Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 22
"Ini siapa Mbak?", tanya Zaki pada Mita seraya menunjuk foto seseorang di layar tablet.
Orang itu terlihat seperti sedang berbicara dengan seorang lainnya yang Zaki kenal sebagai sopir tronton penabrak Hanif.
"Dia salah seorang kepercayaan Papaku. Aku menyuruh Alin mengikuti gerak-geriknya setelah Hanif membatalkan pernikahan kami"
"Aku khawatir kalau-kalau Papaku melakukan sesuatu yang buruk pada Hanif karena tak terima dengan perbuatannya"
"Dan ternyata.. yang aku takutkan benar-benar terjadi", ucapnya lagi dengan helaan nafas dan tatapan sendu.
"Maaf Mbak, Mbak Mita... mencintai Hanif?", tanya Zaki hati-hati.
Mendengarnya Mita hanya tersenyum kecil. Kemudian diam sebentar sambil menunduk.
"Aku sudah mengenalnya cukup lama walau tak begitu akrab. Bisa dikatakan aku mungkin sedikit mengaguminya. Ya.. sifatnya memang tak seratus persen sempurna, tapi tak ada yang begitu kan?"
"Tapi kalau cinta... Sepertinya belum. Aku berpikir seiring berjalannya waktu mungkin rasa itu bisa muncul"
"Aku cuma gak nyangka kalau orang seperti Mbak Mita mau dijodohin", ucap Zaki.
Mita mendelik ke arah Zaki.
"Mm.. maksudku, Mbak terlihat seperti wanita modern yang gak cocok dengan sistem perjodohan. Dan aku juga yakin kalau Mbak punya lingkungan pergaulan yang cukup luas"
Mita kembali tersenyum.
"Mungkin kau akan menganggapku berlebihan atau tak masuk akal. Tapi aku menerima perjodohan itu karena tahu Arya bekerja di kantor yang sama dengan Hanif. Aku berpikir, mungkin aku sedikit demi sedikit bisa menjadi lebih dekat dengan Arya melalui Hanif supaya dia tidak terlalu shock mengetahui tentang keberadaan ku"
"Kau tahu, Ayah dan Bunda selama ini menutup-nutupi keberadaanku karena menjaga perasaan Arya. Mereka khawatir kalau-kalau Arya merasa diabaikan oleh Ibu kami. Aku memahami kekhawatiran mereka, tapi bukankah aku juga punya hak untuk mengenal dan dekat dengan saudara kandungku satu-satunya?!"
Zaki mengangguk-angguk tanda memahami maksud Mita.
"Mm.. Kalau boleh tahu, apa alasan Hanif membatalkan pernikahan itu Mbak?", tanya Zaki seolah tak tahu.
Mita terkekeh kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dia bilang, dia selama ini sebenarnya mencintainya seorang wanita. Dan kacaunya dia baru tahu kalau wanita itu punya perasaan yang sama saat pernikahan kami tinggal dua hari lagi. Dia juga bilang, tak ingin menyesal dan takut bila nanti mengecewakanku bila pernikahan ini diteruskan. Kau bayangkan Zaki, aku kalah karena cinta", ucapnya dengan tawa miris, entah sedih atau mungkin juga kecewa.
Zaki tak mampu berkata apa-apa. Ingin rasanya ia menceritakan kejadian sebenarnya, tapi harus dia tahan. Karena sementara ini urusan Arya jauh lebih penting.
Beberapa saat mereka terdiam seperti kehabisan bahan pembicaraan. Sebenarnya mereka dari tadi sedang menunggu Rizal untuk bergabung dengan mereka.
"Duh, Bang Rizalnya kemana sih, lama banget. Aku panggil dulu ya Mbak?!", ucap Zaki seraya berdiri hendak menuju dapur.
"Apa?! Lama? Tuh, salahkan isterimu. Pakai menyuruhku cuci piring segala. Tahu begini mending aku gak kesini tadi", Rizal tiba-tiba muncul dengan wajah kesal.
"Eng.. maaf Bang", Zaki merasa tak enak kemudian kembali duduk.
Rizal kemudian ikut duduk di ruang tamu. Diliriknya Mita di hadapannya yang ternyata kini wajahnya sudah berubah terlihat acuh. Dalam hatinya Rizal menyadari bahwa hidup seorang Armita ternyata tak sesempurna apa yang tampak dari luar. Siapa sangka kalau wanita yang terlihat berkelas seperti dia batal menikah karena calon suaminya menginginkan wanita lain.
