Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAMPAN TAPI NYEBELIN
Kiyai Aldan menghela napasnya sekali lagi, ini adalah keputusan yang tepat untuk para santriwati didepannya ini. dia sudah cukup lelah menghadapi mereka dan keputusan ini dia sudah pertimbangkan beberapa kali.
“Hmm… saya tidak akan memberi kalian hukuman lagi, saya kira semua hukuman sudah kalian jalankan namun lihat… tak ada perubahan sama sekali.” Jelas kiyai Aldan.
Adira, Almaira, Aruna, dan Ayyara menunduk dalam. Mereka duduk didepan kiyai Aldan.
“Afwan kiyai.” Lirih mereka berempat.
“Sebagai gantinya, saya akan menyerahkan kalian kepada beberapa ustadz yang baru saja kembali dari mesir setelah menyelesaikan studi mereka. Mereka inilah yang akan membina kilian sampai kalian benar-benar berubah.” Lanjutnya.
“U-u-ustadz kiya? Maksudnya kami akan diawasi oleh ustadz?” Tanya Ayyara. Dengan wajah kaget dia menatap kiyai Aldan.
Kiyai aldan mengangguk pelan. “Saya sudah cukup lelah dengan kalian, namun setelah kalian dibina langsung oleh mereka bukan berarti saya lepas tanggung jawab terhadap kalian ini.”
“Kiyai serius?” Tanya Adira pelan. Dia asik memilin jari-jarinya.
“Ya, dan mereka sudah tiba di pondok pagi tadi. Selesai shalat isya' berjama’ah jangan langsung kembali keasrama, paham?” Kiyai Aldan tersenyum tipis.
Keempatnya hanya bisa mengangguk patuh, mereka bisa apa? Mau menolak pun tak ada gunanya dan lagi pula mereka tidak berani melawan sang guru.
“Paham kiyai!”
“Bagus, dengar nak… kalian sudah kelas tiga, setahun lagi kalian lulus dan selesai di pondok ini. saya tidak masalah jika harus selalau menghukum kalian karena pelanggaran yang kalian lakukan, tapi apakah kalian tidak memikirkan orang tua dirumah? Hm?”
“Saya boleh minta satu hal kepada kalian berempat tidak? Bukan sebagai kiyai disini tapi sebagai orang tua kalian, boleh?”
Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara saling menatap, lalu kemudian menatap kepada kiyai Aldan dan secara bersamaan mereka mengangguk pelan.
Kiyai aldan tersenyum. “Tolong, saya orang tua kalian bahkan sekalipun kalian telah selesai dari sini nanti saya tetap orang tua semua santri disini. Saya… ah bukan, jika kalian ada masalah dan tidak tahu harus berbagi dengan siapa kalian boleh datang ke saya atau tidak pada umi di ndalem.”
“K-kiyai…,”
xxx
Pondok Pesantren Al-Nakhla adalah salah satu pondok pesantren yang terletak di Surabaya dengan jumbelah santri mencapai 3.000 santri. Sudah berdiri sejak awal 1994 yang didirikan oleh almarhum guru besar Fatir Al nakhlan yaitu orang tua dari kiyai Aldan Nakhlan.
Pondok pesantren modern yang memiliki para santri yang berprestasi, setiap tahunnya selalu saja memborong berbagai pernghargaan dari lomba-lomba yang mereka ikuti.
Salah satu pondok pesantren yang melahirkan anak-anak yang berakhlak baik, penuh dengan kesederhanaan, kerendahan hati dan juga pondok pesantren yang tidak pernah meninggalkan nilai-nilai kewargaan Negara untuk anak-anak didiknya.
Sore hari menjelang ba’da maghrib semua santri terlihat berbondong-bondong menuju masjid utama pondok, di sisi kiri masdid ada santri putra dan sisi kanan ada santri putri. Masjid ini sangatlah luas dan besar hingga mampu menampung semua santri dan para pembinanya.
“Zidan, silahkan adzan.” Perintah kiyai Aldan kepada salah satu santri putra.
Zidan mengangguk patuh. “Na’am kiyai.”
