novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Kepulangan yang Diresap
Setelah kemenangan besar di benteng, Aric dan pasukannya kembali ke desa mereka yang sudah lama mereka tinggalkan demi perjalanan panjang ini. Seluruh desa menyambut kepulangan mereka dengan suka cita, bahkan mereka yang sebelumnya ragu-ragu terhadap perjuangan ini kini berdiri di sepanjang jalan desa, bertepuk tangan dan menyanyikan lagu-lagu kemenangan. Aric berjalan di depan, membawa bendera kemenangan mereka yang berkibar tinggi. Di sampingnya, Lyria dan Kael tersenyum, menikmati sambutan yang penuh kehangatan ini.
"Kau berhasil, Aric!" teriak seorang lelaki tua dari barisan warga desa. "Kau membawa harapan dan kebebasan bagi kami!"
Aric hanya tersenyum dan mengangguk, perasaan campur aduk melingkupi hatinya. Meski ada kebanggaan, ia masih merasakan beban dari semua yang harus ia lakukan. Dalam hati kecilnya, ia menyadari bahwa kekuatan Naga Kehancuran yang terpendam di dalam dirinya adalah pedang bermata dua. Satu sisi memberinya kekuatan luar biasa, namun di sisi lain, itu adalah peringatan yang terus mengintainya.
Saat rombongan sampai di balai desa, Kepala Desa, yang selama ini telah menjadi penasehat mereka, berdiri di atas panggung kecil, siap menyampaikan kata-kata penyambutan. Suaranya menggema di tengah keheningan yang penuh hormat.
"Kalian telah melakukan hal yang tak bisa dibayangkan oleh siapa pun. Dalam bayang-bayang ketakutan dan ketidakpastian, kalian membuktikan bahwa keberanian dan persatuan bisa mengalahkan ketidakadilan," ujar Kepala Desa sambil menatap mereka penuh bangga. "Atas nama desa, kami berterima kasih."
Aric melangkah maju, sedikit ragu. "Kepala Desa, terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada kami. Tapi, kemenangan ini bukanlah akhir. Kami masih memiliki tugas besar untuk menegakkan keadilan di luar desa ini."
Kepala Desa mengangguk, wajahnya menunjukkan pengertian. "Aku paham, Aric. Jalan kalian masih panjang. Namun, malam ini, kita merayakan kemenangan kalian. Nikmatilah, karena kalian layak mendapatkannya."
Malam itu, desa mereka dipenuhi oleh suasana perayaan. Api unggun besar dinyalakan di tengah-tengah alun-alun, dan makanan lezat disajikan di setiap sudut. Musik mengalun, mengiringi para warga yang menari dan menyanyi. Lyria duduk di dekat api unggun, menatap nyala api sambil tersenyum tipis. Aric menghampirinya dan duduk di sampingnya.
"Apa yang kau pikirkan, Lyria?" tanya Aric.
Lyria menoleh dan tersenyum lembut. "Aku hanya berpikir betapa jauh kita telah berjalan. Dari hari pertama kita bertiga berangkat dari desa ini, hingga malam ini, di mana kita kembali dengan kemenangan. Rasanya seperti mimpi."
Aric tertawa kecil. "Memang seperti mimpi, tapi sayangnya, aku tahu bahwa masih banyak yang harus kita hadapi. Para dewa di atas sana mungkin tidak akan tinggal diam setelah apa yang kita lakukan."
Lyria terdiam, memandang Aric dengan tatapan serius. "Aric... apakah kau benar-benar siap untuk menghadapi para dewa? Mereka bukan lawan sembarangan."
Aric menunduk, mengambil napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu, Lyria. Tapi aku tidak bisa mengabaikan semua ini. Apa yang mereka lakukan pada masa lalu—membantai ras naga dan membuat kekacauan—itu tidak bisa aku lupakan begitu saja."
