan ayahnya. "Tenang saja, besok aku akan menjadi pengantin yang patuh. Padahal, kamu masih ada putri lain, kenapa bukan dia saja yang menikah?"
Mark menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia menatap Pinky tajam, suaranya masih penuh emosi.
"Dia masih ingin mengejar cita-citanya, tidak sepertimu!" jawab Mark dengan ketus.
Pinky tersenyum sinis, lalu melangkah ke arah pintu kamarnya. Sebelum masuk, ia menoleh sekali lagi, kali ini dengan tatapan dingin.
"Dia bukan adikku juga. Terserah dia ingin mengejar cita-cita atau apa pun, yang penting jangan menjadi simpanan orang saja," ketus Pinky sebelum membanting pintu kamar dengan keras.
Suara pintu yang dibanting menggema ke seluruh rumah. Mark hendak berteriak lagi, namun dihentikan oleh istrinya, Ruby, yang menepuk bahunya dengan lembut.
"Sudah cukup! Jangan setiap kali kau pulang hanya tahu marah padanya. Seharusnya kau juga harus introspeksi diri!" kata Ruby dengan kesal sebelum melangkah ke dapur.
"Anak dan ibu sama saja. Aku akan membuktikan kalau Micky akan lebih baik dari Pinky," gumam Mark.
Pinky tiba-tiba membuka pintu kamarnya dengan gerakan kasar.
"Kalau dia berhasil mengejar cita-citanya, setelah kamu sudah tua dan sekarat, jangan harap anakmu itu akan merawatmu. Dan jangan memintaku merawatmu juga!" ucap Pinky tajam, menekankan setiap kata dengan nada penuh kemarahan.
Setelah mengatakan itu, Pinky langsung kembali ke kamarnya tanpa menunggu respons ayahnya. Pintu kamar itu kembali dibanting dengan keras, menciptakan suara yang menggema di seluruh rumah.
Brak!
Mark berdiri mematung di ruang tamu. Wajahnya merah padam, giginya bergemeretak menahan luapan amarah yang tak mampu ia ungkapkan. Ia membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi hanya beberapa kata yang akhirnya keluar.
"Anak ini...," ucap Mark dengan suara tertahan, seolah kata-katanya terhenti di tenggorokan.
Ruby, yang mendengar semua itu dari dapur, hanya menghela napas panjang." kalau bukan karena sifatmu, anakmu yang selalu penurut ini tidak akan menjadi musuhmu," gumamnya.
Acara pernikahan berlangsung keesokan harinya dengan meriah.
Sebuah mobil mewah berhenti di depan hotel tempat acara berlangsung. Dari dalam mobil, seorang pria berwibawa dengan penampilan elegan, Dev Jaycolin, melangkah keluar. Kehadirannya langsung menarik perhatian para tamu yang berada di sana, termasuk Jims, sang pengantin pria.
“Tuan Jaycolin,” sapa Lucas, ayah Jims, dengan ramah.
Dev menatapnya sekilas dengan dingin. “Hm,” jawabnya singkat. “Aku akan keliling tempat ini. Tidak perlu repot-repot melayani aku,” tambahnya sebelum berjalan menjauh, meninggalkan Lucas yang hanya bisa menatapnya dengan bingung.
Sementara itu, Pinky, pengantin wanita, masih berada di ruang rias. Namun, ia mulai merasa bosan. Ia berdiri dan melirik pantulan dirinya di cermin besar.
“Membosankan sekali,” gerutunya sambil menarik sedikit ujung gaun pengantin panjangnya. “Gaunnya panjang dan bikin risih.”
Merasa tak betah lagi duduk diam, Pinky memutuskan keluar dari ruang rias untuk menghirup udara segar. Gaun mewahnya yang berlapis renda bergerak mengikuti langkahnya.
Bab selanjutnya.
Diceraikan di hari pernikahan...
Ciuman Pinky dan Dev