Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Konflik dengan Keluarga
Setelah insiden di taman, Aira pulang ke rumah dengan perasaan kacau. Di satu sisi, ia masih merasa kecewa dengan pengkhianatan Vino, dan di sisi lain, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang Raka dan Adrian. Namun, setibanya di rumah, ia segera menyadari bahwa masalah ini akan membawa lebih banyak komplikasi—bukan hanya dengan teman-temannya, tapi juga dengan keluarganya.
Saat ia membuka pintu rumah, sosok ayahnya, Pak Surya, sudah berdiri menunggunya di ruang tamu. Raut wajah ayahnya terlihat serius, bahkan sedikit marah.
"Aira, bisa kita bicara sekarang?" tanya Pak Surya tanpa basa-basi.
Aira menelan ludah, menyadari bahwa tidak ada pilihan lain selain menghadapi percakapan ini. Ia berjalan pelan, duduk di sofa di seberang ayahnya. "Ada apa, Yah?"
"Kamu tahu betul apa yang sedang terjadi, bukan? Aku mendapat kabar dari beberapa kolega bahwa kamu terlibat dalam masalah serius. Kamu dan… Raka," kata Pak Surya dengan nada yang jelas menunjukkan ketidaksenangan.
Aira menunduk, menyadari betapa ayahnya tidak pernah menyukai hubungannya dengan Raka. "Ayah, aku bisa menjelaskan… ini tidak seperti yang Ayah bayangkan."
"Menjelaskan apa, Aira? Kalau kamu bergaul dengan orang-orang yang membawa masalah, maka sudah jelas apa yang akan terjadi. Keluarga kita bisa hancur oleh reputasi buruk!" suara Pak Surya meninggi, membuat Aira tersentak.
"Raka bukan orang jahat, Ayah. Dia hanya terjebak dalam situasi yang rumit!" bantah Aira, suaranya bergetar antara amarah dan frustrasi.
Pak Surya menatap Aira dengan dingin. "Bukan orang jahat? Aira, keluarganya punya sejarah kelam. Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik itu semua. Ini bukan hanya tentang perasaan, ini soal keselamatan keluarga kita!"
Aira merasa tertekan. Ia mencengkeram kedua tangannya, mencoba meredam emosinya yang bergolak. "Ayah tidak bisa menilai seseorang hanya berdasarkan keluarganya. Raka berbeda. Dia punya hati yang baik."
"Hati yang baik tidak akan membuatmu berada dalam bahaya seperti ini!" sahut Pak Surya tajam. "Apa kamu tahu berapa banyak ancaman yang bisa menghampiri kita jika terus terlibat dengan mereka? Kamu masih muda, Aira. Kamu tidak mengerti risiko yang sebenarnya."
Aira merasa dadanya semakin sesak. Seolah kata-kata ayahnya menjadi tamparan yang keras. Namun, ia tahu dirinya tidak bisa diam saja. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia perjuangkan—bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang harga diri dan keberanian untuk melawan ketidakadilan.
"Ayah, aku sudah bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang aku rasakan, dan aku bisa menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Raka tidak pernah memintaku untuk ikut dalam masalahnya, aku memilih sendiri. Aku mau menolongnya karena aku percaya padanya," ucap Aira tegas, tatapannya menantang ayahnya.
Pak Surya terdiam sejenak, tampak kaget dengan keberanian putrinya. Namun, raut wajahnya kembali mengeras. "Aira, kamu harus ingat siapa dirimu. Jangan korbankan masa depan hanya karena perasaan sesaat. Jika kamu terus bersama Raka, Ayah tidak akan tinggal diam."
Aira menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. "Jadi, Ayah akan memaksaku untuk meninggalkan teman-temanku? Hanya demi menjaga reputasi keluarga ini?"
Pak Surya menghela napas panjang. "Ini bukan soal reputasi semata, tapi soal masa depanmu. Aku hanya ingin melindungimu dari pengaruh buruk, Aira."
Aira merasa jiwanya terkoyak. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Raka dan Adrian, tapi di sisi lain, ia tidak ingin mengecewakan ayahnya. Namun, suara hati kecilnya berkata bahwa ia harus memperjuangkan apa yang ia yakini benar.
"Ayah, aku tahu Ayah hanya ingin melindungiku. Tapi aku juga harus mengikuti kata hatiku. Aku tidak bisa hidup dalam ketakutan dan penyesalan hanya karena takut mengecewakan orang lain," ucapnya lirih tapi tegas.
