Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEHIDUPAN KEDUA?
Laina merasa dipeluk oleh kehangatan yang nyaman. Benar-benar hangat dan menenangkan. Bahkan terasa aman dan menentramkan. Bukankah ini aneh? Rasanya begitu asing namun membuatnya ketagihan. Namun kedamaian yang dia rasakan dalam pelukan itu, tak bisa bertahan lama, seiring dengan kesadarannya yang menjadi utuh.
Potongan-potongan kejadian terakhir yang dia ingat, menyerangnya dengan rasa sakit, ketakutan, dan rasa sesak di dada yang semakin menyakitkan seiring berjalannya waktu. Laina terengah, berusaha bernafas meski rasanya menyakitkan. Seakan tak ada lagi udara di sekitarnya untuk dihirup. Tangannya mencengkeram apa pun yang ada di dekatnya, berusaha menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya yang kini menggigil tak terkendali.
“Aaagghh” Laina berusaha mengatakan sesuatu dengan tenggorokan yang panas dan mulut sangat kering. Rasa sakit dari tenggorokan dan dadanya menyerang lebih kuat.
“Tenanglah, tidak apa-apa. Semua baik-baik saja sekarang.” Laina mendengar suara seorang pria di telinganya. Suaranya bernada rendah dan tegas, namun mengirimkan rasa aman padanya. Lalu ada tangan besar dan kasar yang mengusap wajahnya, tapi Laina justru merasakan kelembutan dari setiap sentuhan itu. Kemudian di punggungnya, Laina merasakan sebuah rangkulan erat dan hangat, dengan tepukan lembut yang terasa seperti irama sebuah lagu pengantar tidur. Meski air matanya menetes, Laina merasa lebih tenang, dan rasa sakitnya perlahan memudar.
“Sekarang, semuanya baik-baik saja. Tenanglah. Tidak apa-apa. Ada aku di sini. Kau sekarang aman. Kau sekarang baik-baik saja.” bisikan pria yang sedang memeluknya, membuat Laina terbuai dalam ketenangan yang tak pernah dia rasakan seumur hidup.
Di balik selimutnya, Azkan merengkuh tubuh mungil Laina dengan kelembutan yang tak pernah dia sadari, ada dalam dirinya. Dia emmperhatikan raut wajah Laina yang tak lagi pucat dan kerutan di keningnya yang sudah menghilang sempurna. Dengan ibu jarinya, dia mengusap air mata di wajah Laina.
“Bangunlah,” suara Azkan terdengar lembut bahkan di telinganya sendiri.
Azkan menarik mundur sedikit kepalanya supaya bisa menatap wajah perempuan yang sedang dia peluk dengan lebih jelas. Apa yang telah kau alami sebenarnya? Rasa ingin tahu Azkan tumbuh begitu besar dalam semalam.
“Kau sudah bangun?” kedua mata Azkan yang berwarna biru bertatapan dengan sepasang mata perempuan itu yang ternyata juga berwarna biru. Azkan tersentak, terkejut pada betapa indahnya kedua mata yang dia tatap sekarang. Dia langsung teringat pada pantulan sinar matahari di atas lautan lepas tempatnya memelihara paus besar kiriman Sang Dewa.
Berbeda dari Azkan yang merasa lega setelah melihat perempuan dalam pelukannya sudah bangun dari tidur, sang perempuan itu, justru merasa takut dalam keterkejutannya.
Laina mendorong tubuh Azkan menjauh darinya, lalu dia segera bangun dari tempat tidur, dan terkejut menyadari pakaian yang menempel ditubuhnya, bukanlah miliknya. Dia yakin, tak pernah memiliki gaun putih lembut yang nyaman dipakai seperti ini.
“Dimana aku? Siapa kau?” suara Laina serak karena tenggorokannya sakit dan bergetar hebat bersamaan dengan tubuhnya yang gemetar tak terkendali.
“Tenanglah. Ini tempat yang aman untukmu. Aku Azkan. Ini kastil pribadiku. Tepatnya, kamar pribadiku. Kau bisa ada di sini, karena semalam kau datang ke sini dengan diantar oleh sepasang sayap malaikat.” Azkan menjawab pertanyaan Laina dengan tenang meski dia bisa melihat kalau Laina tak mempercayai satu pun penjelasannya.
“Apa kau penipu? Apa maksudmu dengan kastil dan sayap malaikat? Lalu jelas-jelas pakaianku berbeda. Kau pasti baru saja melakukan hal buruk padaku kan?!!” Laina berteriak dengan suara serak yang semakin menyakiti tenggorokannya.
Kemudian rasa marah muncul dalam dirinya. Laina ingat, semalam, dia sedang berhadapan dengan pria paling brengsek di hidupnya. Seorang pria berusia akhir tiga puluhan yang sangat tampan, mempesona, dan kaya, tapi brengsek. Pria itu adalah atasannya di tempat kerja dan sudah berkali-kali pria itu mengajaknya untuk datang ke hotel berdua dengan berbagai alasan menggunakan pekerjaan. Kali terakhir, pria itu memakai kontrak kerjanya sebagai ancaman. Akhirnya Laina datang karena dia sangat membutuhkan pekerjaan itu untuk bertahan hidup. Tak disangka, saat datang dengan alasan menandatangani kontrak kerja sebagai pegawai tetap, Laina harus melihat tubuh pria itu yang tak mengenakan sehelai kain pun.
Tentu saja Laina tak lagi menginginkan kontrak kerja yang ditawarkan. Dia sudah muak hingga ingin menendang bagian tengah tubuh atasannya itu sekeras mungkin hingga menimbulkan kecacatan. Namun hal lain yang lebih mengejutkannya adalah, muncul seorang perempuan dari dalam kamar hotel pria itu, yang sangat dikenal oleh Laina. Ibunya sendiri. Ibu yang dulu meninggalkannya di panti asuhan karena memilih untuk mencari pacar kaya yang bisa menggantikan ayahnya. Ibunya tak pernah muncul di hidupnya sejak dia kecil, hingga beberapa bulan yang lalu, ketika Laina sudah berusia dua puluh lima tahun dan bekerja di sebuah perusahaan besar. Perusahaan milik pria brengsek yang mengundangnya ke kamar hotel untuk menandatangani kontrak kerja sekarang ini.
Perasaan Laina campur aduk dengan segala pertanyaan dan pikiran tak masuk akal yang bermunculan tak terkendali. Ibunya hanya mengenakan gaun mandi hotel. Laina yakin, tak ada pakaian lain di balik gaun itu. Lalu atasannya yang brengsek ini, telanjang bulat tanpa rasa malu, berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebar.
“Laina!” ibunya menyapa dengan senyuman cerah.
“Perkenalkan, ini ayahmu. Ayah kandungmu. Dulu, ketika hamil, dia pergi ke luar negeri untuk memulai bisnis dan meninggalkan ibu tanpa kabar. Makanya ibu menjadi kacau lalu menitipkanmu di panti asuhan. Setelah dua puluh lima tahun, akhirnya ibu bisa bertemu lagi dengan ayahmu. Ternyata sekarang, dia sudah sukses dan sangat kaya.” tawa bahagia ibu Laina, membuatnya muak. Apa dia tak sadar, pria yang dia perkenalkan sebagai ayahku ini sedang berdiri telanjang?”
“Ah! Sayang! pakai bajumu. Ada Laina di sini.” dengan tanpa tahu malu, ibunya meraih lengan atasan brengsek yang ternyata ayahnya, lalu menariknya masuk ke dalam kamar.
Laina terbakar rasa marah dan muak, hingga tak bisa berkata apa pun di hadapan dua orang yang tak tahu malu itu. Hingga dia mendengar kata-kata atasan brengseknya, “Benarkah dia anak kandungku?” lalu suara ibunya yang memuakkan karena dibuat senada lebih tinggi agar terdengar imut, menjawab sambil terkekeh tak tahu malu, “Tentu saja. Aku hanya pernah hamil sekali dan itu karena perbuatanmu malam itu. Aku melahirkannya karena mengingatmu yang begitu tampan dan mempesona. Aku menunggumu kembali tapi ternyata butuh waktu lama bagimu untuk kembali ke sini dan bisa bersamaku lagi seperti sekarang. Kau masih sangat tampan dan tidak bertambah tua. Sedangkan aku sekarang, terlihat lebih tua darimu.” Laina bisa membayangkan dengan jelas di dalam kepalanya, godaan menjijikkan seperti apa yang dilakukan ibunya di dalam kamar itu, kepada pria brengsek yang ternyata adalah ayahnya.
