Berawal dari kematian tragis sang kekasih.
Kehidupan seorang gadis berparas cantik bernama Annalese kembali diselimuti kegelapan dan penyesalan yang teramat sangat.
Jika saja Anna bisa menurunkan ego dan berfikir jernih pada insiden di malam itu, akankah semuanya tetap baik-baik saja?
Yuk simak selengkapnya di novel "Cinta di Musim Semi".
_Cover by Pinterest_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon seoyoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8 {Rencana jebakan}
Keesokan harinya.
Di apartemen Glory yang berada di kawasan elite Jakarta selatan.
Waktu menunjukan pukul 08:00 tepat, ketika Edrea terbangun dari tidur panjangnya, ia menggeliat diatas ranjang sembari meraba sisi ranjang sebelahnya. Namun saat tangannya tak menemukan siapapun disampingnya, spontan tubuhnya bangkit dan lalu melepas penutup mata yang menghalangi pandangannya.
Kedua matanya sibuk mencoba menelusuri area kamar untuk menemukan karibnya yang menghilang dipagi buta, namun nihil, karibnya itu tak ada sejauh mata memandang.
“Kemana dia?” gumam Edrea yang bergegas turun dari ranjang kemudian membawa langkahnya menuju kamar mandi.
“Anna! (tok tok tok, Edrea memanggil karibnya sembari mengetuk pintu kamar mandi) Anna! (tok tok tok, Edrea kembali memanggil Anna sebelum akhirnya memtuskan untuk menarik handle pintu dan mendorongnya) Anna!” Edrea meninggikan suaranya seraya mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru kamar mandi luasnya.
Namun hanyalah hembusan angin serta aroma semerbak yang berasal dari wewangian kamar mandi yang menyapa indra penciumannya.
Merasa mulai ada yang tidak beres, ia pun menarik langkah cepatnya keluar dari kamar dengan perasaan gelisah tak menentu.
“Aiish! Dia kemana sih! Gak biasanya dia bangun sepagi ini, bahkan saat kuliah pun dia sering melewatkan kelas pagi,” racau Edrea dalam perjalanannya memburu sang karib yang telah menghilang entah kemana.
Kamar mandi luar nihil, dapur nihil, balkon nihil, bahkan diruangan lainnya pun nihil, semakin menambah kekhawatiran Edrea, ia sudah tak bisa berfikir positif lagi, pikirannya kini hanya di penuhi hal-hal negative yang lantas membuatnya berlari kecil menuju nakas dimana telpon rumah tersimpan.
Dengan cepat jemari lentiknya menekan tombol angka yang akan menghubungkannya pada seseorang, seseorang yang dapat membantunya disituasi darurat seperti ini.
Namun sebelum ia menekan tombol terakhir, suara pintu apartemen lebih dulu menghentikan gerakannya dan membuatnya termenung sejenak sembari menunggu seseorang yang muncul di lorong yang terhubung dengan ruang tengah.
“Apa?” tanya Anna dengan polosnya sembari mengangkat bahunya, tanpa menunggu respon Edrea, Anna pun lantas menarik langkahnya menuju area dapur.
“AISH! SIAL! YAK!” bentak Edrea yang lalu mengambil langkah cepat menyusul karibnya yang sudah berada di area dapur, dan kini sedang menikmati segar nya air mineral yang diambil nya dari lemari pendingin.
“Sudah kubilang jangan berpergian tanpa memberitahu Anna! Apa kau tak tahu … “ belum sempat Edrea mengeluarkan uneg-unegnya, Anna keburu membungkam mulut Edrea dengan 1 jemari telunjuknya, sementara 1 tangan yang lain ia gunakan untuk memegang botol air mineral yang masih menempel di mulutnya.
“Aiish!” Edrea menepis kasar jari Anna dari mulutnya.
“Kau!”
“Aku udah bilang kok sebelum pergi jogging,” sela Anna seraya menutup botol air mineral kemudian menaruhnya di atas meja dan pergi begitu saja meninggalkan Edrea yang sebenarnya masih belum selesai bicara dengannya.
Anna melepas jaket milik Edrea yang dikenakannya kemudian melemparnya ke sudut sofa.
“Kapan? Kapan kau bilang?!” geram Edrea yang berlari kecil dari dapur ke area tengah, ia menghampiri Anna yang kini tengah bersantai di sofa sembari menikmati tontonan ringan di televisi yang di setelnya.
“Ya sebelum pergi jogging, sudahlah, kau selalu saja meributkan hal sepele,” keluh Anna yang merasa terganggu dengan dumelan panjang lebar karibnya itu.
“Aughh!” Kesal Edrea yang lalu menggeplak bagian belakang kepala Anna selagi ia berjalan melewatinya.
“Astaga! Dia benar-benar masih mengerikan seperti dulu,” Anna bermonolog seraya menggeleng kepalanya.
Dreeeeddd! Drreeeddd! Ponsel yang berada di atas bupet dekat televisi bergetar yang membuat fokus Anna teralihkan. Ia pun bangkit dan menarik langkah untuk meraih ponsel nya yang masih tersambung ke kabel charger.
Dahinya mengerut kala melihat deretan angka dalam layar ponselnya, sebelum akhirnya memutus pengisian ponselnya dan menerima panggilan tersebut.
“Halo,” sapa Anna, Anna pun kembali berjalan dan duduk di sofa selagi menerima telfon dari kontak yang tak dikenalnya.
Sementara itu, di perusahaan HB Group yang berada di kawasan elite Jakarta selatan.
Tepatnya diruangan presdir, terlihat seorang pria sedang berdiri di dekat jendela besar dengan secangkir kopi hangat yang berada dalam genggamannya. Ia menatap lurus ke area pekarangan dengan tatapan dinginnya.
“Gue udah ngatur pertemuan lu dengan putri bungsu CL Group, lu harus dateng, kalau engga … “ Matthias menghentikan kalimatnya dan kemudian di respon lirikan maut oleh Bastian.
“Nyonya Lansa (nenek dari ayah Bastian yang telah tiada) akan datang ke Indonesia, untuk terus mendesakmu menikah. Ayolah! Setidaknya tunjukan sopan santunmu Bas, temani gadis itu berbincang selama 30 menit,” gerutu Matthias dengan keputusasaannya.
“Gue pergi setelah 30 menit berlalu,” sanggah Bastian yang lalu kembali menyeruput kopi pahit buatan sekretarisnya.
“Aughh! Shit! Iya memang lu pernah bertahan selama 30 menit, tapi tanpa bicara sedikitpun! Kau malah asyik dengan ponselmu dan membuat gadis itu merasa diabaikan. Lantas apa bedanya dengan kau yang pergi setelah 5 menit saling sapa?!
Kau benar-benar! Kali ini lakukan dengan benar dan tulus! Oke! Dengan tulus, mengerti!” Matthias menekankan berharap karibnya itu bisa mendengarkannya sekali saja.
“Hmmp, dimana lokasinya kali ini?” pasrah Bastian seraya melirik sesaat ke arah Matthias.
“Hotel xxx,” timpal Matthias singkat dan ikut memperhatikan area pekarangan perusahaan HB Group seraya memasukan salah satu tangan ke dalam saku celananya.
“Apa? Bukankah itu hotel … “
“Ya, hotel milik pria tua bangka itu, pria tua menjijikan yang sangat menginginkan Anna menjadi wanita simpanannya, dan kau … benar-benar mengabulkan keinginannya,” celetuk Matthias sarkas diiringi tatapan sinisnya.
“Tenang saja, lokasi pertemuan kalian sangat berjauhan, meski berada di hotel yang sama, tapi kau memiliki pertemuan di sisi barat sementara Anna di sisi timur, kalian tak akan mungkin bertemu,” tambah Matthias yang lalu pergi meninggalkan Bastian setelah menyampaikan apa yang perlu ia sampaikan.
“Tapi Bastian, (imbuh Matthias saat hendak menarik handle pintu ruangan, tanpa menoleh dan hanya melirik sedikit ke belakang) sebaiknya pertimbangkan kembali mengenai rencana balas dendammu ini, wanita itu tidak bersalah,” Matthias kembali memperingatkan Bastian mengenai rencana jahatnya yang ingin menghancurkan kehidupan Anna.
Namun Bastian tetap tak bergeming, ia hanya menyeruput kopi pahitnya sembari mengamati area pekarangan luas perusahaannya, dan sama sekali tak terpengaruh dengan peringatan Matthias.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kembali ke aparteman Glory.
Setelah menyantap sarapan bersama, kini Edrea terlihat sedang membereskan piring-piring kotor di meja kemudian dibawanya ke wastafel, sementara Anna sibuk dengan ponselnya di kursi seraya sesekali meneguk jus tomat buatan Edrea.
“Apa sih yang kau lihat dari tadi, serius amat!” dumel Edrea yang telah mengumpulkan piring kotor di wastafel, ia pun berjalan menghampiri Anna untuk melihat apa yang menjadi fokus Anna sedari tadi.
“Apa ini?!” pekik Edrea seraya menyambar ponsel Anna dan menatap layar ponsel Anna yang tengah menunjukan sebuah foto panti asuhan.
“Cukup! Hentikan Anna, dia yang membuatmu berakhir di penjara, berhenti memperdulikannya!” geram Edrea.
“Ini gak seperti yang kau pikirkan, kembalikan ponselku,” pinta Anna seraya bangkit dan hendak mengambil alih kembali ponsel miliknya yang digenggam erat oleh Edrea.
“Yak! Pikirmu aku bodoh?! Kau pasti akan mencarinya kan?” amuk Edrea dengan nada ngegasnya seraya menyembunyikan ponsel Anna ke balik tubuhnya.
“Sudah 5 tahun Edrea, kau masih saja membencinya? Dia juga sudah mendapat hukuman yang pantas bukan?” bela Anna yang merasa tak sejalan dengan karibnya Edrea yang masih menaruh dendam kesumat pada Felice.
“Aku gak ngerti denganmu Anna! Dia sudah menjebak dan mencuri kekasihmu, kemudian menempatkanmu di penjara, kau masih berpikir dia layak menjadi temanmu?!
Dia sudah menghancurkan masa depanmu Annalese, SADARLAH!
Meski dia buta sekarang apa itu bisa mengembalikan masa masa mudamu yang kau habiskan di penjara huh?!
Jangan pernah berfikir untuk menemuinya kembali, atau kau lebih memilih memutus hubungan denganku!” tegas Edrea yang kemudian pergi meninggalkan area dapur dengan membawa ponsel milik Anna dalam genggamannya.
Bersambung***