"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Orang-orang yang ada di sana sampai menjadikan mereka pusat perhatian. Asya memperhatikan pakaian Indah yang kompak dengan dua orang wanita yang ada di sana.
"Kamu sekarang jadi penyanyi ya?" tanya Asya.
Indah mengangguk cepat. "Sejak lulus SMA aku mulai nyanyi. Soalnya orangtuaku gak sanggup buat kuliahin aku."
Ternyata Asya tidak sendirian. Sebenarnya keadaan mereka yang sama yang membuat mereka bisa menjadi teman akrab. Mereka seakan bisa memahami satu sama lain. Tanpa ada cibiran atau hinaan.
"Kamu sendiri gimana?"
Asya tersenyum kecut. "Hari itu kan aku udah pernah bilang. Aku gak bisa lanjut kuliah. Yah ... alasannya sama kayak kamu."
"Kita yang sabar aja. Mungkin rejeki kita emang gak di situ," kata Indah mengusap lembut lengan Asya.
"Indah! Giliran kamu nih!" panggil seorang pria.
"Iya, Bang!" Indah lalu melirik Asya. "Kita nyanyi bareng yuk," ajaknya pada Asya.
Tentu saja Asya tidak akan menolak sebab tujuan dia ke sana memang untuk menyanyi. Asya itu punya suara yang bagus. Dia cukup percaya diri sebab sejak SD wanita itu memang sering tampil di atas panggung untuk bernyanyi. Asya paling merasa bebas jika sudah berada di atas panggung. Dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus memikirkan apapun.
Dua lagu telah selesai Asya nyanyikan bersama Indah. Mereka pun turun digantikan oleh penyanyi yang lain.
"Indah, temen kamu ternyata jago nyanyi juga. Dia gak mau gitu ikut sama kita?" kata seorang pria yang tadi memanggil Indah untuk naik ke panggung. Dia adalah pemilik sound sistem tersebut alias bos besar Indah.
Padahal Asya masih ada di sana namun pria itu sudah bertanya seperti itu. Dia seakan sengaja ingin membuat Asya tersipu malu.
"Iya, Bos. Nanti saya tanyain," jawab Indah lalu membawa Asya untuk kembali duduk di tempat yang tadi.
Panas yang terik ditambah lagu yang tadi mereka nyanyikan nadanya cukup cepat membuat Indah dan Asya sedikit kelelahan. Tepatnya hanya Indah sebab wanita itu terlalu bersemangat dalam bergoyang tadi sementara Asya lebih fokus pada nyanyiannya dan hanya sedikit menggerakkan badannya.
"Sekarang kamu kerja apa, Sya?" tanya Indah sembari menyeka keringatnya yang bercucuran.
"Masih bantuin Ibu kerja di kebun orang," jawab Asya sebelum meneguk air mineral di sampingnya.
Indah menarik kursinya untuk lebih dekat pada Asya. "Gimana kalo kamu ikut gue nyanyi aja? Apalagi tadi bosku kayaknya tertarik sama suara kamu," tawarnya sambil memainkan kedua alisnya.
Asya terlihat sedikit ragu. Memangnya dia bisa jadi seorang penyanyi seperti Indah? Suaranya memang bagus namun Asya masih belum terlalu percaya diri untuk berjoget di atas panggung seperti yang dilakukan Indah tadi. Dia takut jika mengiyakannya, dia malah mengecewakan nanti.
"Emangnya kalo kamu pergi nyanyi kayak gini bayarannya berapa?" tanya Asya. Mungkin jika tahu berapa uang yang akan dia dapat, dia akan berubah pikiran.
"Tiga ratus ribu. Dari siang sampe malam," jawab Indah.
Seketika mata Asya langsung membulat. Tiga ratus ribu? Astaga! Dia bekerja di kebun dari pagi sampai sore saja belum tentu dapat lima puluh ribu dan ini hanya sehari saja dia bisa dapat tiga ratus ribu? Wah! Sepertinya Asya akan berubah pikiran dan mengiyakan ajakan Indah tersebut saat ini juga.
"Beneran tiga ratus ribu?" Asya kembali bertanya seakan belum percaya.
