NovelToon NovelToon
Vano Axelion Abraham

Vano Axelion Abraham

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Dosen / Balas Dendam / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:433
Nilai: 5
Nama Author: fadhisa A Ghaista

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus Universitas Citra, Vano, seorang mahasiswa hukum yang cerdas dan karismatik, ditemukan tewas di ruang sidang saat persidangan penting berlangsung. Kematian misteriusnya mengguncang seluruh fakultas, terutama bagi sahabatnya, Clara, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang diam-diam menyimpan perasaan pada Vano.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fadhisa A Ghaista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

keadilan

Beberapa jam kemudian, Naya berjalan menuju kantin kampus, perutnya mulai lapar setelah seharian berkutat dengan buku dan catatan. Saat mendekati kantin, ia melihat kerumunan mahasiswa berkumpul dengan wajah tegang, sebagian dari mereka berbisik-bisik, sementara yang lain tampak terpaku pada layar ponsel mereka. Suasana yang biasanya ramai oleh tawa dan obrolan ringan kini berubah menjadi bisik-bisik serius yang menciptakan atmosfer aneh.

Naya mendekati Rani, teman sekelasnya yang tampak ketakutan sambil memegang erat ponselnya. "Ran, ada apa? Kok semua orang kayak panik gini?"

Rani menatap Naya dengan ekspresi bingung dan cemas, lalu menyerahkan ponselnya. "Naya... Vano... Vano ditemukan tewas. Di ruang sidang fakultas kita."

Naya terdiam seketika, rasa dingin merambat di punggungnya. Ia menatap layar ponsel Rani, membaca berita yang terpampang di layar. Foto ruang sidang fakultas mereka muncul di sana, lengkap dengan garis polisi yang membentang, dan sebuah ambulans yang sedang bersiap mengangkut tubuh Vano. Deskripsi berita menyebutkan bahwa Vano ditemukan oleh seorang staf kebersihan, dan tubuhnya menunjukkan tanda-tanda kekerasan yang jelas.

“Enggak mungkin…” Naya berbisik pelan, nyaris tak percaya. Pikirannya berputar, mengingat sosok Vano yang baru saja mereka bicarakan tadi pagi, sosok yang selalu dipenuhi semangat dan ambisi. Bagaimana mungkin dia berakhir seperti ini?

Rani menepuk pundaknya pelan. “Naya, kamu baik-baik saja?”

Naya mencoba tersenyum walau wajahnya masih terlihat syok. “Aku… aku cuma enggak nyangka. Vano... dia kan baru saja membahas rencananya untuk kompetisi debat.”

Rani mengangguk, wajahnya sama-sama diliputi kesedihan. “Iya. Aku dengar polisi sudah mulai menyelidiki, tapi sejauh ini mereka belum menemukan petunjuk pasti siapa pelakunya.”

Naya mengangguk pelan, masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang menggantung di udara seolah ada lebih banyak rahasia yang terkubur di balik kematian Vano. Instingnya mengatakan bahwa ini bukan sekadar kasus biasa.

Saat ia hendak menenangkan diri dan kembali ke asrama, sebuah pesan muncul di ponselnya. Nomor tak dikenal.

"Kau ingin tahu kebenaran di balik kematian Vano? Mulailah dengan ruang sidang. Jangan bilang siapa-siapa."

Pesan singkat itu membuat jantung Naya berdebar keras. Siapa yang mengirim pesan ini? Mengapa pesan itu dikirim padanya? Dan, yang terpenting, mengapa ia merasa tertarik untuk mencari tahu?

Naya memandangi pesan itu, merasa terseret dalam lingkaran misteri yang mulai terasa semakin dalam. Terlepas dari ketakutannya, ia tahu satu hal pasti—ia harus ke ruang sidang malam ini, demi mencari jawaban di balik kematian yang tak terduga ini.

°°°°°°°

Malam itu, kampus terlihat sepi dan mencekam. Hanya beberapa lampu lorong yang menyala di sepanjang gedung fakultas hukum, menciptakan bayangan panjang di koridor. Naya melangkah dengan hati-hati menuju ruang sidang, menggenggam ponselnya dengan erat. Bayangan gedung dan suasana malam yang sunyi terasa lebih menyeramkan dari biasanya. Setiap bunyi kecil—desir angin, suara langkah kucing yang melintas—membuatnya terlonjak.

