Di sebuah desa kecil bernama Pasir, Fatur, seorang pemuda kutu buku, harus menghadapi kehidupan yang sulit. Sering di bully, di tinggal oleh kedua orang tuanya yang bercerai, harus berpisah dengan adik-adiknya selama bertahun-tahun. Kehidupan di desa Pasir, tidak pernah sederhana. Ada rahasia kelam, yang tersembunyi dibalik ketenangan yang muncul dipermukaan. Fatur terjebak dalam lorong kehidupan yang penuh teka-teki, intrik, kematian, dan penderitaan bathin.
Hasan, ayah Fatur, adalah dalang dari masalah yang terjadi di desa Pasir. Selain beliau seorang pemarah, bikin onar, ternyata dia juga menyimpan rahasia besar yang tidak diketahui oleh keluarganya. Fatur sebagai anak, memendam kebencian terhadap sang ayah, karena berselingkuh dengan pacarnya sendiri bernama Eva. Hubungan Hasan dan Fatur tidak pernah baik-baik saja, saat Fatur memutuskan untuk tidak mau lagi menjadi anak Hasan Bahri. Baginya, Hasan adalah sosok ayah yang gagal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Akan Berakhir
Evan dan Hasan menyewa sebuah rumah yang ada di desa Pasir.
"Lihat abang, kita dapat uang banyak... Si Joni sekarang semakin berani ya... Nampaknya dia sudah mulai menguasai desa Pasir..." ujar Eva tersenyum melihat uang yang baru dia ambil dari Joni.
"Bisa kita buat untuk kebutuhan kita dek..." jawab Hasan tersenyum bahagia.
"Nanti kita ke Panipahan yuk bg, aku mau beli baju..." Hasan menganguk.
Diperjalanan pulang mereka terkejut saat ada seekor ular yang di lempar ke arah mereka. Eva berteriak histeris. Sedangkan Hasan melirik disekitar melihat siapa yang melempar. Padahal di dekat mereka tidak ada pepohonan.
"Bang, siapa yang melempar ular ini..." ujar Eva ketakutan.
Hasan memeluknya erat, takut sang istri kambuh lagi. Mereka mempercepat langkah meninggalkan tempat itu. Namun ditengah jalan Eva kembali mengamuk dan menangis histeris saat melihat baju dijemuran para warga berwarna merah. Dia berlari menarik-narik baju itu dan memukul-mukulnya. Sehingga menarik perhatian para warga.
Warga yang memiliki baju itu keluar dan mencoba menghentikannya, tetapi Eva malah menyerangnya. Hasan segera menarik Eva menjauh sambil meminta maaf kepada para warga.
“Maafkan istri saya. Dia tidak bisa melihat warna merah. Tolong maklumi keadaannya,” ujar Hasan dengan nada perlahan.
Para warga terdiam. Mereka mulai berbisik-bisik, sebagian merasa iba, tetapi ada juga yang curiga. Hasan hanya bisa menghela napas berat, berusaha membawa Eva pulang secepat mungkin. Para warga mencoba memaklumi. Diujung pinggir jalan, seorang pria memandangi Eva dan Hasan dengan tatapan dan senyum dingin.
"Perlahan kamu akan hancur Hasan, Eva..." pria itu memakai masker hitam.
Sejak hari itu, warna merah mulai menjadi teror bagi Eva.
Hampir setiap hari, ia melihat sesuatu yang merah, entah itu kain, cat tembok, atau bahkan bayangan. Semua itu membuatnya semakin sering kehilangan kendali. Hasan merasa semakin tertekan, sementara Eva terus berada di ambang kehancuran.
Keduanya tidak sadar bahwa ini adalah bagian dari rencana besar seseorang, sosok misterius yang mengincar kehancuran mereka. Apakah Hasan dan Eva akan mampu bertahan, atau mereka justru akan tenggelam dalam permainan penuh teror ini?
Hasan membawa Eva pulang. Malam itu suasana menjadi dingin. Eva duduk dengan memeluk lututnya dikamar. Wajahnya pucat, matanya liar memandang ke setiap sudut ruangan. Hasan hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia sedih melihat keadaan Eva sekarang.