“Ash sial!” Umpatan pria brengsek itu terdengar sungguh-sungguh.
“Kenapa sayang? Kau tidak suka punya anak perempuan? Padahal dia sangat cantik apalagi dengan mata birunya yang mirip denganmu.” suara ibu Laina masih dibuat senada lebih tinggi dan terdengar semakin memuakkan di telinga Laina.
“Justru itu! Dia sangat cantik! Tubuhnya juga sangat bagus!”
“Lalu apa masalahnya?”
“Aku menginginkan tubuhnya. Bukan sebagai anakku. Tapi sebagai seorang perempuan.” kata-kata terakhir yang didengar Laina, mengirimkan rasa marah tak terkendali hingga dadanya rasanya akan meledak sekarang juga.
Laina melihat sebuah pisau di meja makan. Saus steak menempel di beberapa sisi pisau itu. Dia meraihnya tanpa ragu. Dengan keberanian dan keyakinan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, dia membuka pintu kamar kedua orang menjijikkan itu, melihat ayah brengseknya masih tidak mengenakan apa pun, Laina berjalan mendekatinya, menghampirinya hingga jarak di antara mereka hampir tak ada, dengan menatap langsung ke sepasang mata yang mirip dengan miliknya, dia menusuk perut pria itu hingga seluruh mata pisau masuk ke dalam tubuhnya.
“LAINA!!!! ASTAGA!!! KAU GILA YA!!!!”” rambut Laina ditarik dengan kasar hingga tubuhnya terjengkang ke belakang, dan terjatuh di lantai dengan suara keras. Ibunya, ibu kandungnya, yang mengandung dan melahirkannya, menendangnya sekuat tenaga hingga dia bisa mendengar suara tulang patah di dadanya. Lalu, ibunya dengan panik menghampiri ayah brengseknya yang bersimbah darah di atas tempat tidur.
“Sayang, bertahanlah. Aku akan memanggil ambulance. Kau akan baik-baik saja sayang. Kita baru bisa bersatu lagi. Aku tidak akan membiarkanmu mati. Aku ingin bersamamu lagi seperti dulu. Sayang, bertahanlah. Tetaplah sadar.” Laina menyunggingkan senyum penuh hinaan pada apa yang dia dengar.
“Kau, …” Laina berusaha bangun, meraih botol alkohol di lantai dekatnya tersungkur. “Kau tidak layak disebut sebagai seorang ibu. Aku muak dan malu menjadi anak kalian.” Laina berhasil berdiri meski harus menahan rasa sakit di dadanya yang mulai sesak ketika bernafas. “Seharusnya, kau tidak pernah melahirkanku.” Ibunya masih tak peduli padanya yang kini sudah berdiri di dekat tempat tidur mereka.
PRANG!!!
Ketika Laina memecahkan bagian bawah botol kaca yang dia pegang dengan memukulkannya sekuat tenaga di atas meja, barulah ibunya menoleh, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.
“SEHARUSNYA KAU TIDAK PERNAH MELAHIRKANKU! AKU TIDAK MAU HIDUP DI DUNIA INI SEBAGAI ANAKMU DAN PRIA BRENGSEK ITU!!!!” Laina menerjang ibunya yang tak siap, lalu menusuk leher ibunya dengan pecahan botol di tangannya. Tak perlu usaha keras bagi Laina, karena ibunya adalah perempuan tua yang sudah lemah. Usianya sekarang sudah empat puluhan dan kegiatan olahraganya hanyalah melayani pacar-pacar kayanya yang berganti tiap waktu.
Setelah melihat ibunya kesakitan menahan luka dengan darah mengalir, Laina menarik tubuhnya menjauh. Dia melihat dua orang yang seharusnya menjadi orang tuanya, berlumuran dari di atas tempat tidur. Keduanya sekarang terlihat sekarat karena perbuatannya. Tubuh Laina gemetaran. Dia sudah benar-benar muak pada semuanya. Apalagi pada takdir hidupnya.
