> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Tanpa Cinta: Bagian 3
Bagian 3: Merangkai Puzzle
Keesokan harinya, aku berdiri di depan pintu gedung fakultas Sastra Jepang dengan rasa campur aduk. Dinding bata merah dan jendela kaca besar di gedung ini menciptakan suasana modern sekaligus klasik. Namun, di dalam diriku, suasananya jauh lebih rumit.
“AniGate, kau tahu kan aku masih bingung dengan misiku?” gumamku pelan sambil memandangi pintu.
> “Tugas Anda jelas, Rei. Bangun hubungan romantis dengan Sayuri Kanzaki. Anda sudah memulai langkah pertama dengan cukup baik. Apa lagi yang membuat Anda bingung?”
Aku memutar bola mataku. “Segalanya! Dia terlalu... sempurna. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya mendekati orang sepertinya tanpa terlihat konyol.”
> “Pikirkan ini sebagai latihan. Belajar menghadapi rasa takut adalah bagian dari misi ini.”
Aku mendengus, lalu melangkah masuk ke gedung. Suara langkah kakiku bergema di lorong yang sepi. Aku mencoba mengatur napas sambil menuju ruang kelas pertama hari ini.
...****************...
Setelah beberapa jam kuliah, aku memutuskan untuk makan siang di kantin kampus. Suasana kantin penuh dengan obrolan riuh mahasiswa, aroma makanan yang menggugah selera, dan suara dentingan piring yang saling beradu.
Aku sedang berdiri di antrean ketika seseorang tiba-tiba menyentuh bahuku.
“Takuto-kun?”
Aku menoleh dan melihat Sayuri Kanzaki, dengan senyuman kecil yang sama seperti kemarin.
“Oh, Sayuri-san. Kau juga di sini?” tanyaku, mencoba menyembunyikan rasa gugupku.
Dia mengangguk. “Aku hampir setiap hari makan di sini. Apa kau juga sering ke sini?”
“Y-ya, mungkin aku akan mulai terbiasa,” jawabku sambil menggaruk belakang kepala.
Kami mengambil makanan masing-masing dan mencari meja kosong. Namun, karena kantin sudah hampir penuh, Sayuri menunjuk sebuah meja kecil di sudut.
“Kita duduk di sana saja,” katanya sambil melangkah lebih dulu.
Aku mengikuti di belakangnya, mencoba memikirkan apa yang harus kukatakan. Ini adalah kesempatan bagus untuk membangun interaksi, tapi otakku terasa kosong.
...****************...
“Apa kau sudah mulai terbiasa dengan kampus ini?” tanya Sayuri sambil menyeruput teh ochanya.
Aku mengangguk. “Cukup. Tapi kampus ini jauh lebih besar dari apa yang aku bayangkan. Rasanya aku bisa tersesat kapan saja.”
Dia tertawa kecil, suaranya seperti melodi yang menenangkan. “Aku juga merasa begitu saat pertama kali ke sini. Tapi kau akan terbiasa seiring waktu.”
Kami terus berbicara tentang hal-hal sederhana. Mata kuliah, dosen, bahkan makanan favorit di kantin. Namun, di tengah obrolan, aku tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang aneh.
“Sayuri-san,” panggilku perlahan.
Dia menatapku, matanya penuh rasa ingin tahu.
“Kau terlihat sangat nyaman berbicara denganku,” kataku. “Apa aku orang pertama yang kau temui di kampus ini?”
Dia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Tidak juga. Tapi entah kenapa, aku merasa... kau adalah orang yang menarik untuk diajak bicara.”
Jawaban itu membuatku terdiam. Menarik? Aku bahkan tidak tahu apa yang membuatku menarik di matanya. Tapi aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.
...****************...
Setelah makan siang, aku berjalan menuju perpustakaan kampus untuk mencari bahan tugas. Bangunan perpustakaan ini adalah salah satu yang terbesar di kampus, dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan taman di luar.
Aku sedang duduk di salah satu meja, membuka buku-buku referensi, dan seketika suara AniGate mendaftar muncul di kepalaku.
> “Rei, misi Anda saat ini berjalan dengan baik. Namun, Anda perlu meningkatkan interaksi untuk membangun kedekatan lebih dalam.”
Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. “Kedekatan lebih dalam? Ngomong sih, gampang. Kau tahu itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, kan?”
> “Itulah tujuan misi ini. Sebagai langkah berikutnya, Anda harus mengundangnya untuk melakukan aktivitas bersama.”
Aku membuka mata, merasa jantungku berdetak lebih cepat. “Mengundangnya? Aktivitas apa?”
> “Pilih sesuatu yang sederhana namun efektif. Contohnya, mengajaknya belajar bersama atau berjalan-jalan di sekitar kampus.”
Aku menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Baiklah. Aku akan mencobanya.”
...****************...
Kesempatan itu datang lebih cepat dari yang kukira. Ketika aku keluar dari perpustakaan, aku melihat Sayuri berdiri di dekat pintu masuk, tampak sibuk dengan ponselnya.
“Sayuri-san?” panggilku, mendekatinya.
Dia mengangkat wajahnya, tersenyum kecil. “Oh, Takuto-kun. Apa kau juga baru selesai dari perpustakaan?”
Aku mengangguk. “Ya. Aku sedang mencari bahan untuk tugas.”
Dia mengangguk pelan, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. “Aku juga. Ada banyak sekali yang harus dipelajari di jurusanku.”
Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat, merasa sedikit gugup. “Sayuri-san, apa kau punya waktu luang akhir pekan ini?”
Dia tampak sedikit terkejut, tapi senyum kecilnya tidak hilang. “Hm, sepertinya ada. Kenapa?”
“Aku berpikir… mungkin kita bisa belajar bersama. Aku merasa aku butuh bantuan dengan beberapa materi, dan kupikir kau mungkin bisa membantuku.”
Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Tentu. Itu ide yang bagus. Kita bisa belajar di kafe dekat kampus. Bagaimana menurutmu?”
Aku merasa lega mendengar jawabannya. “Ya, boleh saja. Terima kasih, Sayuri-san.”
Dia tersenyum lagi, lalu melambaikan tangan sebelum pergi. Aku memandang punggungnya yang semakin menjauh, merasa seperti baru saja melewati ujian besar.
aku mampir ya 😁