Pak Surya menghela napas, tampak tak berdaya menghadapi keteguhan hati putrinya. Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar dari pintu masuk. Ternyata, Raka berdiri di sana, mendengarkan percakapan mereka.
"Permisi, Pak Surya. Saya tidak bermaksud mengganggu, tapi saya perlu berbicara dengan Anda," ucap Raka dengan suara tenang, namun sorot matanya penuh ketegasan.
Pak Surya memandang Raka dengan tatapan sinis. "Apa lagi yang ingin kamu katakan, Raka? Kamu sudah cukup membawa masalah bagi keluarga kami."
Raka tidak bergeming, ia tetap menatap Pak Surya dengan tatapan tulus. "Pak, saya tahu Anda tidak menyukai saya. Dan saya tidak akan memaksa Anda untuk mengubah pendapat Anda. Tapi saya ingin Anda tahu bahwa saya tidak akan membiarkan Aira terluka atau terlibat dalam bahaya karena saya."
Pak Surya menyipitkan matanya. "Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Raka? Kamu bahkan tidak bisa menjaga keluargamu sendiri dari masalah."
Raka menahan emosinya, berusaha tetap tenang. "Saya paham kekhawatiran Anda, Pak. Tapi, biarkan saya membuktikan bahwa saya bukan seperti yang Anda kira. Saya akan melakukan apa pun demi melindungi Aira dan keluarga Anda."
Pak Surya mendengus, tidak percaya. "Kata-kata saja tidak cukup, Raka. Kamu harus ingat bahwa ini bukan permainan. Jika sesuatu terjadi pada keluargaku, aku tidak akan memaafkanmu."
Aira merasa semakin sakit hati mendengar ketidakpercayaan ayahnya. Namun, ia tahu bahwa percakapan ini penting, bahwa ini adalah momen di mana ia harus menunjukkan bahwa ia mempercayai Raka sepenuhnya.
"Ayah, tolong dengarkan Raka. Dia tidak seperti yang Ayah pikirkan. Dia berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki keadaan, dan aku akan tetap mendukungnya," ucap Aira, menegaskan posisinya.
Pak Surya terdiam sejenak, mengamati raut wajah putrinya yang penuh keyakinan. Namun, akhirnya ia hanya menggelengkan kepala. "Kalau begitu, lakukanlah sesukamu, Aira. Tapi jangan pernah katakan bahwa Ayah tidak memperingatkanmu."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pak Surya berbalik dan meninggalkan mereka berdua di ruang tamu, meninggalkan keheningan yang menyakitkan di antara Aira dan Raka.
---
Setelah kepergian Pak Surya, Aira dan Raka duduk dalam keheningan yang penuh ketegangan. Raka tampak menunduk, seolah merasa bersalah atas konflik yang terjadi antara Aira dan ayahnya.
"Aira, aku minta maaf. Karena aku, kamu jadi harus berhadapan dengan keluargamu sendiri," ucap Raka dengan nada rendah.
Aira tersenyum tipis, berusaha meyakinkan Raka. "Tidak, Raka. Kamu tidak salah. Aku yang memilih jalan ini. Dan aku yakin dengan pilihanku."
Raka menghela napas, tampak masih ragu. "Tapi... aku tidak ingin melihatmu terluka karena ini. Aku tidak ingin kamu kehilangan hubungan baik dengan keluargamu."
"Raka, kamu harus tahu bahwa kadang, untuk mencapai sesuatu yang besar, kita memang harus berhadapan dengan hal-hal yang sulit. Ini mungkin tidak mudah, tapi aku yakin kita bisa melalui ini bersama," jawab Aira tegas, menggenggam tangan Raka untuk memberinya semangat.
Mata Raka berkilat, seakan menemukan secercah harapan dalam genggaman tangan Aira. Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, telepon Aira tiba-tiba berdering. Di layar, tertera nama Adrian.
"Aira, aku butuh bantuanmu. Situasi semakin rumit. Aku mendapat informasi baru tentang orang yang mengancam kita. Aku akan menemuimu di tempat biasa," kata Adrian dengan nada tegang di telepon.
Aira mengangguk, menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi masih jauh dari selesai. "Baik, Adrian. Aku akan segera ke sana bersama Raka."
Setelah mematikan telepon, Aira menoleh ke Raka. "Raka, Adrian butuh kita. Sepertinya kita harus mempersiapkan diri lebih baik lagi."
Raka mengangguk mantap. "Aku siap, Aira. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi ini bersama."
Dengan tekad yang bulat, mereka berdua segera menuju tempat pertemuan.