“Kalau memang ada Tuhan di dunia ini, kalau memang Tuhan yang menciptakanku sebagai manusia dan anak kalian, sekarang juga, aku mau menunjukkan pada Tuhan yang begitu tidak adil itu, kalau aku mengakhiri hidupku sendiri karena aku tidak mau menerima takdir Tuhan yang seenaknya membuatku hidup dari dua orang brengsek seperti kalian. Aku mau menunjukkan pada Tuhan yang selalu dibicarakan manusia, kalau aku bisa menentukan takdirku sendiri. Aku bisa memilih untuk hidup atau tidak.” Lalu dengan seluruh keputusasaan dan rasa muaknya pada hidup, Laina menusuk urat nadi di lehernya dengan pecahan botol yang masih berlumuran darah ibunya. Akhirnya, darah ibu dan anak menyatu dalam kematian. Laina tak mempedulikan rasa sakitnya, dan terus menusuk sedalam mungkin, sambil memejamkan mata. Air matanya menetes di saat dia mulai tak sanggup bernafas. Tuhan apa Kau benar-benar ada?
Sekarang, dia berdiri di dalam sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabotan dari kayu yang didesain indah, bersama seorang pria tinggi, besar, tampan, dan besuara rendah yang serak. Apa yang masuk akal dari keadaan ini?
“Tenanglah,” Azkan menyibakkan selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur sambil mengikat tali piyamanya, yang hanya berhasil menutupi bagian bawah tubuhnya. Laina bisa melihat dada telanjang Azkan yang berotot dan dihiasi beberapa bekas luka.
“Jangan mendekat!” Laina mundur selangkah ketika Azkan maju selangkah menghampirinya.
“Aku bukan orang jahat. Aku ada di sini, untuk melindungimu dan merawatmu. Kau sudah melewati kematian. Aku tahu, ingatan terakhir yang kau ingat, pasti mengejutkanmu karena tidak sesuai dengan tempatmu berada sekarang. Tapi, aku bisa menjelaskan semuanya. Asalkan kau mau tenang, dan percaya padaku.” Kata-kata Azkan mengenai kematian, menghentikan langkah mundur Laina.
“Jadi, benar kalau aku sudah mati kan?” Azkan menganggukkan kepalanya sambil menatap lembut Laina yang masih gemetaran. Melihat rasa was-was Laina padanya berkurang, Azkan menghampiri Laina dalam tiga langkah panjang, lalu merengkuhnya dalam pelukannya. Dia sendiri terkejut menyadari tindakannya barusan. Sejak kapan aku begitu ingin melindungi seseorang dan dia seorang perempuan? Kenapa dengan perempuan yang bahkan belum kutahu namanya ini, aku bisa dengan mudah melakukan kontak fisikseperti ini?
“Tenangkan dirimu dulu. Semuanya baik-baik saja sekarang. Apa pun yang kau ingat sekarang, itu adalah masa lalumu. Akhir dari hidupmu. Sekarang, kau tak lagi terikat dengan kenangan itu sedikitpun. Sekarang, kau sedang menjalani kesempatan kedua yang diberikan Sang Dewa padamu.” Azkan mengelus-elus punggung Laina hingga gemetarannya berhenti sambil menjelaskan keadaannya sekarang, semudah mungkin.
“Sekarang, kau ada di Pulau Asa.” Azkan meletakkan kedua tangannya di atas pundak Laina, menatapnya sambil melanjutkan penjelasannya, “Ini adalah tempat yang tidak bisa dilihat oleh manusia lain yang masih hidup di dunia luar. Kau bisa ada di sini, karena jiwamu begitu putus asa dan memutuskan untuk mengakhiri hidupmu sendiri. Ini adalah tempat yang diberikan Dewa kepada orang-orang yang mengalami hal-hal sangat buruk di hidup mereka hingga jiwa mereka terluka, dan akhirnya, tak sanggup bertahan hidup. Jiwa-jiwa itu, mereka meninggal dengan cara yang memilukan. Tugasku, sebagai penjaga pulau ini, adalah mendampingi kalian semua, hingga jiwa kalian pulih dan siap untuk mengambil keputusan untuk kehidupan kedua kalian. Pilihannya adalah, kalian boleh memulai hidup baru di pulau ini sebagai penduduk pulau hingga waktu hidup kalian berakhir, atau kalian bisa kembali ke dunia luar, menjalani satu kehidupan baru yang jauh lebih baik dari yang sebelumnya.”
