**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menyakitkan
Alya melangkah anggun di jalan trotoar hingga pandangannya menangkap sosok Arga yang baru saja keluar dari kafe milik Mentari. Hatinya mendadak bergetar. Tanpa berpikir panjang, ia berlari mengejar pria itu.
"Arga!" teriak Alya dengan suara lantang.
Arga menghentikan langkahnya, lalu menoleh. Begitu melihat wajah Alya, tubuhnya mendadak kaku. Kenangan lama tentang masa pernikahan mereka kembali menghantui pikirannya—kenangan tentang pengkhianatan Alya yang menghancurkan kepercayaannya.
Tatapan Arga menjadi dingin, seperti pisau tajam yang menusuk. Alya merasa gemetar di bawah pandangan itu, tapi ia tetap mendekatinya.
"Mas Arga..." suaranya bergetar. Ia menatap pria itu dari ujung kepala hingga kaki, memperhatikan betapa kerennya penampilan Arga saat ini. "Kamu... masih seperti dulu, bahkan lebih."
Arga tidak menanggapi. Ia hanya mengerutkan dahi, tampak tidak ingin membuang waktu untuk perempuan yang pernah menghancurkannya.
"Aku ingin meminta maaf," kata Alya akhirnya, suaranya dipenuhi penyesalan. "Aku benar-benar menyesal atas apa yang kulakukan dulu. Aku tahu aku salah, Mas. Tolong, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya."
Arga mendengus pelan, lalu berdecih dingin. "Permintaan maafmu sudah tidak ada artinya, Alya. Kesempatan itu sudah hilang sejak lama."
Tanpa menunggu reaksi Alya, Arga melangkah pergi, menuju mobilnya. Namun sebelum sempat ia membuka pintu, Alya berteriak lagi.
"Kenapa kamu seperti ini, Arga? Mau mengejar sepupuku, Mentari? Apa kamu belum tahu dia sudah punya anak dan suami?"
Arga menghentikan langkahnya, menoleh sesaat ke arah Alya. Tatapannya tetap tajam dan tak tergoyahkan.
"Aku tahu segalanya," jawabnya dingin. "Dan itu bukan urusanmu, Alya."
Ia masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan Alya lagi. Mesin mobil menyala, dan dalam hitungan detik, Arga melaju pergi, meninggalkan Alya yang berdiri terpaku di tempat.
Alya menggigit bibirnya, hatinya terasa pedih melihat bagaimana Arga telah berubah. Pria yang dulu mencintainya kini tak lagi memiliki ruang untuk dirinya, dan semua itu karena kesalahannya sendiri.
Alya berdiri beberapa detik di tempatnya, merenung. Matanya yang tajam menatap mobil Arga yang mulai menghilang dari pandangannya. Dia berpikir keras, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi antara Arga dan Mentari.
"Untuk apa Arga datang ke kafe Mentari?" pikir Alya dalam hati, menyusun berbagai kemungkinan. "Apakah mereka sering bertemu diam-diam?"
Sebuah senyum sinis perlahan terbentuk di bibir Alya. "Kalau memang begitu, itu sangat bagus," gumamnya, suara hatinya dipenuhi dengan niat busuk. "Aku bisa melaporkan semua ini kepada suami Mentari."
Alya membayangkan dirinya membawa bukti pertemuan-pertemuan mereka ke suami Mentari, membocorkan hubungan gelap yang seolah tersembunyi di balik kafe milik sepupunya itu. Dia tahu betul bahwa jika suami Mentari tahu, itu akan menghancurkan hubungan mereka.
"Kalian pikir aku bodoh?" Alya mendesis pelan. "Aku akan membuat kalian menyesal!"
Dengan senyum puas yang tersungging di bibirnya, Alya mulai melangkah pergi, hatinya dipenuhi kebencian dan rencana balas dendam. Dia akan membuat Arga dan Mentari merasakan konsekuensi dari hubungan yang dia anggap sebagai pengkhianatan.
Alya berdiri di depan rumah mewah Mentari, matanya menyelidik dan penuh iri. Dia tahu betul bahwa suami Mentari, Wijaya, adalah seorang pengusaha besar yang memiliki mall dan banyak properti. Namun, Alya merasa ada kesempatan untuk memanfaatkan situasi ini demi balas dendam.
Saat itu, kebetulan Wijaya keluar dari rumah, mengendarai mobil mewahnya. Alya tidak menyia-nyiakan kesempatan, langsung berlari menghentikan mobil Wijaya. Wijaya, yang mengenal Alya karena pernah diperkenalkan oleh Mentari, tampak heran melihatnya.
"Ada apa, Alya?" tanya Wijaya, terkejut melihat wanita itu berdiri di depannya.
Alya langsung beraksi, tanpa ragu. "Aku melihat Mentari di kafe, berbicara dengan seorang pria," kata Alya, nada suaranya penuh keyakinan. "Dan pria itu adalah penolong Mentari yang dulu."
Wijaya terdiam sejenak, tatapannya berubah serius. "Pria itu?" tanyanya, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Alya. "Apa kamu yakin?"
Alya mengangguk, menambahkan dengan tegas, "Aku melihatnya sendiri, dan aku rasa mereka punya hubungan lebih dari sekadar teman. Kamu harus tahu tentang ini, Wijaya."
Namun, Wijaya tidak begitu saja mempercayai perkataan Alya. Dia menatap Alya dengan penuh curiga, matanya berbinar tajam. "Aku akan menyelidikinya sendiri."
Alya merasa puas dengan reaksinya, namun di dalam hatinya, dia tahu bahwa cerita ini baru saja dimulai. Jika Wijaya benar-benar mulai menyelidiki, mungkin dia bisa mengungkap lebih banyak hal yang bisa menguntungkan rencananya. Dengan langkah cepat, Alya pergi, meninggalkan Wijaya yang masih merenung, berusaha memahami kebenaran di balik perkataan Alya.
Mentari terdiam, matanya kosong menatap keluar jendela. Pikiran-pikiran yang berputar di kepalanya semakin sulit untuk dia kendalikan. Kenapa aku merasa seperti ini? batinnya. Bahkan meskipun dia sudah memiliki suami yang baik dan anak yang sangat dia cintai, melihat Arga menyukai wanita lain, apalagi pelayan pribadinya sendiri, terasa begitu mengganggu hatinya.
Perasaan yang tak terduga itu datang begitu saja, mencubit hatinya dengan rasa cemburu yang dalam. Meskipun dia tahu bahwa hubungan mereka telah berakhir, ada sesuatu yang mengguncang dalam dirinya, seakan-akan tak bisa menerima kenyataan bahwa Arga pria yang pernah dia cintai sekarang tertarik pada orang lain. Aku sudah punya keluarga, kenapa aku merasa cemas dan tidak rela? pikirnya, merasa bingung dengan perasaan yang muncul.
Rasa sakit yang menusuk itu bukan hanya datang dari kenyataan bahwa Arga memilih untuk menyukai orang lain, tetapi juga dari rasa kehilangan yang entah kenapa tak bisa dia hilangkan. Dulu, Mentari tahu betul betapa dalamnya perasaan mereka, namun kini, melihat Arga memperhatikan Kayla dengan cara yang berbeda, membuat Mentari merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.
Apa aku masih mencintainya? tanya Mentari dalam hati, tapi dia segera mengusir pikiran itu. Tidak, aku sudah berkeluarga. Kenapa aku harus merasa seperti ini? Namun, perasaan itu tidak mudah untuk diabaikan. Keinginan untuk tetap berada di samping Arga, untuk menjadi yang pertama dia pilih, terasa begitu kuat meski dia tahu itu tidak lagi mungkin.
Mentari menghela napas panjang. Dalam keheningan itu, satu hal yang dia sadari: meskipun hidupnya telah berubah, dan dia sudah memiliki keluarga, perasaan terhadap Arga masih meninggalkan bekas yang sulit untuk dia lupakan.
Hari Minggu yang cerah membawa Kayla ke tempat favoritnya, pantai. Setiap kali mendapatkan hari libur, dia selalu melarikan diri ke sini. Duduk di tepi pantai, menatap air laut yang biru, dan mendengarkan deburan ombak adalah cara terbaiknya untuk melepas penat. Dengan langkah santai, Kayla berjalan menyusuri pasir putih, menikmati angin yang mengibarkan rambutnya.
Namun, siapa sangka di pantai yang sama, Arga juga sedang berada di sana. Ia berdiri di kejauhan, mengenakan pakaian santai yang tetap memancarkan pesona khasnya. Matanya menangkap sosok Kayla yang berjalan dengan ekspresi riang, seolah dunia di sekitarnya hanya dipenuhi kebahagiaan.
Tanpa sengaja, mereka berpapasan. Kayla yang ceroboh hampir saja menabrak Arga lagi.
“Kayla,” panggil Arga dengan nada tenang, namun pandangan matanya tetap tajam.
Kayla terkesiap, melihat siapa yang berdiri di depannya. “Ah! Pak Arga! Maaf lagi-lagi hampir menabrak Anda,” ucapnya sembari tertawa kocak, berusaha menutupi rasa gugupnya. “Sepertinya saya memang spesialis bikin Anda hampir jatuh, ya.”
Arga menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, namun ada sedikit senyuman di ujung bibirnya. “Kamu ini ceroboh sekali. Jangan-jangan setiap kali libur, kamu memang sengaja cari cara buat nabrak aku?” tanyanya, separuh bercanda.
Kayla mengangkat alis, tertawa lebih lepas. “Wah, percaya diri sekali, Pak. Pantai ini kan milik umum, masa iya saya tahu Anda bakal di sini?”
Arga hanya menggeleng pelan, tapi matanya tetap memperhatikan Kayla dengan cara yang membuat Kayla merasa ada sesuatu yang berbeda. Kayla, dengan sikap cerianya yang khas, tidak menyadari betapa tatapan itu penuh perhatian, seolah Arga menemukan sesuatu yang baru dalam dirinya.
“Jadi, kamu suka pantai?” tanya Arga tiba-tiba, mencoba membuka percakapan lebih jauh.
“Suka banget! Tempat ini bikin saya merasa bebas. Gimana dengan Anda, Pak? Anda suka pantai juga?” Kayla menatapnya dengan mata berbinar.
“Bukan soal pantainya,” jawab Arga singkat, tapi matanya berbicara lebih dari itu. Dia kembali menatap Kayla, seolah sedang mencoba memahami wanita ceria dan ceroboh ini lebih dalam.
Kayla tertawa kecil, tak mengerti maksud Arga. “Hmm, Anda ini misterius sekali, ya, Pak.”
Mereka melanjutkan percakapan sambil berjalan menyusuri pantai. Arga yang biasanya dingin dan serius, perlahan mulai menikmati suasana ceria yang dibawa Kayla. Entah kenapa, di antara suara ombak dan pasir yang berbisik, ada sesuatu dalam hati Arga yang terasa hangat.
semangat Thor