Pikiran tentang Vano tak henti-hentinya memenuhi kepalanya. Ia teringat betapa bersemangatnya Vano ketika mereka berbincang soal cita-citanya menjadi jaksa, ambisi yang seolah tak pernah pudar. Tapi kini, ambisi itu terkubur bersama jasadnya. Siapa yang tega melakukan ini padanya?

Saat sampai di depan pintu ruang sidang, Naya terdiam. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang, dan tangannya sedikit gemetar ketika hendak mendorong pintu kayu tua itu. Menarik napas dalam-dalam, ia berusaha menguatkan dirinya. “Kamu bisa, Naya. Demi Vano, kamu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Pintu itu berderit pelan saat ia mendorongnya, membuka ruang sidang yang kini gelap dan sunyi. Beberapa kursi masih tersusun rapi, tapi ada sesuatu yang terasa salah. Aroma samar antiseptik bercampur dengan bau lembap ruangan yang sudah lama tak digunakan. Naya melangkah masuk, mengarahkan senter ponselnya ke sekeliling ruangan. Tidak ada apa-apa—hanya keheningan yang terasa berat, seolah menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja.

Saat ia berjalan ke bagian depan ruangan, matanya tertumbuk pada sesuatu di lantai. Sebuah kartu kecil berwarna putih tergeletak di dekat meja saksi. Naya memungutnya dengan hati-hati, memperhatikan tulisan di kartu itu.

"Keadilan untuk yang berani mencari kebenaran."

Kata-kata itu membuat bulu kuduknya berdiri. Siapa yang meninggalkan kartu ini di sini? Apakah pesan ini untuknya? Atau mungkin untuk Vano, sebelum ia menemui ajalnya?

Naya merasakan dering ponselnya yang tiba-tiba berbunyi, membuatnya terlonjak. Dengan cepat, ia membuka pesan baru yang masuk. Kali ini, nomor tak dikenal itu mengirim pesan lagi.

"Lihat di bawah meja saksi. Di sanalah petunjuk dimulai."

Naya menggigit bibir, berusaha menenangkan diri dari rasa takut yang semakin mencengkeramnya. Tapi dorongan untuk mencari tahu lebih kuat dari ketakutannya. Ia mendekati meja saksi dan berlutut, mengarahkan senter ponselnya ke bawah meja. Di sana, tersembunyi sebuah amplop cokelat yang terlihat agak kotor, seperti sudah lama berada di tempat itu.

Perlahan, ia mengambil amplop tersebut, membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat beberapa foto dan selembar catatan tulisan tangan. Foto-foto itu menampilkan Vano bersama beberapa orang yang tak begitu dikenalnya—sebagian dari mereka tampak seperti mahasiswa hukum, sementara lainnya adalah orang-orang yang lebih dewasa, mungkin pengajar atau alumni.

Namun, yang menarik perhatian Naya adalah catatan yang tertulis dalam tulisan tangan rapi di balik salah satu foto:

"Kebenaran itu mahal. Tapi Vano telah menemukannya, dan dia memilih untuk tidak diam."

Naya membeku. Apakah ini berarti Vano telah menemukan sesuatu yang membahayakan dirinya? Ataukah ini adalah petunjuk tentang siapa yang mungkin membunuhnya?

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Suara itu semakin dekat, berderap di lorong menuju ruang sidang. Naya segera mematikan senter ponselnya dan bersembunyi di balik meja saksi, menahan napas.

Suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu. Naya bisa merasakan jantungnya berdegup semakin kencang, takut bahwa orang di balik pintu itu akan menemukannya. Pintu terbuka perlahan, dan siluet seseorang berdiri di ambang pintu. Meski dalam kegelapan, Naya bisa melihat sosok itu melangkah masuk, memperhatikan sekeliling ruangan dengan gerak-gerik yang penuh kewaspadaan.

Tanpa suara, Naya merapatkan diri ke lantai, berharap sosok itu tak akan menyadari keberadaannya. Namun, ketika ia mencoba mengintip lebih dekat, matanya menangkap kilatan benda tajam di tangan orang itu—sebuah pisau.

Naya menahan napas, tubuhnya kaku di balik meja saksi. Satu langkah salah saja, dan dia mungkin menjadi korban berikutnya dalam pencarian kebenaran ini.

1
Delita bae
salam kenal jika berkenan mampir juga👋💪💪💪👍🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!