Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Tari, yang tak bisa menerima penghinaan, merasakan panas yang membakar di dadanya. Kata-kata Dina seakan menyentuh titik paling dalam harga dirinya. Dengan langkah cepat dan marah, Tari melangkah maju dan menarik bahu Dina, menariknya kembali dengan paksa. "Kamu belum selesai denganku," katanya, suara penuh amarah yang bergetar. "Aku masih punya banyak yang ingin kukatakan padamu."
Dina terkejut oleh perlakuan kasar Tari. Namun, dia sudah terlalu lelah untuk terperangkap dalam permainan emosional ini. Tanpa berpikir panjang, Dina menepis tangan Tari yang menggenggamnya dengan keras, langkahnya begitu tegas hingga tangan Tari terlepas begitu saja. Mata Dina kini memancarkan keteguhan, dan sedikit kebingungan mulai terukir di wajah Tari.
Tari menatapnya dengan marah, tak bisa menahan diri lagi. "Kamu seharusnya tahu diri, Dina," katanya, suaranya penuh dengan ejekan. "Ronny meninggalkanmu untukku, karena kamu tak pantas dan tak layak untuknya. Kamu pikir siapa dirimu?"
Dina menatapnya sejenak, kemudian sesuatu yang jarang dilihat oleh Tari muncul—Dina tertawa, terbahak-bahak, seolah mendengar lelucon yang paling lucu. Tawa itu penuh ironi, seolah Dina sedang menertawakan sebuah kebodohan yang tidak mungkin ada di dunia nyata. "Kamu kira aku peduli?" kata Dina sambil menahan tawanya yang masih tergelak. "Itu lelucon yang paling konyol yang pernah aku dengar."
Tari terdiam sejenak, terkejut oleh reaksi Dina yang tidak sesuai dengan harapannya. Namun, Dina tak berhenti. Dia melangkah maju, mendekati Tari dengan senyum yang semakin tajam. "Ronny, tentu saja dia lebih memilihmu, Tari," katanya dengan nada yang perlahan mengalir tajam, seperti pisau yang baru saja diasah. "Karena Ronny itu ibarat seekor lalat, yang selalu terbang mengitari kotoran. Bukankah ini sangat cocok dengan kalian berdua?
Kata-kata itu meluncur deras dari bibir Dina, begitu memukul dan tak terbantahkan. Sejenak, udara di sekitar mereka terasa beku, seperti sebuah ruang yang penuh dengan ketegangan tak terucapkan. Tari terdiam, wajahnya memucat, matanya terbeliak, seakan tak bisa menerima kenyataan bahwa Dina bisa mengucapkan kata-kata seperti itu dengan begitu tenang.
Tari ingin membalas, ingin menyerang, tetapi tiba-tiba semuanya terasa hampa. Dina, yang selama ini selalu dianggap sebagai korban, sekarang justru berdiri di hadapannya, lebih kuat dan lebih tajam dari yang pernah ia bayangkan.
Tari, yang merasa dirinya tak bisa kalah, kini melangkah lebih jauh, sengaja mengguncang kedamaian yang masih tersisa dalam diri Dina. Dengan senyum penuh ancaman, dia berkata, "Kamu pikir ini selesai, Dina? Kalau kamu tidak bisa menjaga sikapmu padaku, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi pada Gio."
Kata-kata itu menggema di udara, seperti racun yang meresap perlahan dalam hati Dina. Betapa rendahnya Tari, sampai harus mengancam masa depan anak yang tak bersalah. Rasa marah yang menggelegak dalam dada Dina tidak bisa lagi ditahan.
Tanpa peringatan, Dina bergerak begitu cepat. Gerakannya seperti kilat yang tak terbendung. Dalam sekejap, sebuah tamparan keras melayang, mendarat di kedua pipi Tari. Suara pukulan itu menggema di ruangan yang hening, menciptakan keheningan yang tegang seolah dunia berhenti sejenak. Tari terhuyung, wajahnya memerah dan matanya terbeliak, terkejut oleh kekuatan yang tidak pernah ia duga dari Dina.
