Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
It Was Always Her
Sanu membalik halaman bukunya dengan tenang. Suara soundsystem dari rumah sebelah tidak sedikitpun mengganggu konsentrasinya dalam membaca. Sesekali ia melirik ke bawah balkon kamarnya, memastikan kepulangan Layla yang hingga kini tak kunjung terlihat kedatangannya. Sekali lagi Sanu memandang langit mendung di atasnya, berharap tidak turun hujan sampai Layla benar-benar telah tiba di rumah.
Lembar demi lembar telah selesai Sanu baca. Puluhan kali ia melirik ke bawah balkon kamarnya, berharap Layla segera pulang sebab hari telah semakin larut. Jam digital yang ada di ponselnya menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Terlalu larut untuk ukuran gadis rumahan seperti sahabatnya itu. Dengan kekhawatiran yang semakin menggunung, Sanu meraih ponselnya, mempertibangkan apakah ia harus menghubungi Layla atau menunggu sedikit lebih lama.
"Dia kan lagi sama Rehan. Dia pasti baik-baik aja." Sanu bergumam pelan, ia meletakkan kembali ponselnya. Berusaha tetap tenang dan berpikiran positif. Lagipula ia bukan siapa-siapa. Tidak berhak pula ia bersikap terlalu khawatir sampai berani mempertanyakan apa saja yang Layla lakukan hingga belum pulang selarut ini.
Tidak begitu lama setelahnya, suara halus mesin motor samar-samar terdengar mendekat. Sanu melongok ke bawah untuk memastikan. Dan benar saja, Layla dan Rehan baru saja tiba di kediaman sahabatnya itu. Dengan tatapan sayunya, Sanu mengamati kedua sejoli tersebut. Layla nampak sempoyongan, gadis tersebut terlihat mabuk dari tempat Sanu mengamati. Beruntung Rehan dengan sigap menangkap tubuh Layla yang limbung.
Selama beberapa saat mereka berdiri berhadapan di depan pagar rumah Layla, membicarakan sesuatu yang tak bisa diketahui Sanu. Tanpa berusaha mengusik privasi dua sejoli itu lebih banyak lagi, Sanu beranjak dari tempatnya untuk kembali ke kamar dan tidur dengan nyenyak sebab rasa khawatirnya telah mereda usai melihat Layla telah pulang dengan selamat. Sesaat sebelum Sanu benar-benar meninggalkan balkon, sudut matanya menangkap pemandangan yang tak seharusnya ia lihat malam itu.
Darahnya berdesir, ia merasa sedih sekaligus terkejut. Matanya membelalak sempurna usai memastikan bahwa apa yang ia lihat sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Sanu tersenyum getir, matanya mulai memanas. Ia merasa sedih, namun ia sadar bahwa ia tak boleh merasa sedih atas kebahagiaan Layla. Malam itu, gadis yang paling penting bagi Sanu di muka bumi ini sekali lagi resmi mematahkan perasaannya ketika melihat secara langsung bagaimana bibir itu dikecup, ketika tubuh itu dipeluk oleh seseorang yang dicintainya. Seseorang yang ia pikirkan dan ia pedulikan jauh melebihi Sanu yang hanyalah seorang sahabat baginya.
Sanu tersenyum kecil, merasa tidak perlu lebih lama mengamati dua insan yang saling jatuh hati itu bermesraan. Dengan langkah lemah Sanu masuk ke dalam ruang kamarnya. Menutup semua pintu dan jendela kemudian membaringkan diri di atas kasur empuk bergambar Iron Man, tempat ternyaman yang selalu menjadi pelarian atas segala keluh dan kesalnya.
Sanu membenamkan wajahnya di antara bantal dan guling yang bergambar senada dengan kasurnya lantas memejamkan matanya dengan paksa. Dadanya terasa sesak, sakit sekali mengingat betapa sering Layla dibuat menangis oleh Rehan namun ialah yang berusaha mati-matian mengembalikan senyumnya.