“Jadi, sekarang ini, aku arwah gentayangan?” pertanyaan Laina menumbuhkan senyuman di wajah Azkan.
“Bukan.” Azkan menggeleng. “Kau adalah manusia seutuhnya. Hanya saja, kau hidup di dimensi yang lain. Berbeda dari dunia tempatmu hidup sebelumnya. Di sini, tempat jiwamu memulihkan diri.” Azkan merapikan rambut panjang Laina yang berantakan menutupi sebagian wajahnya.
“Siapa namamu?” Azkan bisa melihat kalau Laina masih belum sepenuhnya memahami penjelasannya. Semua orang yang datang ke Pulau Asa juga seperti itu. Menjalani kehidupan di dunia yang berbeda setelah meninggal, bukanlah hal yang bisa dipahami dalam waktu singkat.
“Laina.”
“Laina,” ulang Azkan sambil tersenyum. “Namamu indah.”
“Terima kasih.” Laina tak tahu harus merespon seperti apa di tengah situasi seperti ini.
“Kau masih ingat siapa namaku?” Azkan ingin memulai lagi perkenalan mereka yang sempat tertunda.
“Azkan?” Laina menatap Azkan dengan tatapan mata yang jernih. Hal itu, menghangatkan hati Azkan yang kini berdiri bersedekap selangkah darinya.
“Ya. Namaku Azkan. Semua orang di pulau ini memanggilku begitu. Kau bisa memanggilku Az.”
“Az.” Laina mengucapkan nama Azkan dengan suaranya yang masih serak dan tenggorokkannya yang masih sakit. Azkan berjalan menuju pintu kamarnya sambil terus berbicara, “Aku akan memanggil dokter untuk memeriksa kondisimu. Sekarang, kau bisa sarapan dulu. Armana pasti sudah menyiapkan sarapan untuk kita di ruang makan. Semalam, sebenarnya aku ingin memberimu makanan hangat, tapi kau tidak sadarkan diri hingga pagi. Jadi, makanan itu sudah dingin.” Azkan menunjuk senampan makanan yang tak tersentuh di meja kamarnya.
Pandangan Laina mengikuti punggung Azkan yang berjalan melewatinya menuju pintu kamar, dan melihat nampan makanan yang ditunjuk Azkan, tepat di meja di sisi pintu masuk. Di sana juga ada sebuah sofa panjang yang terlihat sangat empuk.
“Ayo,” Azkan berdiri di ambang pintu, hendak membuka pintu untuk Laina.
“Kemana?” tanyanya polos.
“Sarapan. Aku sudah lapar sekali. Kau tidak lapar? Semalam kau tidak makan apa pun.” Azkan menunggu Laina menghampirinya dengan kedua kakinya yang telanjang, tanpa alas kaki.
“Tunggu,” Azkan mengambil sepasang sandal rumah yang empuk dan lembut di rak sepatu di sisi lain pintu masuk kamarnya, lalu berjongkok di hadapan Laina, memakaikan sandal itu di kedua kaki Laina yang terasa dingin karena bersentuhan langsung dengan lantai kastilnya. Azkan segera mengingatkan dirinya untuk meminta Armana menyalakan penghangat ruangan.
“Ah, terima kasih.” Laina tak terbiasa dengan perlakuan yang memanjakan seperti ini. Sentuhan dan pelukan hangat Azkan juga bukan hal biasa baginya. Tapi anehnya, dia merasa nyaman di tengah segala sesuatu yang asing baginya.
“Sekarang, ayo kita ke ruang makan.” Azkan mengulurkan tangannya, menggandeng tangan Laina sambil berjalan bersamanya.
“Boleh aku bertanya?” Laina berusaha mengimbangi langkah Azkan yang lebar dengan kedua kakinya yang lebih pendek.
“Boleh.” Azkan memperkecil jangkauan langkahnya.
“Darimana aku mendapat gaun ini?” Laina memegang gaunnya yang terasa lembut.
“Aku yang memakaikannya untukmu semalam. Ketika sampai di sini, pakaianmu basah. Kau juga tidak sadarkan diri. Kalau aku tidak mengganti pakaianmu, sekarang kau pasti sedang demam tinggi.”
“APA?!”