Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak yang tertinggal
Angin kencang bertiup di atas pegunungan yang tandus, menyapu puncak-puncak batu yang menjulang. Shin berdiri tegak, menatap pemandangan di depannya, seolah mencoba memikirkan sesuatu yang mendalam. Tubuhnya terasa berat dengan perubahan besar yang baru saja dialaminya. Sihir yang mengalir dalam dirinya begitu kuat dan tidak terkendali, dan dia tahu bahwa dia harus segera menemukan cara untuk mengendalikannya.
Namun, perasaan kesendirian itu terus menghantuinya. Shin merasa, meskipun banyak orang yang peduli padanya, dia tidak bisa terus-menerus bergantung pada mereka. Di Akademi, ia merasa seperti sebuah proyek yang harus diselesaikan. Didorong oleh rasa ingin tahu dan dorongan batin untuk mencari tahu lebih banyak tentang dirinya, Shin memutuskan untuk menyingkir sejenak.
Di pegunungan ini, tempat di mana dia dulu tumbuh, Shin merasa ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia temukan. Ini bukan tentang kekuatan semata, melainkan tentang siapa dirinya sebenarnya, tentang mengapa ia bisa selamat dari serangan Dewa Naga Kegelapan dan mengapa kekuatan sihirnya bisa terbangun begitu dahsyat.
Shin menarik napas dalam-dalam, merasakan aliran energi sihir di dalam dirinya. Seluruh tubuhnya bergetar dengan kekuatan yang luar biasa, seolah sihir itu menyatu dengan alam sekitar, menyatu dengan gunung dan angin. Namun, saat itu juga, ada rasa cemas yang mengganjal—sebuah ketakutan bahwa dirinya tidak akan mampu mengendalikan kekuatan tersebut. Dia harus mencari cara untuk menyelaraskan dirinya dengan sihir, atau dia akan menjadi ancaman bagi semua orang di sekitarnya.
Di sisi lain, di Akademi, panik masih melanda. Kepala Sekolah dan para guru terbaik kini sudah berkumpul untuk merencanakan langkah selanjutnya. Setiap orang tahu bahwa situasi ini sangat berbahaya, karena jika Shin jatuh ke tangan yang salah, kekuatannya bisa menghancurkan semuanya.
Leo dan Alaric sudah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang kemungkinan ke mana Shin pergi. Mereka tidak ragu lagi bahwa Shin bersembunyi di pegunungan, tempat yang pernah menjadi rumahnya.
“Kita nggak bisa biarin dia sendirian di sana,” kata Leo dengan tegas, wajahnya penuh kecemasan. “Shin nggak tau apa yang lagi terjadi sama dirinya. Kalau Penyihir Terlarang nemuin dia duluan, kita bakal terlambat.”
Alaric mengangguk setuju, matanya berkilat dengan tekad. “Kita akan nemuin dia, Leo. Gak peduli sejauh apa dia pergi, kita bawa dia balik. Kita nggak bisa biarin dia berjuang sendirian.”
“Leo,” Kepala Sekolah berkata, menghentikan percakapan mereka. “Ada sesuatu yang harus kalian ketahui. Penyihir Terlarang nggak cuma mau nguasain Shin. Mereka juga tau kalau kekuatan besar lagi terbangun dalam dirinya—sesuatu yang lebih berbahaya dari yang kita bayangkan. Shin nggak cuma jadi sasaran mereka karena dia kuat. Ada alasan lain. Kekuatan yang dia punya sekarang bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Dan aku takut, kita akan segera melihat hasil dari itu.”
“Kita harus mempercepat pencarian,” Leo menjawab cepat. “Setiap detik yang kita biarin, kemungkinan besar mereka udah lebih dekat ke Shin.”
Dengan perintah dari Kepala Sekolah, tim pencarian segera dibentuk, dengan Leo dan Alaric sebagai pemimpin utama. Mereka mempersiapkan diri untuk perjalanan yang akan menantang kekuatan dan tekad mereka. Setiap langkah yang mereka ambil adalah langkah menuju masa depan yang penuh ancaman, tetapi mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mundur. Shin adalah tanggung jawab mereka, dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan dia tidak jatuh ke tangan yang salah.
Di Pegunungan
Shin duduk di atas batu besar, menghadap ke langit malam yang penuh bintang. Di bawahnya, hutan lebat menyelimuti sebagian besar pegunungan, memberikan rasa ketenangan yang jarang ia rasakan sebelumnya. Namun, rasa cemas itu tidak bisa hilang begitu saja. Meskipun tubuhnya sudah semakin kuat, ada hal yang terus mengganggu pikirannya: Dewa Naga Kegelapan.
