Kerajaan Avaris yang dipimpin oleh Raja Darius telah menjadi kekuatan besar di benua Estherya. Namun, ancaman datang dari Kekaisaran Zorath yang dipimpin oleh Kaisar Ignatius, seorang jenderal yang haus kekuasaan. Di tengah konflik ini, seorang prajurit muda bernama Kael, yang berasal dari desa terpencil, mendapati dirinya terjebak di antara intrik politik dan peperangan besar. Dengan bakat taktisnya yang luar biasa, Kael perlahan naik pangkat, tetapi ia harus menghadapi dilema moral: apakah kemenangan layak dicapai dengan cara apa pun?
Novel ini akan memuat konflik epik, strategi perang yang mendetail, dan dinamika karakter yang mendalam. Setiap bab akan menghadirkan pertempuran sengit, perencanaan taktis, serta perkembangan karakter yang realistis dan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia yang Baru
Bab 20: Dunia yang Baru
Setelah kekalahan Khalid dalam pertempuran terakhir, dunia yang dulunya terbelenggu oleh ketakutan dan kekuasaan gelap perlahan mulai pulih. Kota-kota yang hancur, tanah yang tercemar, dan hati yang terluka mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun, meskipun dunia ini bebas dari tirani Khalid, Kael tahu bahwa tantangan yang lebih besar sedang menanti. Dunia yang kini bebas dari kekuasaan satu orang, justru menjadi medan baru bagi kekuasaan yang lebih banyak, dan persaingan antara faksi-faksi yang terpisah kini semakin intens.
Kael berdiri di atas bukit yang menghadap ke Kota Zhen, kota yang dulu menjadi pusat dari segalanya—tempat di mana Khalid berkuasa dan di mana banyak orang menderita. Sekarang, meskipun masih banyak puing-puing sisa pertempuran yang mengelilingi kota, ada sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih ringan, tidak ada lagi rasa ketakutan yang menyelimuti setiap sudut kota.
Namun, Kael tahu bahwa dunia ini, meskipun tampak damai, tetap berada di ambang kekacauan. Kekuatan yang telah hancur belum sepenuhnya lenyap. Kekosongan yang ditinggalkan Khalid membuat banyak pihak berusaha mengisinya, dan Kael merasa bahwa pertempuran mereka belum berakhir.
"Sudah lama kita tidak melihat pemandangan seperti ini," kata Aria, yang berdiri di sebelah Kael, matanya tertuju pada kota yang mulai pulih itu.
Kael mengangguk pelan. "Namun, ini hanya permulaan. Kita harus bersiap untuk apa yang akan datang."
Aria menatap Kael dengan tatapan yang penuh makna. "Kau masih meragukannya, bukan?"
"Aku meragukan lebih dari itu," jawab Kael dengan suara yang sedikit serak. "Kita telah mengalahkan Khalid, tetapi apakah kita benar-benar bebas? Dunia ini penuh dengan ambisi, dan tanpa pengawasan yang tepat, dunia ini bisa jatuh lebih dalam daripada sebelumnya."
Aria menggigit bibirnya, tidak membantah. Dia tahu betul betapa dalamnya keraguan yang ada dalam hati Kael. Dia telah menyaksikan betapa beratnya beban yang dipikul Kael sepanjang perjalanan mereka, dan meskipun kemenangan mereka besar, tidak ada jaminan bahwa dunia ini akan tetap aman.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Aria, suara lembut namun penuh determinasi.
"Kita harus bersiap," jawab Kael, matanya tetap tertuju pada Kota Zhen. "Kita akan mengadakan pertemuan dengan faksi-faksi yang ada. Kita tidak bisa membiarkan siapa pun mencoba mengisi kekosongan ini tanpa pengawasan."
"Sebuah pertemuan... itu bisa menjadi sebuah perang baru," kata Aria dengan cemas. "Ada banyak faksi yang ingin menguasai dunia ini. Kita harus hati-hati."
"Ya," jawab Kael, berbalik untuk menghadapi Aria. "Kita harus membuat mereka memahami bahwa kita tidak akan membiarkan mereka merusak apa yang telah kita perjuangkan. Dunia ini harus ada keseimbangan."
Beberapa minggu setelah pertemuan tersebut, Kael dan timnya melakukan perjalanan ke ibukota setiap faksi yang ada. Mereka bertemu dengan pemimpin-pemimpin yang sekarang muncul ke permukaan setelah kejatuhan Khalid. Di setiap tempat yang mereka kunjungi, Kael merasakan ketegangan yang tidak bisa dihindari. Para pemimpin ini, meskipun mereka mengklaim untuk mencari kedamaian, selalu terlihat siap untuk mengambil keuntungan dari situasi yang tidak pasti ini.
"Faksi Biru sudah mengirimkan pasukan besar ke utara," kata Aria saat mereka kembali ke markas, malam sudah larut. "Mereka berusaha menguasai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Mereka tahu betul bahwa itu akan memberi mereka kekuatan ekonomi yang tak terkalahkan."
Kael mengerutkan kening, berpikir sejenak. "Dan jika mereka menguasai utara, mereka akan memiliki kendali penuh atas jalur perdagangan utama. Ini akan memberi mereka pengaruh besar di seluruh dunia."
"Faksi Biru dipimpin oleh Lord Niran, seorang mantan jenderal Khalid yang sangat ambisius," kata Rian, anggota tim mereka yang selalu berhati-hati dalam menganalisis situasi. "Dia sudah lama menunggu saat yang tepat untuk mengkonsolidasikan kekuatannya. Sekarang adalah waktunya."
Kael menghela napas panjang. "Kita tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan kekuasaan sebanyak itu. Jika kita tidak bertindak cepat, Faksi Biru bisa menjadi ancaman yang lebih besar daripada Khalid."
Aria menambahkan, "Selain itu, ada banyak faksi kecil yang mulai bergerak. Mereka melihat kekosongan ini sebagai kesempatan untuk merebut wilayah baru. Kita harus memilih sekutu dengan hati-hati."
Tim Kael akhirnya sepakat untuk menyusun strategi. Mereka akan mengadakan pertemuan dengan beberapa faksi yang bisa mereka percayai, sambil menjaga kewaspadaan terhadap faksi-faksi yang tampaknya hanya ingin menguasai kekuasaan. Perjalanan ini bukan hanya untuk menjaga keseimbangan dunia, tetapi juga untuk memastikan bahwa pertempuran besar yang mereka hadapi sebelumnya tidak akan sia-sia.
Beberapa hari setelah diskusi tersebut, Kael mengirimkan surat kepada beberapa pemimpin faksi, mengundang mereka untuk bertemu. Dia tahu betul bahwa tidak semua faksi ini bisa dipercaya, namun dia harus memulai dari suatu titik, dan titik itu adalah pertemuan yang akan menentukan arah dunia ke depannya.
Kael menatap surat-surat yang sudah ditandatangani, lalu menatap timnya. "Ini akan menjadi awal yang sulit," katanya dengan suara berat. "Tapi kita harus menjalankan ini dengan bijak. Kita sudah menghadapi Khalid, dan kita harus siap menghadapi apa pun yang datang setelahnya."
Aria menatapnya, wajahnya penuh perhatian. "Kamu yakin bisa menghadapi semuanya, Kael?"
Kael hanya mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi oleh keraguan. "Kita tidak punya pilihan lain."