Di saat yang bersamaan, kesedihan lain turut menyeruak dan memenuhi pikiran Sanu. Ia mendadak mengingat sikap ayahnya yang tak pernah bisa menganggap keberadaannya lantaran ibunya meninggal ketika melahirkan Sanu. Selain itu, ingatan mengenai hinaan orang-orang terhadap ketidakmampuannya dalam terpapar sinar matahari terlalu lama juga menyeruak masuk ke dalam pikirannya.
Sangat menyakitkan mengingat seluruh cacian orang-orang hanya karena sifat dan fisiknya yang tak sesuai harapan mereka. Betapapun Sanu berusaha berbuat baik kepada semua orang, tak ada yang benar-benar bersedia menjadi tempatnya berbagi, mengerti dirinya sebagaimana ia mencoba mengerti orang lain.
Sanu semakin membenamkan kepalanya. Mencoba memejamkan mata dan memaksa tidur agar segala sedih dan sakitnya tak lagi terasa.
----
"Sanu, bangun Dek. Udah pagi nih, kamu nggak sekolah?" seorang gadis yang terlihat dua atau tiga tahun lebih tua dari Sanu itu terus berusaha membangunkannya seraya mengguncang lengan Sanu dengan pelan.
Mendengar suara wanita tersebut membuat Sanu perlahan membuka mata. Segera setelah ia bangkit dari kasurnya, Sanu menyipitkan mata saat melihat sosok yang amat dirindukannya selama ini ternyata tengah asik menatapnya dengan seutas senyum yang amat cerah.
"Kakak? Kapan pulang?" Sanu dengan cepat memeluk kakaknya, melepas segala rindu yang selama ini ia rasakan semenjak kepergian gadis tersebut dari rumah.
"Semalem. Kakak sampai rumah langsung ke kamar kamu. Taunya kamu udah tidur. Tumben banget." Senyum tulus mengembang sempurna usai sang adik memeluk erat dirinya.
Dua tahun lalu, Sania resmi meninggalkan rumah untuk mengenyam pendidikan tinggi. Hubungan Sania dan sang ayah sama buruknya, bahkan lebih buruk lagi dari hubungan Sanu dan ayahnya. Tidak seperti Sanu yang penurut, Sania adalah gadis pemberani yang tanpa segan menentang perintah orang tuanya apabila tak sejalan dengan visi hidup yang ia pilih.
Sania sejujurnya sangat enggan meninggalkan Sanu sendirian di rumah kala itu. Ia sadar, dengan kepergiannya sang ayah akan semakin semena-mena pada adiknya, namun Sania tidak punya pilihan lain. Dengan menjadi sukses tanpa bantuan sang ayah, Sania berharap dapat mengeluarkan dirinya serta adik kesayangannya itu dari neraka yang selama ini memenjara mereka. Baguslah Sanu kini hampir lulus SMA, ia ingin Sanu tinggal dengannya dan berkuliah dengan baik di sana tanpa perlu lagi menjadi pelampiasan sang ayah atas segala kegagalannya dalam hidup.
Sania melepas pelukan Sanu dan mengamati adiknya itu dengan seksama, "Kamu sekarang udah makin gede ya?" Mata Sania berkaca-kaca.
Sepeninggal Sania, Sanu selalu menjalani semuanya tanpa banyak bicara. Ia bahkan nyaris tidak bisa merasakan emosi apapun selain pada Layla dan kakaknya.
Sania hanya mengangguk sekilas. "Kulit kamu sekarang lumayan kekuningan ya, seingat kakak terakhir kali ketemu kulit kamu masih pucat banget. Terus ini juga, dapet darimana otot lengan ini? Mana sekarang kamu tinggi banget. Udah gede ya kamu sekarang." Sania mengusap pipi adiknya. Rupanya sudah terlalu banyak yang ia lewatkan setelah kepergiannya dari rumah.
Sanu memeluk kakaknya sekali lagi. Membenamkan kepalanya di bahu sang kakak yang selama ini ia rindukan. Sejak kecil Sanu tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu, ia bahkan tak tahu bagaimana rupa ibunya sebab sang ayah melarang pekerja rumah mereka memasang foto sang ibunda di penjuru rumah. Alasannya sederhana, ia tak ingin Sanu melihat wajah istrinya, wajah seseorang yang telah Sanu hilangkan nyawanya. Itu pula yang membuat Sanu menjalani hidup dengan rasa bersalah pada tiap tarikan napasnya, sebab karena ia hidup, ibunya harus rela meregang nyawa.
Sania menggosok punggung Sanu dengan lembut. "Kamu mau kuliah di mana? Udah punya gambaran?"
Sanu melepas pelukannya. Ia mengangguk mendengar pertanyaan sang kakak. "Sanu mau kuliah di Ibukota, kak. Udah daftar di salah satu universitas di sana. Tinggal nunggu pengumumannya aja." Jelasnya dengan suara pelan.
Sanu tahu bahwa Sania sangat ingin agar ia tinggal dengannya. Sanu pun sebenarnya sangat ingin tinggal bersama Sania. Hanya kakaknya lah satu-satunya orang yang mengerti dirinya. Namun setelah dipikirkan lagi, Sanu mungkin hanya akan menjadi beban bagi kakaknya. Untuk membayar biaya kuliah Sania harus bekerja keras lantaran perang dingin dengan sang ayah yang belum juga terselesaikan.
Belum lagi jika Sanu menambah bebannya. Ia tak ingin merepotkan. Dengan berkuliah di ibukota, Sanu bisa jauh dari Layla dan ayahnya. Ia juga tak perlu repot masalah biaya sebab ayahnya lah yang akan menangani semuanya. Berkuliah di ibukota adalah perintah sang ayah, namun Sanu enggan menceritakannya pada sang kakak sebab tak ingin membuatnya lebih khawatir lagi.
"Hmm, di ibukota ya. Walaupun kakak agak kecewa kamu nggak mau tinggal sama kakak tapi yaudah. Mungkin emang kamu harus keluar dari kota ini biar nggak pusing-pusing lagi. Kamu juga butuh tempat dan lingkungan baru." Sania menghela napas. Meski berat baginya, namun Sanu sekarang sudah dewasa. Tubuhnya bahkan sudah jauh lebih besar dari tubuh Sania yang notabene tergolong perempuan yang tinggi. Apalagi yang harus Sania khawatirkan?
"Iya kak. Hari ini rencananya Sanu ngga ke sekolah. Karena udah mendekati kelulusan, udah nggak ada apa-apa di sekolah." Sanu memeluk kakaknya sekali lagi. Pada siapa lagi ia bisa bersikap manja seperti ini jika bukan pada kakaknya.
"Yaudah, ayo ke bawah. Makan dulu. Kakak udah masak." Sania memeluk Sanu sekilas kemudian keluar dari kamar adiknya menuju lantai dasar.
Sementara itu, Sanu pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Ia memperhatikan wajahnya di kaca. Jika dipikir lagi, sudah sangat lama sejak terakhir kali ia mengaca. Sanu memperhatikan warna kulitnya yang kini memang sudah mulai kekuningan, tidak sepucat dulu. Setidaknya kini ia bisa menghela napas lega lantaran tak perlu khawatir dengan pertanyaan ataupun pandangan aneh orang lain terhadap kulit pucatnya.
Usai membersihkan diri seraya berganti pakaian, Sanu berjalan pelan menuruni anak tangga untuk pergi ke ruang makan. Rumahnya berada di kawasan komplek perumahan elit, tak heran jika rumah yang hanya dihuni dua orang beserta belasan pembantu ini nampak amat begitu besar dan luas.
Ayah Sanu, Sandika Dhandarian merupakan seorang pebisnis sukses yang berhasil menorehkan namanya di jajaran dua puluh orang terkaya di Indonesia. Bisnis properti, konstruksi, makanan, waralaba, serta e-commerce membuat kekayaan Sandika terus menumpuk tanpa ada habisnya. Meraih segudang kesuksesan di usia yang belum menginjak setengah abad semakin menaikkan pamornya di kalangan pebisnis Indonesia bahkan Asia. Oleh karenanya, bagi Sandika uang bukanlah apa-apa.
Sanu menarik pelan kurisnya tanpa suara. Ia melirik ke arah ayahnya yang sibuk membaca koran seraya menyesap secangkir kopi. Menyadari kehadiran Sanu tidak membuat Sandika tertarik sama sekali. Ia tak mengindahkan putranya dan tetap melanjutkan kegiatannya.
Sementara itu, Sania datang membawa dua piring nasi goreng special dengan toping dan campuran yang nampak lebih banyak dari nasi itu sendiri. Sania tersenyum lebar, sudah lama ia tidak makan makanan enak. "Nih.... Kakak kasih udang, cumi, kepiting, sosis, mmm apalagi ya. Pokonya banyak."
Sanu mengulum senyum tipis. Ini kali pertama baginya memakan masakan kakaknya setelah dua tahun. Dengan semangat, Sanu menyuapkan nasi goreng beserta segala campurannya itu ke dalam mulut. Mengunyahnya dengan tetap mengulum senyum lantaran Sania tak berhenti menatapnya.
Sandika melirik kedua anaknya yang nampak berbincang tanpa menghiraukan kehadirannya sama sekali. Sania putrinya. Sudah lama sejak terakhir kali ia melihat putri sulungnya itu. Terlebih pertemuan terakhir mereka adalah hari di mana keduanya bertengkar hebat yang kemudian membuat Sania pergi meninggalkan rumah.
"Kenapa pulang? Nggak bisa cari uang lagi?" Sandika tersenyum sinis, ia yakin kedatangan putrinya mungkin saja karena ingin meminta maaf sebab telah menentang perintahnya.
Mendengar ucapan sang Ayah membuat Sania tertawa kecil. Ia tidak percaya laki-laki di hadapnnya ini adalah ayahnya. "Maaf Bapak Sandika yang terhormat. Saya kembali ke sini bukan untuk apa-apa. Saya hanya ingin menemui adik saya." Sania menekankan suaranya pada tiap kata yang terucap dari mulutnya.
Sandika tersenyum kecut. "Bilang saja kamu mau minta uang dari adikmu."
Mendengar ucapan sang Ayah kembali membuat darah Sania mendidih. Memang tidak ada hal lain lagi selain uang di benak si tua ini. "Sanu, makan yang banyak ya. Kakak heran, bisa-bisanya kamu tahan tinggal di sini selama ini. Neraka seperti ini? Haha." Sania meletakkan sendoknya. Nafsu makannya mendadak hilang akibat ucapan sang Ayah.
Sandika terdiam. Ia mengingat kembali masalah perjodohan yang tempo hari sempat ia bicarakan dengan salah satu koleganya. "Sanu, jangan lupakan tentang masalah perjodohan yang kemarin. Dia juga akan berkuliah di kampusmu, kalian mungkin akan bertunangan di semester pertama atau kedua setelah mulai berkuliah." Sandika membuang pandangan. Malas berlama-lama menatap anak sialan yang telah menghilangkan nyawa istri yang amat di cintainya itu.
Sanu masih melanjutkan kegiatannya tanpa menghiraukan sama sekali ucapan sang Ayah. Bagi Sanu dan ayahnya, diam artinya iya. Oleh karenanya, selama bertahun-tahun seringnya hanya obrolan satu arah yang terucap dari mulut keduanya. Sanu sendiri sudah terbiasa dengan semua ini. Tak ada artinya ia menolak atau membalas ucapan ayahnya sebab semua hal yang keluar dari mulut pria itu adalah perintah.
Sementara itu, Sania yang tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi pun mencoba mencerna ucapan sang Ayah. Berkali-kali ia menatap ayahnya dan Sanu bergantian, mencoba mencari jawaban dari ekspresi yang mungkin terlihat di wajah keduanya. Usai berpikir keras selama bermenit-menit, Sania akhirnya paham.
Ayahnya pasti memaksa Sanu untuk menerima perjodohan yang telah ia rencanakan. Gadis itu tinggal dan juga berkuliah di ibukota, oleh karenanya si brengsek Sandika menyuruh Sanu untuk berkuliah di sana. Sania menggertakkan giginya. Kekesalan serta kebenciannya pada sang Ayah terasa semakin menggunung dan membara.
"Astaga. Bener-bener. Gue gak nyangka bisa punya dna dia di tubuh gue." Batin Sania, sesaat sebelum ia meledakkan amarahnya.