Dina tidak menunggu Tari untuk pulih. Dengan suara yang dalam dan tegas, Dina berkata, "Jangan pernah coba-coba mengancamku menggunakan anakku. Jika ada sesuatu yang buruk terjadi padanya, Tari... aku sendiri yang akan mengakhiri hidupmu dan Ronny dengan cara yang paling menyakitkan. Jangan uji kesabaranku lagi, karena itu adalah kesalahan terbesar yang bisa kamu buat."
Tari, meskipun berusaha menahan diri, merasakan getaran ketakutan yang baru pertama kali mengalir dalam dirinya. Dina bukan lagi sosok yang bisa dia permainkan. Wajah Tari berubah pucat, mulutnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar.
Dengan langkah yang mantap, Dina berbalik dan berjalan meninggalkan Tari yang masih terdiam di tempatnya.
...****************...
Mitha telah memantapkan dirinya untuk kembali menduduki kursinya sebagai direktur eksekutif di Sinar Grup. Selama bertahun-tahun dia menjauh dari dunia bisnis, dari keluarga Handoko, tapi sekarang waktunya telah tiba untuk mengambil kembali kendali yang dulu pernah dia pegang. Namun, sebelum langkah besar itu diambil, ada satu hal penting yang harus dia lakukan—mengunjungi ayah angkatnya, Johan, yang terbaring koma di rumah sakit.
Di pagi hari yang mendung, Mitha berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Suara sepatunya berderap pelan di lantai keramik, mengiringi perasaan yang bercampur antara kerinduan dan kesedihan. Ruangan di mana Johan dirawat terletak di ujung koridor, sepi dan jauh dari keramaian.
Ketika Mitha membuka pintu kamar tempat Johan dirawat, aroma antiseptik langsung menyeruak. Di dalam, Johan terbaring di atas ranjang rumah sakit, dikelilingi oleh berbagai alat medis yang terus berbunyi dengan irama yang monoton. Tubuhnya yang besar dan kuat dulu, sekarang terlihat rapuh di bawah selimut putih yang menyelimutinya.
Mitha mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidur. Perlahan, dia menggenggam tangan ayah angkatnya yang terkulai lemas di samping tubuhnya. Kehangatan yang dulu selalu ia rasakan dari tangan itu, kini seolah memudar.
"Papa..." suaranya pelan, nyaris berbisik. "Aku akan kembali ke perusahaan. Aku akan menjaga apa yang papa bangun. Tapi aku harap, papa bisa bangun dan lihat sendiri, kalau aku bisa. Aku tidak sendirian pa, aku bersama dengan kak Teddy pasti akan melindungi hasil kerja keras papa.
Dia menatap wajah Johan yang damai, meski tak bereaksi. Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata Mitha akhirnya jatuh, mengalir di pipinya. Mitha menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya.
"Aku janji, aku akan lakukan yang terbaik." Mitha berbisik sekali lagi, lalu melepaskan genggaman tangannya.
Setelah beberapa saat, Mitha bangkit berdiri, menatap ayahnya untuk terakhir kalinya sebelum melangkah pergi. "Cepat sembuh pa, aku rindu nasi goreng buatan papa" ucapnya pelan, sebelum berjalan keluar dari ruangan.
...***...
Di luar kamar, Teddy sudah menunggu. Dia menatap Mitha dengan sorot mata yang lebih serius, tatapannya berubah dari penuh harapan menjadi lebih berhati-hati. Dia menghela napas perlahan sebelum berbicara, seolah-olah kata-kata yang akan keluar mengandung berat yang harus dibagi kepada Mitha.
"Ada sesuatu lagi yang harus kamu tahu," Teddy membuka pembicaraan dengan nada pelan, namun tegas. "Ronny... sepertinya dia sudah tahu kalau kamu akan kembali menduduki posisimu di perusahaan."
Mitha langsung memandang Teddy, kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanyanya cepat. "Dari mana dia tahu?"
Wajar jika Mitha terkejut, selama ini dia sangat berhati-hati melakukan aktivitasnya, bahkan kedatangannya ke Indonesia pun dia lakukan secara mendadak tanpa memberitahu siapapun selaim Teddy tepat begitu dia tiba.
Teddy menggeleng pelan, "Aku belum tahu dari mana dia mendapatkan informasinya, tapi aku yakin dia sudah mulai bergerak." Tatapannya tajam, penuh kewaspadaan. "Ronny itu seperti ular, Mitha. Dia licin, dan dia punya mata di mana-mana. Tidak mungkin dia tidak bersiap."
Kata-kata Teddy menggantung di udara seperti kabut yang tak mudah dihalau. Mitha menghela napas, menatap lantai sejenak, lalu kembali menatap Teddy. "Apa yang dia rencanakan?"
"Sejauh ini aku belum tahu pasti," jawab Teddy, suaranya menurun seolah-olah dia tengah memikirkan berbagai kemungkinan. "Tapi aku yakin dia akan melakukan apapun untuk memastikan kamu tidak akan berhasil mengambil posisi itu kembali. Ronny mungkin mencoba melemahkan kamu dari dalam, atau bahkan menggunakan orang-orang di perusahaan untuk menjegal langkahmu."
Mitha menggertakkan giginya. Amarah mulai membara di dadanya. Dia sudah terlalu lama membiarkan Ronny berbuat seenaknya. Kali ini, dia tidak akan membiarkan kakak angkatnya itu menghancurkan jerih payah yang dibangun oleh Johan dengan darah dan air mata, serta menghancurkan keluarganya sendiri.
"Aku tidak akan membiarkan dia menghentikanku, Teddy," jawab Mitha dengan tegas. "Dia boleh saja menganggapku sebagai orang luar, karena aku memang hanyalah seorang anak angkat di keluarga ini, tapi dia juga harus menyadari posisinya sendiri di keluarga ini"
Teddy mengerutkan dahinya, heran dengan ucapan Mitha, "Apa maksudmu Mit?" tanya Teddy.
Mitha menggeleng cepat, "Bukan... Bukan apa-apa kak, kau tahu kan kalau Ronny selalu mengejekku sebagai anak haram yang dibuang orang tuanya ke panti asuhan. Jadi aku hanya berbicara sembarangan, tentang... Kau tahu... Ronny" kilahnya
Teddy menatapnya dengan rasa curiga, namun tidak berniat untuk mendesak lebih lanjut.
"Maafkan aku kak, aku sudah berjanji pada mama untuk merahasiakan ini dari siapapun. Aku tidak bisa memberitahumu... Tidak sekarang... Saat kondisinya belum stabil" pikir Mitha dalam hati.
Bersama-sama mereka berdua pun segera menuju ke gedung perusahaan Sinar Grup, dimana mereka akan memulai pertarungan diantara mereka.
Sungguh, tidak sedikit pun terbersit di pikiran Teddy, jika sesama saudara akan memperebutkan harta disaat kedua orang tua mereka masih hidup.
Kendati demikian, Teddy tidak bisa membiarkan Ronny memimpin perusahaan, dengan sikap dan tabiat Ronny yang buruk, dapat dipastikan jika Ronny hanya akan membawa kehancuran terhadap perusahaan yang sudah dibangun susah payah oleh ayahnya.
"Kak Ronny, maaf jika aku harus melakukan ini untuk melawanmu. Tapi, aku harus melakukannya. Ini demi keluarga kita" batin Teddy.
...***...
Kenapa Ny Inneke tak segera memberitahu jika dia hanya keponakan pak Johan/ anak sambung? Yang bisa mewarisi harta Pak Johan suatu saat nanti. Aku yakin Pak Johan sudah punya filing dan telah membuat surat wasiat. Untuk ketiga anaknya termasuk Ronny
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina