Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 CACA HANYA BEBAN BAGI SUAMINYA
Ayah mertuaku pun menambahkan, "Jangan sampai semua uang itu terbuang begitu saja. Caca harus belajar bagaimana mengelola keuangan, bukan hanya terus menghabiskannya untuk barang-barang mewah."
Mas Danu hanya diam, tapi aku bisa melihat dari raut wajahnya bahwa ia sedikit kesal dengan komentar orang tuanya. Dia tetap memutuskan untuk memberikan aku kebebasan. "Aku tahu apa yang aku lakukan, Ma, Pa," jawab Danu dengan tenang. "Ini keputusan kami. Biarkan Caca menikmati apa yang dia inginkan."
Meskipun mertuaku tidak setuju, suamiku berusaha memberi ruang untuk kebahagiaanku. Ini adalah salah satu cara yang bisa dia lakukan untuk membuat aku merasa dihargai.
Setidaknya, aku sekarang punya kesempatan untuk menikmati hidup sejenak tanpa beban. Kartu kredit itu memberiku kebebasan yang aku butuhkan, dan aku berniat untuk memanfaatkannya sebaik-baiknya.
Selepas kepergian Caca, ibu Danu tak bisa menahan diri untuk meluapkan kekesalannya. Dia duduk di ruang tamu, matanya tajam menatap anak laki-lakinya, dan suaranya yang biasanya lembut kini terdengar tegas.
"Danu," kata ibunya, suaranya agak serak. "Kamu terlalu memanjakan Caca. Seharusnya kamu lebih tegas terhadapnya. Memberikan kartu kredit seperti itu hanya akan membuatnya semakin boros, dan kita tahu bagaimana dia. Apa yang dia lakukan itu tidak sehat untuk keluargamu, untuk masa depan kalian."
Danu yang baru saja duduk di sofa, menatap ibunya dengan tatapan lelah. Dia menghela napas panjang, mencoba tetap tenang meskipun ada rasa frustasi yang menggerogoti dirinya. "Ibu, aku hanya ingin Caca bahagia. Memang, aku tahu dia kadang berlebihan, tapi dia juga harus merasa dihargai. Aku tidak bisa terus-menerus mengatur hidupnya. Kami berdua sudah dewasa."
Ibu Danu mendengus, jelas terlihat ketidaksetujuannya. "Tapi, Danu, apa yang akan terjadi jika dia terus seperti itu? Dia sudah lima tahun menikah, dan kita belum melihat adanya perubahan. Kartu kredit itu hanya akan menambah bebanmu. Kalau dia terus menghabiskan uang tanpa pikir panjang, kita bisa berakhir seperti keluarga yang selalu kekurangan."
Danu menundukkan kepala, terdiam sejenak. "Aku tahu, Bu. Tapi aku tidak ingin dia merasa tertekan. Aku ingin kami saling mendukung, bukan hanya mengkritik satu sama lain."
Ibu Danu tidak bisa menahan rasa khawatirnya. "Ibu mengerti kamu ingin mendukungnya, tapi hati-hati, Danu. Kamu terlalu baik padanya. Kalau kamu terus memanjakan Caca seperti itu, dia akan semakin lupa akan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Dia lebih peduli pada penampilannya daripada kehidupan rumah tangga. Jangan sampai kebiasaan buruknya merusak semuanya."
Danu akhirnya mengangkat wajahnya, menatap ibu dengan serius. "Aku tahu, Bu. Aku berusaha memahami Caca. Tapi aku juga harus menjaga rumah tangga kami. Aku tidak bisa terus ditekan oleh orang tua dan harus selalu menuruti apa yang mereka inginkan. Caca adalah istriku, dan aku akan terus mendukungnya, meskipun itu sulit."
Ibunya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Danu, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami khawatir, rumah tanggamu, semua itu penting. Jangan sampai terlalu memanjakan istri sampai akhirnya kita tidak tahu lagi harus bagaimana."
Danu menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Aku tahu, Bu. Aku akan berpikir lebih matang tentang semua ini. Tapi biarkan aku menghadapinya dengan cara kami berdua."
Ibu Danu menatap anaknya dengan mata yang penuh kekhawatiran, tapi dia tahu bahwa Danu sudah dewasa dan membuat pilihannya sendiri. "Kami hanya ingin kamu bahagia, Danu. Tapi jangan sampai kebahagiaan itu datang dengan harga yang terlalu mahal."