"Tenang ya dek. Nggak ada apa-apa disini kok." ucap Hasan menenangkan Eva. Eva menatap Hasan dengan tatapan kosong.
"Aku melihatnya lagi bang. Warna itu... Dia ada dimana-mana... Mereka tahu aku takut. Mereka mau membuatku gila lagi bang." ujar Eva lirih. Hasan mengelengkan kepalanya pelan.
"Nggak ada yang mau buat kamu gila dek... Ini hanya kebetulan." namun di lubuk hati yang paling dalam, Hasan merasa ini adalah permainan seseorang yang ingin menghancurkannya.
Keesok harinya Hasan memutuskan menemui Joni meminta bantuan darinya. Setelah dua sudah memastikan mengkunci semua rumah
“Dek, jangan ke mana-mana, ya. Abang pergi sebentar,” pesan Hasan sebelum beranjak keluar.
Eva hanya menganguk diam. Saat sudah sampai tempat dimana Joni nongkrong, Joni tidak ditemukan disana. Hasan bertanya pada warga, tetapi jawaban mereka membuat Hasan curiga pada Joni.
“Joni sudah tiga hari nggak kelihatan, Bang Hasan. Biasanya dia nongkrong di pos ronda, tapi sekarang kosong terus,” kata seorang warga.
Hasan menggeram pelan. “Ke mana anak itu?” pikirnya. Ia melangkah ke arah pos ronda yang disebutkan warga, berharap menemukan petunjuk.
Di sana, ia tidak menemukan siapa pun. Tetapi sesuatu menarik perhatiannya, selembar kertas yang tergantung di dinding pos. Hasan meraih kertas itu dan membaca tulisan yang tercoret dengan tinta merah.
“Aku tahu siapa kalian. Siap-siap membayar harga dari dosa kalian."
Hasan meremas kertas itu dengan marah, lalu membuangnya. Ia merasa tubuhnya panas. Seseorang jelas bermain-main dengannya, dan dia tidak akan tinggal diam.
Sedangkan dirumah, Eva mulai mendengar suara aneh. Langkah kaki, suara tawa yang samar-samar, kadang terdengar suara tangis. Eva memcoba menenangkan diri. Tetapi rasa takutnya perlahan berubah menjadi panik saat melihat sesuatu di kaca jendela. Bercak merah seperti darah. Eva menjerit bersembunyi dibawah selimutnya. Dia berteriak dan menangis dibawah selimutnya.
“Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!" Eva berteriak histeris, tangannya menutupi telinga.
Beberapa saat kemudian, pintu rumah terbuka. Hasan masuk, wajahnya kesal setelah membaca pesan di pos ronda.
Eva membuka pintu kamar perlahan, matanya basah oleh air mata.
"Bang... mereka datang... mereka tahu aku takut...”Hasan memeluk Eva, mencoba menenangkannya.
“Siapapun kau, aku akan menemukanmu," gumam Hasan pelan, matanya menyiratkan tekad untuk melawan.
Namun, dari kejauhan, pria bermasker hitam yang sama berdiri di ujung jalan, menatap rumah Hasan dan Eva dengan senyum yang semakin lebar.
“Permainan ini baru dimulai.”
Malam itu Eva tertidur pulas saat Hasan memberi obat penenang. Hasan berbaring disamping sang istri dengan pikiran yang kacau. Siapa yang meneror mereka? Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalu mereka? Dia mengambil pistol yang ada dalam laci disamping tempat tidurnya. Dia mengamati pistol itu dalam diam.
"Jika permainan ini tetap berlanjut, aku tidak akan tinggal diam." ucap Hasan dingin.
Keesokan harinya, Hasan memutuskan untuk menyelidiki desa lebih dalam, la mulai berbicara dengan. beberapa warga, mencoba mencari tahu apakah ada yang mencurigakan belakangan ini.
"Bang Hasan, saya pernah lihat ada orang asing berkeliaran malam-malam. Mukanya ketutup masker hitam, kata seorang warga.
Hasan mengangguk, semakin yakin bahwa pria bermasker itu adalah dalang dari semua ini. "Apa yang dia lakukan?" tanya Hasan.
"Dia hanya berdiri di pinggir jalan seperti menunggu seseorang." Hasan tersenyum. Lalu meninggalkan orang itu.