Ya, sebenarnya Rizal sedari tadi sudah berdiri di dekat gorden antara ruang tamu dan ruang tengah. Hanya saja ia merasa enggan untuk langsung bergabung dengan Zaki dan Mita ketika mendengar pembicaraan keduanya.
"Begini Bang, sebelumnya kami perlu memastikan bahwa Abang adalah orang yang berpihak pada kebenaran dan mau mendukung kami untuk memperjuangkannya"
Rizal mengerutkan dahinya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya tatapan tajam seolah minta penjelasan atas ucapan Zaki tadi.
"Aku dan Mbak Mita, punya bukti kalau Arya hanya korban fitnah dan manipulasi oleh sekelompok orang. Dan..."
"Dan...", sahut Rizal, menuntut penyelesaian kalimat itu.
"Eng... Sepertinya ada beberapa oknum di kantor Abang yang terlibat di dalamnya", terang Zaki hati-hati.
"Maksudmu, ada anggota Kepolisian yang telah memfitnah Arya?"
"Ya... Sepertinya ada orang yang berkuasa atau yang berhasil membeli mereka untuk melakukan manipulasi kasus ini Bang", jawab Zaki seraya melihat ke arah Mita dengan sungkan.
Mita hanya tersenyum pahit, paham akan maksud dari perkataan Zaki.
Rizal terdiam mendengar kalimat Zaki. Wajahnya terlihat lesu dan kepalanya sedikit menunduk.
"Aku mau sholat dulu, sudah adzan", ucapnya tiba-tiba dan langsung berdiri meninggalkan Zaki dan Mita.
Kedua orang itu pun hanya bisa saling pandang. Zaki menghela nafas kemudian ikut berdiri.
"Aku ikut Abang aja ke mushollanya ya?", kata Zaki yang hanya diangguki Rizal.
"Kami permisi sebentar ya Mbak. Kalau Mbak Mita mau sholat, nanti Mama Chika siapin", Zaki menunjuk Mama Chika yang baru datang dari arah ruang tengah.
"Iya, terima kasih", ucap Mita seraya ikut berdiri di samping Mama Chika yang kini berada di dekat pintu depan.
Keduanya berdiri di sana sampai motor Rizal menghilang dari pandangan mereka.
"Yuk Mbak, kita ke dalam", ajak Mama Chika.
*********
Andre dan Intan sudah sampai di villa tempat Tiara disembunyikan. Intan hendak buru-buru masuk ke dalam saat salah seorang penjaga keamanan di situ terseok-seok mendatangi Andre dengan wajah babak belur. Seketika wajah Andre menjadi pias.
"Mm.. maaf Tuan, mereka baru saja... mengambil Nona Tiara", ucapnya sambil meringis memegangi rahangnya.
Wajah Intan sontak histeris, kemudian langsung memukul-mukul Andre dengan murka.
"Kembalikan adikku! Cepat kembalikan!! Aku akan membunuhmu kalau sampai terjadi hal buruk padanya!", tangis Intan tak bisa dibendung lagi.
Andre duduk tersandar di pintu mobilnya. Tatapannya kosong, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Seolah tersadar, dia kemudian mengambil ponselnya.
"Pierre, mereka mendapatkan Tiara", ucapnya dengan suara lemah.
Kemudian ia langsung menutup panggilan itu dan melihat pada Intan yang kini juga terduduk seraya menangis histeris. Andre merasa benar-benar berdosa pada kedua adik perempuannya. Ia tak menyangka rencana mereka bisa berantakan bahkan saat masih di awal.
Dan kini, dia merasa pikirannya buntu. Tak tahu harus berbuat apa. Harapannya kini hanya Pierre yang bisa mengatasi kekacauan ini.
Setelah menunggu Pierre beberapa lama, dan selama itu pula tangis Intan tak terhenti, terdengar suara mobil di halaman. Andre spontan berdiri karena ingin segera bicara dengan Pierre.
Tapi alangkah terkejutnya dia, karena yang keluar dari mobil itu adalah ayahnya, Phillippe de Bourbon.
Intan yang melihat kedatangan ayah tirinya itu, tak mampu menyembunyikan emosi di wajahnya. Orang yang paling dia benci kini sudah berdiri di hadapannya.