Di dalam hatinya, Danu tahu bahwa tantangan dalam pernikahannya tidak akan mudah. Ia mencintai Caca, namun ia juga harus menjaga keseimbangan dalam hidup mereka.
Sejak awal, hubungan Caca dengan orang tua Danu memang tidak pernah berjalan mulus. Dari sudut pandang mereka, Caca hanya seorang wanita yang mengandalkan kecantikannya semata tanpa mampu berkontribusi secara nyata dalam kehidupan rumah tangga.
Mereka merasa kecewa, karena meskipun Danu sudah memilih Caca sebagai istrinya, wanita itu tidak menunjukkan kualitas yang mereka harapkan dalam mengurus rumah tangga.
Ibu Danu sering melontarkan komentar tajam di belakang Caca, terutama tentang bagaimana dia menghabiskan uang tanpa berpikir panjang. "Dia hanya tahu membeli barang-barang mahal, tapi tidak bisa mengurus rumah tangga dengan baik. Apa yang dia lakukan selain menjadi hiasan di rumah?" keluh ibunya kepada suaminya suatu malam.
Ayah Danu pun tak kalah kesal. "Danu sudah memberikan semuanya, dan dia hanya bisa menghabiskan uang. Apa yang bisa dia berikan kembali? Tidak ada yang lebih berharga selain kecantikannya, dan itu tidak cukup untuk membuat rumah tangga ini bahagia," ujarnya dengan nada penuh kekecewaan.
Danu merasa terjepit di antara dua sisi—dia sangat mencintai Caca, tetapi di sisi lain, dia juga mendengar keluhan terus-menerus dari orang tuanya. Mereka merasa Caca hanya memanfaatkan kekayaan yang dimilikinya dan tidak berusaha untuk menjadi lebih mandiri atau berperan lebih dalam rumah tangga mereka.
"Kenapa dia tidak bisa belajar sedikit saja mengurus rumah?" keluh ibu Danu lagi, tak terima melihat anaknya terjebak dalam pernikahan yang tampaknya tidak memberikan banyak kontribusi bagi masa depan keluarga.
Ketegangan ini semakin terasa ketika Caca semakin sering menghabiskan uang untuk dirinya sendiri, membeli barang-barang mewah, atau pergi berbelanja tanpa memikirkan bagaimana keuangan rumah tangga mereka harus dikelola.
Dalam pandangan mertuanya, Caca semakin terlihat tidak berguna dan hanya berfokus pada dirinya sendiri, bukan pada keluarga atau perannya sebagai istri.
Danu berusaha keras untuk melindungi Caca, tetapi di balik semua itu, dia merasa tersiksa. Di satu sisi, ia ingin melihat Caca bahagia, tetapi di sisi lain, ia juga merasa terjebak antara cintanya kepada istrinya dan harapan orang tuanya yang terus mengkritik dan meragukan Caca.
...****************...
Setelah aku mendapatkan kartu kredit yang sudah lama kucari, aku merasa seperti mendapatkan kebebasan yang tidak ternilai. Tak perlu lagi khawatir tentang uang, karena sekarang aku bisa membeli apa saja yang aku inginkan, bahkan tanpa memikirkan besarnya angka yang tertera. Aku langsung menghubungi Laras, ingin menunjukkan kepadanya betapa menyenangkannya berbelanja di mall besar yang penuh dengan barang-barang branded yang selama ini aku impikan.
Begitu aku sampai di mall itu, rasanya seperti masuk ke dalam dunia yang benar-benar baru. Semua toko yang menjual barang-barang mewah berjejer di sepanjang lorong, dengan varian yang mengundang perhatian. Mata aku langsung berbinar melihat tas-tas bermerek, sepatu cantik yang selalu aku inginkan, dan pakaian-pakaian elegan yang bisa membuat penampilanku semakin sempurna.
Laras yang sudah menungguku di sana tampak sangat modis. Kami berjalan bersama, menikmati setiap detik berbelanja, sambil berbincang ringan tentang hidup. Namun, saat aku mulai melihat koleksi tas terbaru di salah satu butik, aku tak bisa menahan diri lagi. Aku tahu kartu kredit itu milik Danu, suamiku, dan aku tahu dia pasti akan marah kalau tahu aku menghabiskan uang sebanyak ini, tapi aku tak peduli. Inilah yang aku inginkan—kebebasan untuk melakukan apa saja tanpa merasa tertekan.
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya