Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: "Dalam Keterasingan"
Hari-hari berlalu, dan semakin jelas bagi Leonel bahwa dunia yang dia tinggali bukanlah dunia yang penuh kasih dan perhatian. Meski tinggal di rumah mewah, dia merasa lebih seperti seorang tamu yang tak diinginkan daripada anggota keluarga. Setiap pagi adalah rutinitas yang sama: bangun dari tempat tidur dengan cemas, turun ke lantai bawah dengan harapan kecil akan sapaan ramah, hanya untuk menghadapi keheningan atau tatapan acuh tak acuh dari anggota keluarganya.
Saat berada di sekolah, Leonel berusaha keras untuk bersikap normal. Senyumannya yang selalu tenang berhasil menipu sebagian besar teman sekelasnya. Hanya Morgan, teman yang dia tabrak di hari pertama, yang tampaknya benar-benar memperhatikan bahwa di balik senyum itu, Leonel menyimpan kesedihan mendalam. Setiap kali istirahat tiba, Leonel sering duduk sendirian di pojok lapangan, memperhatikan teman-teman lain bermain dan tertawa, seolah-olah mereka hidup dalam dunia yang berbeda dari miliknya.
Namun, sekolah bukanlah pelarian yang sepenuhnya aman bagi Leonel. Gento, kakak tirinya yang lebih tua, sering kali menjadi sosok yang menambah beban di hari-harinya. Setiap kali mereka berpapasan di sekolah, Gento tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengganggunya. Kadang-kadang hanya berupa tatapan sinis atau ejekan kecil yang tak terdengar oleh orang lain, namun cukup untuk membuat Leonel merasa semakin terasing. Terkadang, Gento dan teman-temannya bahkan mengintimidasi Leonel secara fisik, mendorongnya atau menjatuhkan barang-barang miliknya. Meski hal itu tak pernah terjadi di depan guru, Leonel merasa selalu diawasi oleh bayangan gelap sang kakak.
Leonel tak pernah melaporkan hal itu kepada siapapun. Dia takut tak ada yang akan percaya, atau lebih buruk lagi, bahwa tak ada yang peduli. Setiap kali dia berusaha bicara pada ayahnya, Arnold Von Adler, ayahnya hanya membuang pandang, tak ingin mendengar masalahnya. “Kamu sudah besar, Leonel. Kamu harus belajar menghadapi hidupmu sendiri,” ucap ayahnya setiap kali Leonel mencoba bercerita. Kata-kata itu terasa seperti hukuman, menutup mulut Leonel dari setiap harapan akan perhatian.
Malam hari adalah waktu terburuk bagi Leonel. Rumah besar keluarga Von Adler yang megah berubah menjadi tempat sunyi yang dingin dan tak berjiwa. Di meja makan, dia duduk sendirian lebih sering daripada tidak. Ibunya, Astrid, sibuk dengan kegiatannya di dunia hiburan, berusaha kembali ke panggung setelah bertahun-tahun vakum. Sementara itu, Arnold kerap menghabiskan waktu di luar rumah dengan bisnisnya atau berkumpul dengan rekan-rekannya. Kakak-kakaknya pun seolah hidup dalam dunia mereka sendiri, yang sepertinya tak pernah ingin melibatkan Leonel di dalamnya.
Setiap kali Leonel mendengar tawa atau percakapan hangat dari ruangan lain, hatinya terasa semakin hampa. Malam itu, ketika duduk di atas kasurnya yang besar, dengan dinding-dinding kamar yang mewah mengelilinginya, Leonel memandang ke langit-langit, bertanya-tanya apakah kehidupan ini selalu akan seperti ini—penuh kehampaan dan kesendirian. Dia merindukan neneknya, satu-satunya sosok yang pernah memberinya cinta tanpa syarat. Neneknya selalu tahu cara membuat Leonel merasa istimewa, tetapi sekarang dia telah pergi, meninggalkan Leonel sendirian di dunia yang sepertinya tak pernah benar-benar menginginkannya.
Beberapa kali, Leonel mencoba menyibukkan dirinya dengan hal-hal lain—membaca buku atau menggambar. Namun, tak ada yang bisa mengusir kesedihan yang semakin mengakar dalam dirinya. Ia merasa dunia luar dan dirinya semakin terpisah, seperti dua alam yang tak pernah bisa saling menyentuh.
Di sekolah, Leonel menemukan sedikit penghiburan dari persahabatannya dengan Morgan. Morgan adalah anak yang ceria, penuh semangat, dan sering kali mengajak Leonel berbicara tentang hal-hal sepele untuk mengalihkan perhatian Leonel dari kekacauan di rumah. Namun, meski begitu, Morgan tidak sepenuhnya memahami perasaan Leonel. Baginya, Leonel hanya anak yang pendiam dan kadang-kadang terlihat sedikit murung. Morgan tak pernah tahu bahwa di balik setiap senyum Leonel tersimpan air mata yang tak pernah keluar.
Setiap malam Leonel berbaring dalam kesunyian, merasakan dinginnya kamar yang luas dan kosong. Tempat tidur yang besar terasa seperti penjara, dan rumah yang megah hanyalah cangkang kosong yang berisi kenangan pahit. Leonel selalu membayangkan apa yang akan terjadi jika hidupnya berbeda—jika keluarganya menyayanginya, jika ayahnya mengakui dirinya sebagai anak, dan jika kakak-kakaknya menerima kehadirannya. Namun, itu hanyalah mimpi yang mustahil terwujud.
Di tengah-tengah semua kegelapan itu, ada malam-malam di mana Leonel terbangun dengan napas tersengal, dikejar mimpi buruk tentang ditinggalkan sendirian. Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, mencerminkan rasa takut terdalamnya—bahwa tak seorang pun menginginkannya, bahwa dia tidak pantas mendapatkan cinta atau perhatian. Dia sering terbangun di tengah malam, menatap jendela yang menghadap ke taman, bertanya-tanya apakah ada kehidupan yang lebih baik menunggunya di luar sana.
Namun, meski kehidupannya terasa seperti penjara yang tak terlihat, Leonel tetap berusaha bertahan. Di dalam dirinya, meski kecil dan rapuh, ada secercah harapan. Harapan bahwa suatu hari, seseorang akan melihatnya, memahaminya, dan mengulurkan tangan untuk menariknya keluar dari kegelapan yang telah begitu lama menenggelamkannya.
Tetapi untuk saat ini, Leonel hanya bisa bertahan. Menjalani hari demi hari dengan harapan bahwa kebahagiaan, sekecil apa pun itu, suatu hari akan menemukannya.