NovelToon NovelToon
Aku, Dia Dan Dunia Yang Salah

Aku, Dia Dan Dunia Yang Salah

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Beda Dunia
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Rendy Purnama

Kisah tentang cinta yang terjebak dalam tubuh yang berbeda setiap malam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rendy Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Antara Cinta dan Karier

Setelah pertemuan singkat namun penuh makna dengan Arya, aku merasakan energi baru. Hubungan jarak jauh ini memang bukan hal yang mudah, namun pertemuan kemarin membuatku semakin yakin bahwa cinta kami memiliki kekuatan untuk bertahan. Walaupun demikian, begitu kembali ke rutinitas sehari-hari, aku menyadari bahwa rindu itu kembali menyusup perlahan.

Arya kembali tenggelam dalam pekerjaannya, begitu pula denganku. Buku yang sedang kutulis kini semakin dekat dengan penyelesaian, dan publisher-ku semakin sering menanyakan progresnya. Setiap kali aku duduk di depan laptop, aku teringat pertemuan kami, seolah kehadirannya memberikan inspirasi baru dalam setiap paragraf yang kutulis.

Suatu hari, sebuah tawaran besar datang. Editor dari sebuah penerbit besar menghubungiku, menawarkan kesempatan untuk menerbitkan buku berikutnya dengan mereka. Tawaran itu tidak main-main—jika aku menerima, bukuku akan dipasarkan secara internasional. Ini adalah kesempatan besar yang selama ini aku impikan, namun konsekuensinya cukup berat: aku harus pindah ke kota lain untuk beberapa bulan, bekerja sama secara langsung dengan tim kreatif mereka.

Aku merasa ragu, mengingat hubungan jarak jauh yang sudah kurasakan cukup sulit saat ini. Bagaimana jika aku pergi dan jarak di antara kami semakin sulit dijembatani? Aku tahu Arya akan mendukung mimpiku, namun aku tidak ingin membuat hubungan ini semakin rumit.

Di sisi lain, aku juga tahu betapa pentingnya kesempatan ini untuk perkembangan karierku. Dalam hati, aku berbisik, "Apakah ini pilihan yang tepat?" Aku menghabiskan beberapa hari untuk merenung, mencari jawaban yang terasa benar.

Akhirnya, aku memutuskan untuk memberitahu Arya tentang tawaran tersebut. Kami berjanji untuk bertemu lewat video call malam itu, dan jantungku berdebar kencang ketika panggilan dimulai.

"Arya, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting," aku memulai dengan nada serius.

Arya tersenyum hangat. "Aku mendengarkan, apa yang terjadi?"

Aku menceritakan semuanya, mulai dari tawaran penerbit besar hingga syarat untuk pindah ke kota lain. Arya mendengarkan dengan seksama, tidak memotong pembicaraanku. Saat aku selesai, ia terdiam sejenak, seolah sedang memproses informasi yang baru saja kudapat.

"Ini kesempatan besar untukmu," katanya akhirnya, dengan nada yang dalam.

Aku menatap layar, melihat ekspresinya yang tenang. "Tapi Arya, aku khawatir tentang kita. Jika aku pergi, hubungan kita akan semakin sulit. Aku tidak ingin jarak ini membuat kita semakin jauh."

Arya menghela napas panjang, seolah sedang berpikir dalam. "Aku mengerti kekhawatiranmu. Namun, kita berdua tahu bahwa hidup ini tidak selalu tentang pilihan yang mudah. Kalau ini adalah impianmu, aku akan mendukungmu. Bukankah aku selalu bilang bahwa aku ingin melihatmu sukses?"

Kata-katanya membuatku terdiam. Selama ini, aku tahu Arya adalah sosok yang selalu memberikan dukungan, meski ia juga memiliki ambisi dan cita-citanya sendiri. Namun, kali ini aku melihat ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar dukungan.

"Apakah kamu benar-benar yakin, Arya?" tanyaku, masih merasa ragu.

Arya tersenyum tipis, matanya menatapku dengan penuh kelembutan. "Kita sudah sejauh ini, dan aku tidak ingin perasaan takut kehilangan membuat kita mengabaikan impian masing-masing. Aku tahu ini akan sulit, tetapi aku percaya kita bisa melaluinya."

Percakapan itu membuat hatiku merasa lega sekaligus berat. Aku tahu Arya tulus, namun aku juga menyadari bahwa keputusan ini akan menjadi ujian besar bagi hubungan kami. Dengan tekad bulat, aku akhirnya mengiyakan tawaran penerbit besar itu, berharap keputusan ini akan membawa hal baik, baik bagi karierku maupun hubungan kami.

Hari keberangkatanku pun tiba. Aku berangkat dengan perasaan campur aduk—bahagia karena kesempatan yang ada di depan mata, namun juga sedih karena harus meninggalkan Arya. Kami berjanji untuk terus menjaga komunikasi sebaik mungkin, walaupun aku tahu bahwa ada banyak hal tak terduga yang mungkin muncul di tengah perjalanan.

Di kota baru, hidupku berubah drastis. Aku tenggelam dalam rutinitas yang penuh tekanan, bekerja dengan deadline yang ketat dan tim kreatif yang menuntut kualitas terbaik. Aku mulai merasakan beratnya tantangan di industri ini, namun setiap kali aku merasa lelah, aku mengingat Arya dan dukungan yang selalu ia berikan.

Kami tetap berhubungan setiap hari, meskipun tidak selalu bisa berbicara lama. Pesan-pesan singkat dan panggilan video sesekali menjadi cara kami untuk menjaga cinta yang ada. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan jarak emosional yang semakin melebar. Kesibukan membuatku sulit meluangkan waktu untuk berbicara dengan Arya seperti dulu. Aku mulai kehilangan momen-momen kecil yang dulu selalu kami bagikan.

Suatu malam, ketika akhirnya aku punya waktu luang, aku memutuskan untuk menghubungi Arya. Namun, panggilan itu tidak segera diangkat. Beberapa saat kemudian, ia membalas dengan pesan singkat, "Maaf, aku sedang ada urusan penting. Aku akan menghubungimu nanti."

Aku merasa cemas. Arya jarang sekali tidak mengangkat teleponku, apalagi tanpa penjelasan lebih lanjut. Pikiran-pikiran buruk mulai bermunculan, tetapi aku mencoba mengesampingkannya. Mungkin ia benar-benar sibuk, pikirku. Namun, kecemasan itu tak kunjung reda.

Hari-hari berikutnya, komunikasi kami semakin jarang. Ada kalanya Arya tidak membalas pesan selama beberapa jam, bahkan seharian. Aku merasa terabaikan, namun aku juga sadar bahwa aku pun telah sibuk dan mungkin membuat Arya merasa kesepian.

Suatu malam, aku memutuskan untuk menulis pesan panjang untuk Arya, menjelaskan semua perasaanku dan kecemasan yang kian menghantui. Aku berharap, dengan jujur menyampaikan perasaan ini, kami bisa menemukan cara untuk memperbaiki hubungan yang terasa renggang.

"Aku rindu dengan hubungan kita yang dulu, Arya," tulisku dalam pesan itu. "Aku tahu bahwa kita berdua sedang berjuang mencapai impian masing-masing, tapi aku tidak ingin cinta kita semakin terkikis oleh jarak dan kesibukan."

Pesan itu kubiarkan terkirim, tanpa menanti balasan segera. Namun, beberapa saat kemudian, ponselku bergetar dan pesan Arya muncul di layar.

"Aku juga merasakan hal yang sama," balasnya. "Maafkan aku jika beberapa waktu belakangan ini aku terlihat cuek. Aku sedang menghadapi banyak hal yang juga membuatku tertekan."

Jawabannya membuatku lega sekaligus penasaran. Aku membalas dengan pertanyaan, "Apa yang sebenarnya terjadi, Arya? Kamu bisa cerita padaku."

Beberapa detik kemudian, panggilan telepon masuk, dan suara Arya terdengar di ujung sana, terdengar sedikit serak. "Aku merasa sedikit kewalahan dengan pekerjaanku, ditambah lagi keluarga juga membutuhkan perhatianku. Ada banyak hal yang terjadi, dan aku merasa sulit untuk menjaga keseimbangan."

Kami berbicara panjang lebar malam itu, membuka semua beban yang selama ini kami simpan sendiri. Aku menyadari betapa pentingnya komunikasi dalam hubungan ini. Ketika kami berdua sibuk mengejar impian masing-masing, kami lupa bahwa terkadang, berhenti sejenak dan saling mendengarkan bisa menjadi kunci untuk mempertahankan hubungan.

Percakapan itu memberi kami kelegaan, dan meskipun jarak masih memisahkan, perasaan hangat yang dulu kembali hadir. Kami berjanji untuk lebih sering saling memberi kabar, meskipun hanya sekadar pesan singkat.

Beberapa minggu kemudian, bukuku akhirnya selesai. Dengan perasaan lega dan bangga, aku menyerahkan naskah terakhir kepada penerbit. Perjalanan ini begitu penuh dengan tantangan, namun akhirnya aku berhasil menyelesaikan langkah besar ini. Aku segera menghubungi Arya untuk berbagi kabar bahagia ini, dan ia merespons dengan penuh antusiasme.

"Aku tahu kamu bisa melakukannya!" katanya dengan penuh kebanggaan.

Aku tertawa, merasakan kebahagiaan yang tak tergambarkan. "Semua ini juga berkat dukunganmu, Arya. Aku tak sabar untuk segera pulang dan menceritakan semua ini padamu secara langsung."

Rencana untuk kembali ke kota dan bertemu Arya menjadi semacam tujuan baru bagiku. Kami merencanakan pertemuan itu dengan begitu antusias, dan kali ini, kami berdua sepakat untuk menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan apapun. Aku ingin menunjukkan pada Arya betapa besar rasa terima kasihku untuk segala dukungannya, meskipun jarak dan waktu sering menjadi penghalang.

Hari itu akhirnya tiba. Saat aku turun dari kereta, Arya sudah menunggu di peron, senyumnya merekah seperti matahari pagi. Tanpa ragu, kami saling memeluk, membiarkan semua rindu yang tertahan mengalir dalam keheningan.

"Kamu telah berjuang dengan baik," bisik Arya di telingaku.

Aku tersenyum, merasakan kedamaian yang

tak tergantikan. "Kita berdua telah berjuang."

Hari-hari yang kami habiskan bersama menjadi waktu yang begitu berharga, seperti pengingat bahwa meskipun hidup ini penuh dengan tantangan, cinta yang tulus mampu mengatasi segalanya. Kami sadar bahwa perjalanan kami masih panjang, dan mungkin masih akan ada banyak ujian di depan. Namun, kami berdua berjanji untuk tetap berusaha, bersama-sama menggenggam cinta dan karier, tanpa pernah menyerah.

Di tengah segala kesibukan dan impian yang kami kejar, kami menemukan cara untuk selalu kembali pada satu sama lain, menjadikan cinta ini sebagai pondasi yang kuat dalam menghadapi dunia.

1
Iolanthe
Jangan ditinggal nggak jelas thor, kami semua sudah mulai ketagihan nih
+sakuran+
Ceritanya sangat menyentuh hati, jangan berhenti menulis thor!
Rendy Purnama: makasii ya ka sakuran
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!