Dia tidak tahu bagaimana, tetapi sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa Naga itu masih ada, menunggu waktu yang tepat untuk muncul lagi. Shin menggigit bibirnya, menatap tangan yang kini dipenuhi dengan kekuatan yang luar biasa. Dia merasakan setiap denyut energi yang mengalir dalam dirinya, tapi pada saat yang sama, dia merasa seperti berada di ambang kehancuran.
Namun, rasa khawatir itu tidak bisa terus membelenggunya. Shin berdiri, matanya menyala dengan tekad baru. “Aku tidak akan membiarkan siapapun mengendalikan nasibku," bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku akan menguasai kekuatan ini. Aku bakal jadi lebih kuat dari siapapun.”
Tetapi, saat itu juga, sebuah suara berat mengganggu pikirannya.
“Shin... kau terlalu percaya diri,” suara itu datang dari belakangnya, tegas dan penuh ancaman. Shin segera berbalik, matanya tajam menatap sosok yang tiba-tiba muncul di depan. Sosok yang tinggi besar, dengan mata merah menyala dan aura gelap yang sangat kuat—Arvin.
“Arvin...!” Shin terkejut, tubuhnya bergetar. “Kau... apa yang kau lakuin di sini?”
Arvin tersenyum sinis, tatapannya penuh dengan kebencian. “Aku datang buat memastikan, Shin. Kekuatanmu adalah milik kami. Kami sudah menunggu dua tahun untuk saat ini. Jangan pikir kau bisa kabur dari takdirmu.”
Shin nggak gentar. Matanya menyipit tajam, tapi suara yang keluar nggak mencerminkan ketakutan. “Takdir? Hah, takdir cuma alasan orang yang takut buat berjuang. Kalau kau pikir kekuatan ini bisa aku serahkan begitu saja, berarti otakmu yang terjebak dalam takdir, bukan aku.”
Arvin mengernyitkan dahi, rasa kesal mulai tampak di wajahnya. “Kau pikir kau bisa melawan kami? Kami lebih kuat dari yang kau bayangkan, Shin. Kekuatanmu sudah bangun, dan kau nggak bakal bisa mengendalikannya sendirian.”
Shin melangkah maju, langkahnya penuh kebijaksanaan. “Mengendalikan kekuatan itu bukan soal siapa yang lebih kuat, Arvin. Semua orang yang mengandalkan kekuatan untuk menundukkan orang lain, pada akhirnya cuma bakal tenggelam dalam keserakahan. Kekuatan yang aku punya—ini bukan buat dikuasai, tapi buat dipahami. Kau bakal lihat, aku akan paham lebih dalam dari sekedar keinginanmu.”
Arvin terdiam sejenak, tampaknya terkejut dengan kalimat Shin yang penuh kebijaksanaan. Namun, rasa marahnya kembali muncul, dan dengan satu gerakan, energi gelap menyembur keluar, membentuk sosok naga hitam raksasa yang menyelimuti tubuhnya.
“Jangan bercanda, Shin. Saat ini, kau adalah target kami, dan kami nggak akan mundur.”
Shin berdiri tegak, menatap Arvin dan naga gelap itu. “Aku nggak perlu lagi terikat sama takdir yang kau omongin. Kalau kau mau berantem, datang aja. Tapi ingat, kemenangan bukan selalu soal siapa yang bertahan paling lama. Terkadang, kemenangan itu datang dari siapa yang lebih ngerti tentang dirinya sendiri.”
Seiring dengan kata-katanya, Shin mengangkat tangannya, dan energi sihir mulai mengalir dengan hebat di sekelilingnya. Badai sihir berkumpul, dan tubuh Shin bersinar terang. Kekuatan yang begitu besar mulai berkumpul di tubuhnya, seolah alam semesta sejenak berhenti menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Arvin memandang dengan penuh kekaguman dan kebencian. “Kau mau berperang dengan filosofi, Shin? Lupakan itu. Saat ini, cuma ada dua pilihan—menyerah atau mati.”
Shin tersenyum lebar, mata penuh keyakinan. “Kedua pilihan itu nggak akan pernah ada. Aku nggak akan menyerah, dan aku nggak akan mati karena ketakutan. Kalau aku harus mati, berarti aku mati karena kesalahan aku sendiri. Jangan kau takutkan takdir sama orang yang siap melawan itu.”
Pertarungan besar dimulai, kekuatan yang luar biasa meledak di sekeliling mereka, menggelegar, mengguncang pegunungan. Shin dan Arvin bertarung dengan sengit, namun kata-kata Shin mengalir penuh kebijaksanaan, mengubah setiap serangan menjadi pelajaran berharga bagi dirinya.