Perlahan semua shaf terisih dan hanya ada kehiningan menunggu lantunan adzan berkumandang dengan suara indah dari Zidan salah satu santri tingkat ke dua.
ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR
ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR
ASYHADU AL LAA ILAAHA ILLALLAAH
ASYHADU AL LAA ILAAHA ILLALLAAH
Adzan merkumandang dengan irama yang menenagkan hati dan jiwa bagi yang mendengarnya, satu panggilan sakral bagi setiap orang mukmin untuk berjumpa dengan Tuhan-Nya. Suatu panggilan kerinduan seorang manusia kepada Tuhan-Nya.
Di shaf kedua dari depan ujung kanan, terlihat empat santri putri dengan mukenah putihnya mereka terlihat tenang mendengarkan adzan dan menjawabnya dalam hati.
Mereka benar-benar cantik jika diam seperti itu, namun bedah lagi jika sudah berganti mode full beteri.
Semua jama’ah melakukan shalat sunnah sebelum shalat maghrib, begitu juga keempat santriwati itu.
“Aku makin penasaran yang dibilang kiyai Aldan tadi sore, ustadz mudahnya dong.” Cicit Aruna kepada Ayyara. Dua orang ini jika sudah disatukan maka bisa lupa dengan sekitarnya.
“Kalau tampan boleh lah…,” Timpal Ayyara dengan suara yang lebih kecil dari Aruna.
“Hussstttff… kalian jangan bisik-bisik dalam masjid.” Potong Almaira.
LURUSKAN DAN RAPATKAN SHAFNYA DEMI SEMPURNANYA SHALAT KITA.
xxx
“Ah… jadi ini santriwati yang dimaksud kiyai?” Tanya seorang laki-laki muda yang mungkin umurnya yang masih tergolong muda.
Kiyai Aldan tersenyum tipis dan mengangguk beberapa kali. “Benar nak, mereka adalah Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara. Santriwati yang selalu memiliki energi penuh.” Jelas kiyai Aldan menunjuk para santri putri yang menunduk itu.
“Hahah, in sya Allah saya pasti memegang amanah dari kiyai untuk mendidik mereka.” Ucap ustadz muda itu.
“Terimakasih nak Agra, dan kalian…,” Kiyai Aldan menjeda kalimatnya sembari menatap keempat santri putri itu. “Ini adalah ustadz Agra yang saya sudah katakan kepada kalian sore tadi.”
“Na’am kiyai.”
Keempat santri putri itu sedikit mencuri pandangan kepada laki-laki yang baru saja diperkenalkan kiyai Aldan kepada mereka, mengintip sedikit tidak masalahkan pikir mereka.
“Ma sya Allah, nikmat mana lagi yang engkau dustakan.” Pekik tertahan Almaira. Dia dapat melihat wajah bak pangeran itu walau hanya sekilas saja.
“Subahanallah.” Lanjut Aruna.
“Kiyai, maaf sebelumnya teman-teman yang lain tidak bisa hadir karena mereka sedang mengurus pekerjaan diluar pondok. Mereka akan kembali sebentar lagi.” Jelasnya kepada kiyai Aldan.
Kiyai Aldan mengangguk. “Tidak apa-apa nak, lagi pula besok juga bisa.”
Agra Putra Mahardika atau ustadz Agra baru saja menyelesaikan pendidikan diluar negeri dan baru kembali pagi tadi. Memutuskan untuk mengabdikan dirinya di pondok pesantren yang telah membesarkan namanya dan memberinya banyak pengalam ini.
Dia memiliki tinggi 176 cm. wajah tegas dan rahang yang sempurna jangan lupakan juga tatapannya yang selalu tajam namun memiliki hati yang lembut dan hangat, laki-laki muda dengan segala sifat lembutnya untuk orang-orang terdekatnya dan dingin jika sudah berada dilingkungan baru.
“Kalian kembalilah ke asrama, ingat jika kalian melanggar lagi hukumannya tergantung pada nak Agra bukan saya lagi.” Tutur kiyai Aldan kepada santrinya.
“Na’am kiyai.”
“Besok senin, jangan sampai telat dan juga setoran hafalan matannya jangan lupa kepada pembinanya.” Lanjutnya lagi.
“Baik kiyai.”
“Na’am kiyai.”
“Ya sudah, istirahatlah.” Lanjut kiyai Aldan lagi.
Keempatnya mengangguk, menunduk dan kemudian berjalan mundur tak lupa mengucapkan salam kepada kedua laki-laki yang bedah generasi itu. “Pamit kiyai, ustadz Agra. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi barokatuh.” Jawab keduanya.
“Saya benar-benar berharap kalian bisa merubah sifat mereka nak, saya tidak lelah mendidik mereka hanya saja saya sudah merasa tidak mampu lagi. Dengan adanya kalian disini, saya harap mereka bisa berubah sebelum selesai dari sini.” Kiyai Aldan mengucapkan setiap kalimatnya sebari menatap dari dalam masjid keempat punggung anak-anak didiknya itu dengan harapan besar dalam dirinya untuk mereka.
Agra tersenyum. “Saya tidak berjanji untuk ini kiyai, namun kami akan selalu berusaha untuk bisa membimbing mereka berempat. Kiyai fokus saja pada masalah pondok dan untuk santri putri biar kami yang mengurusnya.”
“Terimakasih banyak nak.”
Di asrama putri.
Didalam kamar yang berisikan empat santri putri itu tengah menyiapkan keperluan sekolah besok pagi, dari menyetrika pakaian sekolah dan menyiapkan alat tulisnya.
“Kalian tadi liat ngak wajah ustadz Agra itu?” Tanya Aruna dengan semangat. “Ma sya Allah banget, aku baru tahu kalau pondok kita nih punya ustadz mudah yang tampan banget.” Lanjutnya.
“Benar banget, walau cuman lihat sekilas ustadz Agra mendekati kata sempura. Mana suaranya aggrrrr…” Lanjut Ayyara. Tangannya sibuk menyetrika pakaian sekolahnya.
Almaira dan Adira menggeleng pelan. Memang benar yang di katakan kedua temannya jika ustadz Agra memanglah tampan dan mendekati kata sempurna.
“Ustadz Agra udah punya pasangan belum ya? Kalau belum ada boleh tidak kalau aku daftar jadi calonnya.” Tutur Almaira. Memakan makanan ringannya.
“Waduhhh, parah sih kalau ustadz Agra belum ada pasangannya. Wajah tampan tuh emang harus dimanfaatin.” Timpal Aruna.
Adira sudah berbaring di tempat tidurnya, sepertinya dia sudah mengantuk. “Aku lebih penasaran lagi sama ustadz yang tidak hadir tadi, sahabat ustadz Agra. Kira-kira melebihi tampannya ustadz Agra?”
Ketiganya menghentikan aktivitasnya, kemudian menatap Adira yang tengah bersiap menyelami alam mimpinya.
Anak itu jika sudah berbaring dimana pun sangat mudah tertidur bahkan dalam keadaan genting pun dia tetap bisa tertidur cepat dan pulas.
“Lah iya! Katanya mereka ada urusan pekerjaan diluar, aduh makin tidak sabar buat lihat mereka besok.” Jawab Almaira semangat.
“Nah iya, kalau kaya gini mah makin betah dihukum hahah.” Timpal Aruna dengan kekehan diakhir kalimatnya.
“Astagfirullah, sadar ukti.” Lirih Adira. “Iya juga, bakalan betah sih!” Lanjutnya lagi.
Puk
Ayyara melemparkan sajadah ke Adira, gemes punya teman seperti Adira. “Adira kalau ngomong suka benar.”
“Ya Allah, ternyata besok senin.” Keluh Aruna. Sangat malas rasanya menyambut senin pagi besok.
“Besok menu ketring asrama apa? Jangan bilang kalau telur mata sapi lagi.” Lanjut Adira dengan kedua tangan menopang dagunya.
“Bersyukur ihhh.” Ucap Almaira.
semangat 💪👍