"Intan sayangku, senang sekali bisa bertemu denganmu lagi. Bagaimana kabarmu?", Phillippe tersenyum cerah.
Tapi yang di sapa malah menunjukkan sikap permusuhan. Tatapan tajamnya seolah menyiratkan betapa besar kebenciannya terhadap ayah tirinya.
Andre sendiri bingung harus bersikap bagaimana. Dia mengharap Pierre yang datang, dan tak siap bila yang datang ternyata adalah ayahnya.
Phillippe kemudian duduk di sofa. Sementara dua pengawal nya hanya berdiri jauh darinya.
"Andre, terima kasih. Berkat kau dan Pierre, akhirnya aku bisa bertemu kembali dengan kedua putri kesayanganku", ucap Phillippe entah serius atau malah menyindir.
"Walaupun aku berharap pertemuan ini bisa berlangsung dengan lebih hangat. Tapi walau bagaimanapun tetap saja bisa mengobati kerinduanku pada mereka"
Andre hanya diam, sementara Intan mengepalkan tangannya geram.
Cukup lama tak ada satu kata pun yang keluar dari mereka bertiga.
"Baiklah, malam ini kalian datanglah ke rumah. Kita makan malam bersama", Phillippe kemudian berdiri.
Sejenak dia terlihat sedikit kikuk sambil memandang ke arah Intan yang memalingkan wajahnya. Phillippe pun melangkah keluar diikuti pengawalnya menuju mobil yang tak berapa lama kemudian melaju meninggalkan bangunan itu.
Sepeninggal Phillippe, Intan kembali menangis sambil memukul-mukul dudukan sofa. Ingin sekali dia tadi memaki-maki Phillippe, tapi entah mengapa dia tak bisa. Tak terbiasa, karena memang antara mereka berdua selama ini tak pernah ada dialog dengan kata-kata kasar. Phillippe de Bourbon adalah tipe seorang ayah yang anti bicara kasar pada anak-anaknya termasuk Intan, meski sesering apapun mereka melakukan kesalahan. Tapi perbuatannya terhadap Tiara benar-benar tak bisa Intan maafkan.
Dan kini mau tak mau ia harus ke rumah ayah tirinya dengan harapan agar bisa bertemu Tiara di sana.
"Antarkan aku kembali ke penginapan, dan malam ini jemput aku. Kita sama-sama ke rumah Pére", Intan kemudian berdiri dan menghapus sisa air matanya.
Andre menatapnya heran. Kemudian mengangguk lalu mengikuti Intan keluar.
Setelah mengantar Intan, Andre kembali menghubungi Pierre. Tapi sama seperti sebelumnya, panggilan kembali terhubung ke kotak suara. Andre mendengus kesal lalu memutuskan menemui Pierre di rumahnya.
Saat Andre sampai di halaman, terlihat Pierre sedang berjalan bolak-balik dengan wajah gelisah. Setelah melihat kedatangan Andre, baru dia berhenti.
"Kenapa kau susah sekali dihubungi? Apa kau tahu kalau orang suruhan Pére sudah mengambil Tiara. Bahkan tadi dia sendiri datang ke villaku. Dan kau tahu apa yang dia lakukan? Dia mengundang aku dan Intan makan malam di rumahnya tanpa rasa bersalah, seolah tak terjadi apa-apa", ucap Andre dengan raut kesal.
Pierre hanya diam sambil sesekali menatapnya.
"Pierre, apa yang harus kita lakukan sekarang? Kau tahu, bahkan Intan berniat memenuhi undangan makan malam itu dan minta kujemput. Aku hanya khawatir kalau dia nanti bicara atau berbuat yang macam-macam yang bisa mengacaukan rencana kita"
"Kau tenang saja. Kukira dia ingin ke sana hanya karena berharap bisa bertemu Tiara"
"Aku tak menyangka kalau Pére secepat itu mengetahui keberadaan Tiara. Bahkan sebelum kita bisa menerangkan pada Tiara apa rencana kita", Andre tak bisa menyembunyikan perasaan kecewa atas kegagalan mereka.
Pierre menarik nafas panjang.
"Itu.. karena.. aku yang memberitahunya", ucap Pierre lirih tanpa menatap Andre.
Salam kenal
Terus semangat Author
Jangan lupa mampir ya 💜
Bagus...