Vano Axelion Abraham
Pagi itu, kampus terasa hidup dengan keramaian khas mahasiswa yang bergegas menuju kelas atau berkumpul di kantin. Di bawah pohon rindang di taman fakultas, Naya duduk sambil membuka laptopnya, mencari bahan untuk tugas mingguan. Pemandangan ini adalah rutinitas yang menenangkan baginya; suasana pagi di kampus dengan udara segar yang membawa semangat baru selalu membuatnya merasa siap menghadapi hari.
Di sekelilingnya, beberapa teman sekelasnya berkumpul sambil bercanda dan menukar cerita soal dosen favorit atau ujian yang akan datang. Naya tersenyum kecil mendengarnya, teringat bagaimana minggu lalu ia dan teman-temannya terjebak dalam diskusi panjang tentang kasus perdata yang tampaknya sederhana tapi ternyata penuh jebakan. Di fakultas hukum, obrolan mereka selalu terasa seperti latihan sebelum memasuki ruang sidang sungguhan.
Sementara itu, suara langkah-langkah kaki di kerumunan perlahan mendekat ke arah Naya. Adrian, sahabatnya sejak tahun pertama, muncul dengan setumpuk buku di tangan. Ia duduk di sebelah Naya, meletakkan buku-buku itu dengan hati-hati, lalu membuka satu berkas yang terlihat cukup tebal.
“Hai, lagi sibuk ngerjain tugas ya?” tanyanya dengan nada santai.
Naya menatap Adrian sambil tersenyum. “Ya, ini tugas minggu depan. Lumayan ribet, jadi mending mulai sekarang biar enggak keteteran,” jawabnya sambil kembali fokus pada layar laptopnya.
Adrian mengangguk sambil membuka berkasnya. Ia tampak serius membaca beberapa halaman, namun sesekali melirik Naya dari balik berkasnya, seperti ingin berbicara lebih jauh tapi menahan diri. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bicara, “Ngomong-ngomong, kamu lihat Vano akhir-akhir ini? Aku dengar dia sibuk persiapan untuk kompetisi debat, katanya sampai nginep di kampus segala.”
Naya menggeleng pelan. "Enggak, udah lama enggak lihat dia. Dengar-dengar dia lagi ngejar proyek yang katanya super besar, ya?"
Adrian mengangguk sambil tertawa kecil. “Iya, dia memang ambisius. Setiap kali ngobrol soal hukum, bisa-bisa lupa waktu. Katanya, dia mau jadi jaksa yang hebat suatu hari nanti. Obsesi banget sama keadilan.”
Naya tersenyum, mengenang betapa antusiasnya Vano saat membahas hukum pidana atau kasus-kasus sulit yang membutuhkan analisis mendalam. Sebenarnya, ia mengagumi semangat Vano yang selalu berapi-api, meski kadang terlihat terlalu serius dan tegang.
Suasana antara Naya dan Adrian kembali tenang, masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Di sela-sela kesunyian itu, suara langkah mahasiswa lain, obrolan santai, dan gemerisik daun yang tertiup angin menciptakan latar belakang damai yang menenangkan. Tak ada yang aneh, tak ada yang mencurigakan, hanya pagi yang berjalan seperti biasanya.
Naya melirik arlojinya. "Eh, aku harus ke perpustakaan sekarang, ada buku yang harus kukembalikan."
Adrian tersenyum dan mengangguk, melambaikan tangan saat Naya beranjak pergi. Dalam langkahnya yang ringan, Naya merasa nyaman dengan rutinitasnya yang tenang ini. Tapi, tanpa ia sadari, kejadian-kejadian di hari-hari mendatang akan mengubah semua ketenangan ini menjadi mimpi buruk yang penuh teka-teki.
°°°°°°°
Untuk saat ini, di pagi yang tenang itu, Naya masih belum tahu. Naya melangkah menuju perpustakaan, menikmati udara pagi yang sejuk dan matahari yang menghangatkan punggungnya. Sepanjang perjalanan, ia bertemu beberapa teman yang menyapanya, beberapa di antaranya bertanya tentang proyek kelompok yang sedang mereka kerjakan bersama. Naya menjawab dengan antusias, karena baginya, semua ini—kelas, proyek, diskusi kasus hukum—adalah bagian dari kehidupannya yang menyenangkan dan penuh makna.
Sesampainya di perpustakaan, ia langsung menuju bagian rak khusus hukum pidana. Matanya menelusuri buku-buku tebal yang berjajar rapi, seolah-olah mereka menyimpan jawaban dari segala misteri hukum yang ada di dunia. Ia menarik sebuah buku tentang studi kasus kriminal dari rak, membolak-balik halaman yang penuh dengan analisis mendalam. Ada semacam ketenangan yang ia rasakan saat tenggelam dalam dunia hukum yang rumit dan penuh intrik.
Di antara lembaran-lembaran buku itu, pikirannya tak sengaja melayang pada Vano. Meski tak begitu dekat, Naya tahu Vano adalah sosok yang berpendirian kuat, terutama soal keadilan. Vano sering kali berdebat dengan teman-teman sekelas, mempertanyakan segala sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. Dia selalu menjadi pusat perhatian dalam diskusi, tidak hanya karena ketajamannya, tetapi juga karena keberaniannya mempertanyakan norma yang selama ini dianggap benar.
Naya tersenyum kecil saat mengingat suatu kali Vano pernah berdebat sengit dengannya soal sebuah kasus yang melibatkan pembunuhan berencana. Vano bersikeras bahwa pelaku harus mendapat hukuman yang lebih berat, sementara Naya, dengan idealismenya, percaya bahwa rehabilitasi juga diperlukan dalam beberapa kasus. Perdebatan itu berakhir dengan tawa dan obrolan ringan di kantin, di mana mereka saling menghormati perbedaan pendapat masing-masing.
“Naya?” Suara lembut namun tenang membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Renata, pustakawan senior yang sering membantunya mencari referensi.
“Oh, hai, Kak Renata!” Naya tersenyum sambil memegang bukunya.
Renata tersenyum balik, lalu menatap buku di tangan Naya. “Sedang tertarik dengan hukum pidana, ya? Atau masih penasaran dengan kasus yang waktu itu kamu ceritakan?”
Naya tertawa kecil. “Iya, aku lagi cari bahan buat tugas. Dan aku penasaran aja, soalnya kasus-kasus hukum itu punya banyak sisi yang menarik buat dianalisis.”
Renata mengangguk, lalu menatapnya dengan ekspresi sedikit serius. “Kalau tertarik soal kasus-kasus kriminal, kamu harus berhati-hati juga, Naya. Terkadang ada hal-hal yang sebaiknya tidak diungkap.”
Naya terdiam, merasa ada keanehan dalam perkataan Renata. Tapi ia hanya tertawa pelan, menganggapnya sebagai nasihat biasa dari seseorang yang sudah lama bekerja di dunia literatur hukum. “Aku akan hati-hati, Kak. Lagipula, aku cuma mahasiswa yang belajar kok, bukan detektif sungguhan.”
Renata tersenyum samar dan mengangguk. “Baguslah. Semoga kamu tetap begitu.” Dengan satu lambaian singkat, ia berlalu, meninggalkan Naya yang kembali ke meja untuk membaca buku yang ia ambil.
Pagi itu berlalu dalam ketenangan. Naya tenggelam dalam studi dan sesekali mencatat hal-hal penting. Semuanya berjalan lancar, tanpa ia menyadari bahwa dalam beberapa jam ke depan, berita tentang kematian Vano akan mengguncang kampus dan mengubah hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Delita bae
salam kenal jika berkenan mampir juga👋💪💪💪👍🙏
2024-11-14
0