Di seberang mereka, Kael datang membawa tiga cangkir minuman, menyerahkannya pada Aric dan Lyria. "Hei, jangan terlalu serius malam ini," katanya dengan senyum lebar. "Malam ini, kita merayakan! Kita masih punya banyak waktu untuk merencanakan langkah berikutnya besok."
Aric tersenyum dan mengangguk. Mereka mengangkat cangkir dan bersulang, menikmati momen kebersamaan yang mungkin menjadi langka di masa depan.
Malam semakin larut, dan perayaan mulai mereda. Aric, Lyria, dan Kael memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa, mengenang setiap sudut yang telah menjadi saksi masa kecil mereka. Jalan-jalan desa itu terasa sunyi, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menggantung di langit malam. Namun, ada keheningan yang mendalam di antara mereka bertiga, seolah-olah mereka semua merasakan beban yang sama.
"Aric," Kael memecah keheningan, suaranya pelan namun tegas. "Apa yang akan kau lakukan jika benar-benar harus berhadapan dengan para dewa? Mereka bukan hanya sekadar musuh biasa. Kau tahu apa yang bisa mereka lakukan."
Aric menatap langit, matanya dipenuhi rasa takut dan determinasi. "Aku tidak tahu, Kael. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak akan membiarkan siapa pun lagi dihancurkan oleh keserakahan mereka. Jika aku harus melawan mereka, aku akan melakukannya."
Lyria menepuk bahunya, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Meski hatinya dipenuhi kekhawatiran, ia tidak pernah ragu akan keberanian Aric. Dalam keheningan malam itu, ketiga sahabat itu berdiri berdampingan, saling menopang dalam menghadapi ketidakpastian yang ada di depan mereka.
Keesokan harinya, ketika matahari mulai terbit, Aric duduk di atas bukit kecil di pinggiran desa, menikmati keheningan pagi. Dalam pikirannya, ia mempersiapkan diri untuk apa yang akan datang. Ia tahu bahwa pertempuran berikutnya tidak akan semudah melawan prajurit musuh di benteng kemarin. Para dewa adalah makhluk yang memiliki kekuatan luar biasa, dan kekuatan Naga Kehancuran di dalam dirinya mungkin tidak cukup untuk mengalahkan mereka.
Namun, saat ia duduk di sana, memandang matahari terbit, ia merasakan kehangatan yang aneh dalam dirinya. Ia teringat akan semua yang telah ia lalui, dari masa kecilnya hingga saat ini. Semua penderitaan, kehilangan, dan pengkhianatan yang ia alami telah membentuknya menjadi sosok yang kuat dan berani.
Tiba-tiba, Lyria muncul di sampingnya, duduk tanpa suara. "Aric, aku tahu ini bukan hal yang mudah, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu mendukungmu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama."
Aric menoleh padanya dan tersenyum, merasakan ketenangan yang jarang ia rasakan. "Terima kasih, Lyria. Keberanianmu selalu memberiku kekuatan."
Tak lama kemudian, Kael juga bergabung dengan mereka, membawa perbekalan yang telah mereka siapkan. "Jadi, kapan kita akan berangkat?"
Aric mengambil napas dalam-dalam, lalu berdiri. "Sekarang. Tidak ada waktu lagi untuk menunggu. Kita akan pergi ke kuil kuno dan mencari tahu cara untuk berhubungan dengan para dewa. Ini adalah langkah pertama kita."
Ketiganya mulai berjalan meninggalkan desa, disaksikan oleh beberapa warga yang terbangun lebih awal. Mereka tidak lagi sekadar tiga sahabat dari desa kecil; mereka kini adalah tiga sosok pemberani yang siap menantang kekuatan yang lebih besar daripada yang pernah mereka hadapi.
Perjalanan menuju kuil kuno akan menjadi ujian bagi mereka, dan Aric tahu bahwa perjalanannya tidak akan mudah. Namun, dengan dukungan dari Lyria dan Kael, ia merasa bahwa ia bisa menghadapi apa pun yang ada di hadapannya.