"Iya. Makanya aku ngajak kamu buat gabung. Lagian aku juga gak ada teman akrab yang bisa diajak ngobrol. Jadi kamu ikut aja ya. Suaramu juga kan bagus dan kerjanya juga santai." Indah terus melayangkan bujuk rayunya agar Asya mau ikut.
"Ya udah aku tanya Bapak sama Ibuku dulu ya. Nanti kalo mereka ngasih ijin aku bakalan kabarin kamu," kata Asya tersenyum lebar. Dia seakan mendapatkan cara paling gampang untuk bisa menghasilkan uang.
***
Malam ini Asya berencana untuk memberitahu bapak dan ibunya tentang pekerjaan yang ditawarkan Indah padanya.
"Pak, Bu, tadi aku ketemu sama Indah loh dihajatan Bu Dahlia," kata Asya mencoba untuk berbasa-basi terlebih dahulu.
"Indah temen kamu yang cerewet itu?" tanya Yani mengingat jelas seorang gadis yang pernah Asya bawa untuk menginap di rumahnya. Gadis itu banyak sekali bicara dan begitu lucu membuat Yani selalu mengingatnya.
"Iya, Bu. Indah yang itu." Asya terlihat gembira karena ternyata sang ibu mengingat temannya. Meski mendapat julukan gadis cerewet.
"Dia jadi tamu undangan di sana?" tanya Hamid.
Asya menggeleng. "Enggak. Dia nyanyi di sana."
Sontak Yani dan Hamid menatap Asya dengan tatapan bertanya. Mereka butuh penjelasan yang lebih detail. Asya pun menceritakan pertemuannya dengan Indah. Dia juga menceritakan tentang Indah yang juga punya nasib sama seperti dirinya.
Yani dan Hamid menundukkan kepala seakan malu pada Asya. Padahal waktu itu mereka sudah berjanji akan menguliahkan Asya namun hingga saat ini rencana itu tak kunjung terealisasikan.
"Sebenarnya tadi Indah ngajak aku buat ikutan nyanyi sama dia. Lumayan loh bisa dapat tiga ratus ribu sekali manggung," kata Asya pelan. Dalam hati dia sangat takut namun juga berharap orangtuanya mengizinkan untuk dia pergi.
"Tiga ratus ribu?" tanya Yani seakan tidak percaya dengan nominal yang Asya sebutkan. Tiga ratus ribu bisa Yani dapatkan dalam satu bulan bekerja di kebun. Sama seperti Hamid, selama jadi tukang ojek paling banyak dia hanya dapat seratus ribu saja seharian.
"Iya, Bu. Lumayan loh itu," kata Asya sudah memasang wajah memelas agar orangtuanya luluh.
Yani lalu menatap sang suami. Di sini yang berhak memberi izin itu suaminya jadi dia akan ikut apapun keputusan Hamid. Asya ikut menatap sang ayah. Telapak tangannya sampai berkeringat dingin saking gugupnya.
Hamid tersenyum simpul lalu berkata, "Bapak akan izin kamu, tapi ingat kamu harus pintar jaga diri. Oke!"
Demi apapun juga Asya benar-benar senang sekarang. Dia bangkit dari tempat duduknya lalu memeluk Hamid.
"Makasih, Pak. Asya janji akan jaga diri," kata Asya.
"Iya, Nak. Bapak percaya sama kamu," timpal Hamid.
Sementara Yani dan Luna hanya bisa tersenyum. Ikut senang juga Asya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan tidak banyak menguras tenaga namun dengan bayaran yang cukup besar.
Tapi Asya tidak pernah menyangka jika keputusannya serta izin dari bapaknya malam itu akan menjadi awal dari sebuah masalah besar. Jika Asya tahu tawa dan senyum keluarganya malam itu akan terganti dengan tangis pilu di kemudian hari, Asya tidak akan mau menerima tawaran Indah untuk ikut bernyanyi. Tapi itulah yang namanya takdir. Tidak ada yang bisa menebaknya. Kita hanya bisa menjalaninya sembari berharap jika ke depannya hidup akan lebih baik.
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,