Malam itu Eva tertidur pulas saat Hasan memberi obat penenang. Hasan berbaring disamping sang istri dengan pikiran yang kacau. Siapa yang meneror mereka? Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalu mereka? Dia mengambil pistol yang ada dalam laci disamping tempat tidurnya. Dia mengamati pistol itu dalam diam.
"Jika permainan ini tetap berlanjut, aku tidak akan tinggal diam." ucap Hasan dingin.
Keesokan harinya, Hasan memutuskan untuk menyelidiki desa lebih dalam, la mulai berbicara dengan. beberapa warga, mencoba mencari tahu apakah ada yang mencurigakan belakangan ini.
"Bang Hasan, saya pernah lihat ada orang asing berkeliaran malam-malam. Mukanya ketutup masker hitam, kata seorang warga.
Hasan mengangguk, semakin yakin bahwa pria bermasker itu adalah dalang dari semua ini. "Apa yang dia lakukan?" tanya Hasan.
"Dia hanya berdiri di pinggir jalan seperti menunggu seseorang." Hasan tersenyum. Lalu meninggalkan orang itu.
Malamnya Hasan pergi ke pinggir jalan itu. Dia membawa pistol dan menyembunyikan di jaketnya. Pukul 2 dua dini hari Hasan mendengar langkah kaki. Hasan menoleh, dia melihat sosok pria bermasker dari kegelapan. Hasan menatap pria itu tajam.
"Apa kau yang terus meneror aku san Eva?" seru Hasan. Suaranya terdengar dingin. Pria itu hanya diam. Menatap dingin Hasan dibalik maskernya.
"Jawab!" teriak Hasan mengeluarkan dan mengarahkan pistolnya ke arah pria tersebut. Pria itu tertawa.
"Kau pikir aku takut?" suaranya penuh intimidasi.
"Aku hanya ingin mengajarkanmu bagaimana rasanya kehilangan kepercayaan diri. Rasanya melihatmu hancur secara perlahan, itu menyenangkan." Hasan mengerutkan keningnya.
"Apa yang kau ingin sebenarnya?"
"Eva bukan hanya istrimu, tapi juga bisa kujadikan alat untuk menghancurkanmu." Hasan sangat kesal melapaskan tembakkan.
Dorrr!
Peluru meleset. Pria itu menghilang dikegelapan.
"Sial!" umpat Hasan. Dia mengejar sang pria di semak-semak. Namun dia tidak menemukan pria itu.
"Aku akan menemukannya," gumamnya.
Hasan kembali kerumah dengan kesal. Saat dirumah, dia melihat sang istri dengan tubuh gemetar dan mata terbelalak saat melihat sehelai kain merah yang berlumuran darah.
"Bang... darah... dia datang lagi..." Eva menangis tanpa suara, tubuhnya seperti tak lagi memiliki kekuatan.
Hasan segera memeluknya. menggenggam erat tubuh istrinya yang lemah, la melihat ke sekeliling ruangan, mencoba mencari siapa orang yang suka berulah di rumahnya.
Namun, yang ia temukan hanya sebuah catatan kecil yang diselipkan di bawah kain merah itu.
"Kamu bisa melindungi Eva untuk sementara, Hasan. Tapi tidak untuk selamanya. Bersiaplah untuk akhir yang menyakitkan."
Hasan meremas kertas itu dengan geram. Orang ini tidak hanya mengincar Eva. la mengincar seluruh kewarasan dan keberanian yang masih tersisa pada Hasan.
Namun, di balik rasa takutnya, Hasan menyimpan tekad. la akan melawan. la akan mencari siapa pun yang melakukan ini, dan ia akan menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat.
Di tempat lain, pria bermasker hitam itu berdiri di ruangan gelap yang dipenuhi foto-foto Eva dan Hasan.
Pria bermasker itu tertawa kecil.
"Semuanya sesuai rencana. Eva mulai kehilangan kendali, dan Hasan perlahan tenggelam dalam rasa takut. Tunggu saja. Kalian akan runtuh."
Pria bermasker itu mengambil salah satu foto Eva yang sedang menangis. la menatapnya lama, senyum dingin kembali muncul di wajahnya.
"Permainan ini akan segera berakhir."