Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Experiment dimulai
Rehan duduk di meja kostnya, tangan terlipat di depan laptop yang terbuka, namun matanya lebih sering melirik ke luar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Perasaan yang muncul setelah pertemuan keduanya dengan Dinda, pelayan warkop itu, masih terus mengganggunya. Sesuatu yang logis tak dapat dijelaskan begitu saja oleh akal sehatnya. Sejak saat itu, Rehan merasa terjebak dalam ketidakpastian, terutama setelah ia merasakan detak jantungnya yang lebih cepat setiap kali Dinda tersenyum padanya.
"Apa lo serius sama eksperimen lo tentang cinta?" Aryo bertanya, sambil melangkah masuk ke kamar dengan wajah penasaran. Sejak pertama kali mendengar rencana eksperimen Rehan, Aryo selalu terkesan bingung, tetapi juga terhibur. "Lo udah mulai ngerasain sesuatu, kan? Gue rasa lo udah mulai masuk perangkapnya."
Rehan tidak menanggapi dengan segera. Ia masih mencerna kata-kata Aryo. Mungkin memang benar. Sejak malam itu, ia semakin merasa bingung. Tetapi, logika tak bisa diabaikan. Ini adalah eksperimen ilmiah, dan Rehan ingin tahu jawabannya, bahkan jika ia harus melakukannya dengan cara yang agak aneh.
"Belum ada kesimpulan yang jelas, Aryo," jawab Rehan, akhirnya menatap sahabatnya itu. "Tapi gue butuh data yang lebih jelas. Gue harus tau apakah perasaan ini cuma akibat faktor eksternal atau memang ada reaksi tertentu dalam tubuh gue."
Aryo mengangkat alis. "Oke, gue nggak ngerti kenapa lo jadi ribet gini. Tapi kalau lo butuh bantuan, gue ada di sini."
Rehan mengangguk pelan. Ia memang membutuhkan data, tapi kali ini, eksperimen kali ini lebih dari sekadar angka atau rumus. Ini soal perasaan. Tentang sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan sains, tetapi Rehan ingin membuktikan bahwa segala hal, termasuk perasaan, pasti punya penjelasan logis.
Malam itu, Rehan memutuskan untuk kembali ke warkop. Itu akan menjadi pertemuan ketiga antara dirinya dan Dinda. Sejak pertemuan pertama mereka, Rehan tidak bisa berhenti berpikir tentang bagaimana senyum Dinda terasa berbeda dari senyum orang lain. Dan saat pertemuan kedua, ia merasa lebih canggung, meskipun ia berusaha untuk tetap tampil rasional. Begitu juga malam itu, ia sudah menyiapkan segala catatan untuk eksperimen baru.
Sesampainya di warkop, suasana ramai seperti biasa. Rehan menatap beberapa pelanggan yang duduk di meja, memesan kopi, dan berbincang santai. Warkop itu memang selalu menjadi tempat yang nyaman bagi orang-orang yang ingin berteduh dari hujan atau sekadar mencari ketenangan di tengah kota yang sibuk.
Rehan mencari tempat duduk di sudut, tidak terlalu dekat dengan kasir tempat Dinda bekerja. Ia ingin tetap menjaga jarak, namun di saat yang sama, ia merasa sedikit cemas. Apakah ia akan merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan sebelumnya?
Tak lama setelah duduk, Dinda datang menghampirinya. "Hai, mas! Mau pesen apa?" tanyanya, dengan senyum khasnya yang membuat jantung Rehan sedikit berdebar.
Rehan merasa sedikit kikuk, meskipun ia berusaha untuk terlihat biasa saja. "Oh, sama seperti sebelumnya, kopi hitam, ya," jawabnya sambil berusaha menjaga ketenangan.
Dinda tersenyum dan segera berbalik untuk menyiapkan pesanan Rehan. Rehan, dengan hati-hati, mencatat reaksi tubuhnya. Detak jantungnya terasa sedikit lebih cepat, dan ia merasa sedikit lebih cemas dari biasanya. Mungkin ini hanya ketegangan biasa saat bertemu orang yang baru pertama kali diajak bicara, tetapi ada sesuatu yang membuat perasaan itu lebih kuat.
Dinda kembali dengan kopinya. "Ini kopinya, mas. Semoga sesuai selera."
Rehan mengangguk sambil tersenyum tipis, kemudian mengambil cangkir kopi dari tangan Dinda. "Terima kasih, Dinda."
Dinda kembali tersenyum. "Senang bisa bantu. Kalau ada yang lain, jangan ragu bilang aja, ya."
Rehan menatap Dinda, merasakan kehangatan yang sulit dijelaskan. Ia merasa ada yang berbeda kali ini. Rehan menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. "Gimana, Dinda? Lagi sibuk?"
Dinda mengangguk, meskipun senyumnya tetap cerah. "Iya, lumayan banyak pesanan hari ini. Tapi ya, namanya juga kerja di sini, mesti siap sih."
Rehan terdiam sejenak, mencoba mencari cara untuk mengamati lebih jauh, tanpa terlihat terlalu aneh. "Oh, iya. Gue jadi penasaran," katanya, dengan suara lebih pelan. "Lo udah lama kerja di sini?"
Dinda tertawa kecil, mengernyitkan dahi. "Lumayan sih. Gue udah beberapa bulan kerja di sini. Kenapa, mas? Penasaran banget, ya?"
Rehan tersenyum tipis, mencoba mengendalikan canggungnya. "Nggak juga sih. Gue cuma berpikir, kalau lo sering di sini, pasti lo udah tahu banget tentang warkop ini, ya."
Dinda mengangguk, terlihat senang dengan percakapan ringan ini. "Iya, kadang-kadang gue suka ngerasa ini kayak rumah kedua gue. Banyak orang yang datang ke sini buat sekadar ngobrol atau kerja."
Rehan merenung sejenak. Tidak ada yang istimewa dari percakapan ini, tapi perasaannya tetap aneh. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit berdebar setiap kali Dinda berbicara. Rehan mencatat perasaannya dalam hati: "Ada perubahan pada detak jantung—lebih cepat dari biasanya. Mungkin ini pengaruh suasana, atau mungkin ada faktor lain."
Malam itu, Rehan menghabiskan beberapa waktu lagi di warkop sambil memperhatikan Dinda yang terus melayani pelanggan lainnya. Ia mulai merasa semakin bingung, namun tetap mencatat setiap detail kecil yang terjadi. Rehan ingin memahami apa yang sedang ia rasakan, apakah ini sekadar ketertarikan atau sesuatu yang lebih dalam.
Sebelum pulang, Rehan meninggalkan uang untuk bayar kopi dan sedikit tip untuk Dinda. Ia menyadari bahwa eksperimen ini mungkin tidak akan pernah sesederhana yang ia kira. Namun, satu hal yang pasti—perasaan yang ia alami setiap kali bertemu Dinda semakin tidak bisa diprediksi, bahkan dengan sains sekalipun.
Setelah keluar dari warkop, Rehan merenung. "Mungkin, cinta itu memang bukan sesuatu yang bisa dijelaskan hanya dengan angka atau rumus," pikirnya, merasa sedikit bingung, tetapi tetap bertekad melanjutkan eksperimennya.