Di sebuah SMA ternama di kota kecil, siswa-siswi kelas 12 tengah bersiap menghadapi ujian akhir. Namun, rencana mereka terganggu ketika sekolah mengumumkan program perjodohan untuk menciptakan ikatan antar siswa. Setiap siswa akan dipasangkan dengan teman sekelasnya berdasarkan kesamaan minat dan nilai akademis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYANOKOUJI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
Hari-hari berikutnya, aku dan Putri semakin dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kehadiran Putri membuat hariku lebih berwarna. Namun, tanpa kusadari, kedekatan kami mulai menimbulkan berbagai reaksi dari teman-teman sekelas.
Suatu hari, saat aku sedang berjalan menuju kantin, Reza menghadangku.
"Hei Andi, kamu nggak apa-apa tuh deket sama Putri?" tanyanya dengan nada sinis.
Aku mengernyitkan dahi, "Maksudmu?"
Reza tersenyum mengejek, "Jangan ge-er dulu. Putri itu cuma numpang nebeng sama kamu doang. Mana mungkin cewek secantik dan sekaya dia mau sama cowok biasa kayak kamu."
Ucapan Reza membuatku terdiam. Meski tidak ingin mengakuinya, ada sebagian diriku yang merasa ragu. Apakah benar Putri hanya memanfaatkanku?
Keraguan itu semakin bertambah ketika aku melihat Putri sedang berbicara akrab dengan Fariz, ketua OSIS sekolah kami yang terkenal pintar dan tampan. Mereka tampak asyik berdiskusi di perpustakaan. Entah mengapa, ada rasa cemburu yang muncul di hatiku.
"Andi, kamu kenapa? Kok murung?" tanya Dimas saat kami sedang makan siang bersama.
Aku menghela nafas, "Nggak apa-apa kok."
Dimas menatapku curiga, "Pasti ada hubungannya sama Putri ya? Aku lihat tadi dia ngobrol sama Fariz."
Aku hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Udah, jangan diambil hati. Putri kan memang populer, wajar kalau banyak yang mendekatinya," ujar Dimas mencoba menghibur.
Meski begitu, aku tetap tidak bisa menghilangkan perasaan gelisah di hatiku. Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk bicara langsung dengan Putri.
"Putri, bisa bicara sebentar?" tanyaku saat melihatnya hendak pulang.
Putri mengangguk, "Tentu. Ada apa, Andi?"
Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara, "Aku... aku cuma mau tanya. Apa benar kamu cuma numpang nebeng sama aku? Maksudku, apa kamu nggak risih deket sama aku yang biasa-biasa aja ini?"
Putri tampak terkejut mendengar pertanyaanku. Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum lembut.
"Andi, kenapa kamu berpikir seperti itu? Aku tulus kok berteman denganmu. Kamu orang yang baik dan menyenangkan. Aku nyaman bersamamu," jawab Putri dengan tulus.
Mendengar jawabannya, ada perasaan lega yang muncul di hatiku. Namun, aku masih penasaran dengan satu hal.
"Lalu... bagaimana dengan Fariz? Kulihat kalian akrab sekali tadi," tanyaku ragu-ragu.
Putri tertawa kecil, "Oh, itu. Kami cuma membicarakan rencana festival sekolah kok. Fariz memintaku bergabung dengan panitia acara."
Aku merasa malu karena telah berprasangka buruk. "Maaf, Putri. Aku... aku cuma..."
Putri menyentuh lenganku lembut, "Tidak apa-apa, Andi. Aku mengerti. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Bagiku, kamu adalah teman spesial."
Kata-kata Putri membuatku tersenyum lega. Kami pun berjalan pulang bersama seperti biasa, dengan perasaan yang lebih ringan.
Namun, ternyata masalah tidak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, aku mendengar bisik-bisik dari beberapa teman sekelas.
"Eh, lihat tuh si Andi. Sok banget ya deket-deket sama Putri," ujar salah seorang dari mereka.
"Iya, pasti dia cuma numpang tenar doang," timpal yang lain.
Aku berusaha tidak menghiraukan ucapan mereka, tapi tetap saja ada rasa sakit yang menyelinap di hatiku. Apakah benar aku hanya memanfaatkan Putri untuk terkenal?
Saat istirahat, Putri menghampiriku dengan wajah cemas. "Andi, kamu baik-baik saja? Aku dengar ada yang membicarakanmu."
Aku tersenyum paksa, "Tidak apa-apa, Putri. Biarkan saja mereka."
Putri menggeleng, "Tidak bisa begitu, Andi. Kita harus meluruskan kesalahpahaman ini."
Tanpa kuduga, Putri tiba-tiba berdiri dan berkata dengan suara lantang di depan kelas, "Teman-teman, aku ingin kalian tahu bahwa Andi adalah sahabat terbaikku. Dia orang yang baik dan tulus. Tolong jangan menyebarkan gosip yang tidak benar tentangnya."
Semua orang di kelas terdiam, termasuk aku yang terkejut dengan tindakan Putri. Beberapa anak mulai berbisik-bisik, tapi kali ini dengan nada yang berbeda.
"Wah, ternyata Putri benar-benar peduli sama Andi ya," ujar salah seorang dari mereka.
Setelah kejadian itu, gosip tentang kami mulai mereda. Bahkan beberapa teman mulai bersikap lebih ramah padaku. Aku merasa sangat berterima kasih pada Putri.
"Terima kasih ya, Putri. Kamu tidak perlu melakukan itu," ujarku saat kami sedang berjalan pulang.
Putri tersenyum, "Itu sudah kewajibanku sebagai teman. Lagipula, aku tidak suka melihatmu diperlakukan tidak adil."
Hari-hari berikutnya berlalu dengan lebih tenang. Aku dan Putri semakin dekat, dan teman-teman sekelas pun mulai menerima persahabatan kami. Bahkan Reza, yang awalnya sinis, mulai bersikap lebih baik.
Suatu hari, saat festival sekolah tiba, aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku pada Putri. Aku mengajaknya ke taman belakang sekolah yang sepi.
"Putri, ada yang ingin kukatakan padamu," ujarku dengan jantung berdebar.
Putri menatapku penuh tanya, "Ada apa, Andi?"
Aku menarik nafas dalam-dalam, "Putri, aku... aku menyukaimu. Bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari