AZKAN THE GUARDIAN
Semua pintu dan jendela rumah tertutup rapat. Tak ada seorang pun yang terlihat di jalanan atau di luar rumah. Mereka semua berlindung di dalam rumah dengan persediaan yang sudah mereka siapkan sebelumnya. Badai seratus tahun ini, bukan badai biasa. Meski angin dan hujan terus menderu seakan bisa menghancurkan seluruh pulau, tapi tak sedikitpun bangunan di Pulau Asa yang rusak. Berada di dalam rumah masing-masing, adalah hal terbaik yang bsia dilakukan semua orang untuk melindungi diri. Kecuali bagi para prajurit Pulau Asa yang justru harus berjaga di sekeliling pulau, menunggu kedatangan sang Perempuan Pilihan.
Ini adalah Perempuan Pilihan ke-8 yang dikirimkan Sang Dewa untuk Azkan, Sang Penjaga Pulau Asa. Berbeda dari Azkan yang tak lagi mengharapkan apa pun dari perempuan yang akan datang, para penduduk pulau serta para prajurit yang selalu berada di dekat Azkan, justru berharap bahwa perempuan ke-8 yang akan datang, adalah seorang perempuan yang spesial. Mereka semua, berharap Sang Dewa akan lebih berbelas kasih kepada pemimpin mereka dengan mengirimkan seorang perempuan yang bisa menghangatkan hati Azkan. Perempuan yang bisa membuat Azkan tertawa bahagia serta bebas menjadi dirinya sendiri.
Setelah memiliki tujuh Perempuan Pilihan dan tidak memilih satu pun di antara mereka untuk tinggal bersama di dalam kastil pribadinya, Azkan membuat para penduduk pulau merasa khawatir. Mereka begitu mencintai Azkan dan ingin agar Azkan juga bisa merasakan kehidupan normal bersama orang yang dicintai. Para penduduk pulau, sering membayangkan bagaimana jika Azkan menemukan perempuan yang membuatnya jatuh cinta, membangun sebuah keluarga dan memiliki keturunan. Mereka kerap membicarakan khayalan tersebut di saat berkumpul, bergosip, ataupun bekerja. Namun tak satupun dari skenario yang bisa mereka pikirkan itu, terjadi. Azkan tak pernah memberikan hatinya pada seorang perempuan secara khusus. Meski dia memperlakukan ketujuh Perempuan Pilihan kiriman Sang Dewa dengan hangat dan penuh perhatian, tapi ada garis batas yang tak pernah dia lewati.
“Kira-kira, akan seperti apa penampilan Perempuan ke-8 nanti?” Raimond, sang wakil Jenderal, bertanya sambil memicingkan matanya, berharap bisa melihat sosok perempuan yang mendekati pulau, entah dengan cara apa. Pasalnya, kedatangan para Perempuan Pilihan ini, tak bisa ditebak. Perempuan Pilihan pertama, datang dengan diombang-ambing ombak di tengah badai. Perempuan ke-2 dibawa oleh seekor paus besar berwarna hitam. Perempuan ke-3 mengapung di atas batang pohon sangat besar. Perempuan ke-4 datang dalam pusaran badai dari tengah laut menuju pantai. Perempuan ke-5 digendong oleh seekor beruang besar di pundaknya, entah dari mana. Perempuan ke-6 datang dengan sebuah kapal kayu yang hampir hancur. Perempuan ke-7, Perempuan Pilihan terakhir yang masih berharap bisa mendapatkan hati Azkan, datang dengan bantuan seekor elang raksasa berwarna cokelat gelap. Itu adalah elang paling besar yang pernah dilihat semua orang. Sekarang, Elang itu menjadi bagian dari keluarga besar Pulau Asa. Begitu pula dengan paus hitam dan beruang besar yang membawa Perempuan Pilihan lainnya. Azkan merawat mereka semua di Pulau Asa.
“Aku tahu apa yang ingin kau katakan.” Andoz, sang Jenderal tertinggi, mengarahkan teropongnya ke segala penjuru, mencari tanda-tanda kehadiran seseorang yang asing.
“Bukankah kau juga memiliki harapan yang sama?” tanya Raimond penuh rasa ingin tahu. Sebagai salah satu orang terdekat dan yang paling dipercaya Azkan, Ardoz tak banyak bicara. Setiap kali orang-orang bertanya padanya mengenai Azkan, pasti jawabannya hanyalah sebuah kalimat singkat dengan makna sangat umum. Tidak pernah sekalipun dia mengutarakan sesuatu yang mendetail apalagi mendalam mengenai tuannya.
“Aku hanya berharap Azkan bisa hidup bahagia.” Ardoz mengehla nafas sambil menjauhkan teropong dari matanya. Tak ada tanda-tanda apa pun.
“Iya, semua penduduk pulau juga berharap seperti itu. Setelah semua hal yang harus dilalui Azkan dan beban tanggung jawab yang diberikan Dewa padanya, sudah selayaknya Azkan mendapatkan kesempatan untuk hidup bahagia. Maka dari itu, para penduduk pulau berkata padaku …” tatapan tajam Ardoz menghentikan kalimat Raimond. Kepalanya menunduk, merasa telah melakukan kesalahan.
“Maaf, aku tidak bermaksud mencampuri kehidupan pribadi Azkan.” ucap Raimond sepenuh hati.
“Bagus kalau kau paham. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di hidup Azkan hingga dia ditugaskan Dewa menjadi penjaga Pulau Asa dan melindungi kita semua sampai satu per satu dari kita, siap untuk menghadapi kehidupan baru. Jadi, jangan bicara sembarangan.” Ardoz menahan keinginannya untuk ikut mengiyakan pendapat Raimond. Dia sebenarnya juga ingin melihat tuannya itu hidup normal seperti orang lain di pulau ini. Mereka yang menemukan cinta, berkeluarga, memiliki keturunan, dan mendapatkan kehidupan baru. Karena sepertinya, Azkan tak akan pernah bisa menjadi salah satu dari orang yang akhirnya pergi meninggalkan Pulau Asa setelah jiwanya sembuh dan siap untuk menjalani hidup baru di dunia luar.
“Kalau begitu, aku akan berdoa pada Sang Dewa supaya kali ini, perempuan yang datang, bisa membawa kebahagiaan bagi Azkan.” ucapan Raimond mendapat anggukan kepala dari Ardoz yang menatap langit gelap. Apa Dewa sekarang ada di atas sana? Apa Dewa sedang mendengarkan?
“Jenderal!!!!” seorang anggota pasukan darat berlarian menghampiri Ardoz yang berjaga di atas bukit.
“Kenapa?”
“Perempuan Pilihan ke-8, sudah tiba.” suara prajurit yang melaporkan penemuannya itu, tersengal hebat. Peluh membasahi wajahnya, bercampur dengan air hujan yang mulai mereda.
“Di halaman kastil Azkan.” jawaban prajurit itu mengejutkan Ardoz dan Raimond. Hal seperti ini tak pernah terjadi. Biasanya, mereka datang dari luar Pulau Asa. Tak pernah sekalipun, Perempuan Pilihan muncul langsung di dalam pulau apalagi di halaman kastil pribadi Azkan.
Namun Ardoz tak banyak bicara apalagi berdebat tentang apakah hal itu mungkin. Kakinya berderap cepat menuju kastil Azkan yang terletak di belakang bukit diikuti oleh Raimond dan prajurit yang memberikan laporan.
Setibanya di halaman kastil, Azkan sudah berada di sana, bersujud di atas rumput basah, di sisi tubuh seorang perempuan yang sedang tak sadarkan diri.
“Azkan,” Ardoz tak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia terpaku pada sosok perempuan yang sedang terpejam di hadapannya. Azkan meletakkan tangannya di leher perempuan itu, memeriksa denyut nadi dan suhu tubuhnya.
“Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?” Raimond yang selalu penuh rasa ingin tahu, berbisik pada prajurit yang melapor tadi.
“Sayap malaikat.” suara Azkan yang bernada rendah dan khas, menjawab pertanyaan Raimond.
“Apa?!” Raimond tak berusaha mengendalikan keterkejutannya.
“Syukurlah, dia baik-baik saja. Aku akan membawanya ke kamarku.” Azkan mengangkat tubuh perempuan itu dengan kedua tangannya, lalu membawanya masuk ke dalam kastil yang hangat.
“Raimond, kembalikan semua pasukan ke markas.” Ardoz seakan tak terpengaruh oleh kejadian luar biasa yang baru saja terjadi. Dia tetap dalam mode seorang pemimpin militer yang harus selalu sigap dan bertindak sesuai situasi. Sekarang, Perempuan Pilihan sudah tiba. Badai akan segera berhenti. Hari baru akan tiba dengan cuaca cerah dan hangat. Maka, seluruh prajurit harus kembali ke markas untuk beristirahat dan siap untuk melakukan tugas rutin mereka besok pagi.
“Siap!” Raimond segera berlari menuju markas militer untuk memerintahkan semua pasukan kembali. Selain itu, dia juga sudah tidak sabar untuk membicarakan apa yang baru saja terjadi dengan anggota pasukannya. Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya sekarang.
“Benarkah?! Bagaimana bisa?!” Hugo, anggota pasukan darat yang mendengar cerita Raimond, memberikan reaksi yang persis sama seperti Raimond.
“Aku juga tidak tahu! Sekarang ini, kepalaku rasanya hampir pecah karena rasa penasaran. Siapa di antara kalian, yang tadi melihat kedatangan sayap malaikat?” Raimond memandang ke sekelilingnya, kepada para anggota pasukan darat, laut, dan udara yang berkumpul di aula bersama.
Hampir semua orang menggelengkan kepalanya, lalu sebuah tangan terulur ke atas, di barisan paling belakang. “Cakra?” Raimond berusaha mengingat nama anggota baru pasukan udara yang baru datang beberapa bulan lalu ke Pulau Asa.
“Iya. Saya Cakra. Saya anggota baru di pasukan udara.” Sosok Cakra yang bertubuh agak kurus berdiri dengan malu-malu. Perhatian seluruh prajurit tertuju padanya saat ini.
“Apa kau melihat sayap malaikat?” Raimond mengulang pertanyaannya.
“Iya. Saya bertugas mengawasi area udara di pantai yang terletak di belakang kastil tuan Azkan. Saya melihat cahaya menyilaukan di langit. Awalnya saya kira itu matahari. Tapi badai masih berlangsung dan langit gelap. Jadi, saya mengarahkan teropong ke cahaya itu dan saya melihat sayap yang sangat besar, berkilau karena dilapisi emas dan sayap itu turun di atas kastil tuan Azkan.” suara Cakra bergetar ketika menceritakan ulang apa yang dia saksikan beberapa jam sebelumnya.
“Apa hal seperti ini pernah terjadi?” tanya seorang anggota pasukan udara, Dion.
“Tidak pernah. Dalam sejarah Pulau Asa, tidak pernah ada sayap malaikat yang turun ke sini ataupun sekedar menunjukkan wujudnya kepada kita.” Raimond menjawab dengan yakin.
“Berarti, Perempuan Pilihan ke-8 ini, adalah perempuan yang spesial.” ujar seorang anggota pasukan darat yang lain, Hugo.
“Ya, bisa jadi.” Raimond menganggukkan kepalanya sambil berpikir lebih jauh. Special dalam hal apa? Apakah Dewa kali ini mau mengabulkan doa kami yang mengharapkan kebahagiaan Azkan?
“Lalu, dimana Perempuan Pilihan ke-8 sekarang?” tanya anggota pasukan laut, Marko.
“Di kamar pribadi Azkan.” jawaban Raimond menghasilkan suara riuh dari seluruh prajurit yang terkejut sekaligus bersemangat. Azkan yang mereka kenal, tak pernah membawa perempuan ke dalam kamarnya, meskipun itu adalah Perempuan Pilihan. Ketujuh Perempuan Pilihan yang sudah ada, tak pernah diijinkan masuk ke dalam kamar tidurnya. Ke dalam kastil pribadinya pun sangat jarang dan hanya boleh duduk di ruang tamu.
“Ardoz ada di sana, menemani Azkan untuk mengurus Perempuan Pilihan ke-8.” Raimond menambahkan informasinya.
“Tetap saja, seorang perempuan memasuki kastil Azkan adalah hal luar biasa kan?” Hugo yang setipe dengan Raimond, menyuarakan isi kepalanya dan menimbulkan keriuhan baru lagi di antara para prajurit yang semakin bersemangat membayangkan akan terjadi sesuatu di antara Perempuan Pilihan ke-8 dengan penjaga mereka.
Di sisi lain, kastil Azkan yang biasanya sepi kini dipenuhi suara langkah kaki dari para pelayan yang diperintahkan untuk menyiapkan pakaian ganti dan makanan hangat. Ardoz berjaga di ambang pintu masuk kamar Azkan, menunggu perintah dari tuannya.
“Ardoz,” panggil Azkan sambil duduk di sisi tempat tidurnya, dimana sekarang, Perempuan Pilihan ke-8 nya sedang berbaring tak sadarkan diri.
“Iya, Azkan?” Ardoz tak melangkah masuk. Dia menatap tuannya dari kejauhan, dan bisa merasakan campuran emosi tak dikenal dari sosok tuan yang selalu tenang.
“Menurutmu, kenapa Sang Dewa melakukan hal ini kepadaku?” Ardoz tak bersuara, hanya kedua telinganya yang terus mendengarkan.
“Kenapa aku harus menerima satu Perempuan Pilihan setiap seratus tahun? Aku tahu, mereka adalah perempuan hebat yang membantuku mengurus Pulau Asa dengan sangat baik. Tapi, setiap kali kalian, para penduduk pulau bertanya padaku, apakah aku tidak ingin menjalin hubungan romantis dengan salah satu dari mereka, aku selalu menjawab tidak. Aku juga sudah mengatakannya dengan jelas pada Sang Dewa, bahwa aku tidak akan menyentuh tubuh Perempuan Pilihan, jadi lebih baik, Dewa mengirimkan seorang pria saja. Tetapi Dewa tidak mau mendengarkanku.”
Ardoz masih diam, mendengarkan kegundahan Azkan untuk pertama kalinya.
“Lalu, setelah Perempuan Pilihan ke-7, aku bertanya pada Dewa, sampai kapan aku harus berada di pulau ini, menjadi penjaga dan pemimpin kalian. Sudah tak terhitung berapa jiwa yang kuantarkan pada kehidupan baru di dunia luar. Aku juga sudah menyaksikan sebagian dari kalian yang memutuskan untuk tetap tinggal dan memulai kehidupan baru di sini. Aku sudah menyaksikan begitu banyak kematian dari kalian yang telah memutuskan tinggal. Sedangkan aku, di sini, tak berubah sedikit pun. Hanya waktuku yang berhenti.”
“Aku berkata pada Dewa, kalau aku ingin mengakhiri keabadianku di Pulau Asa.” Ardoz tercekat. Kalau Azkan pergi, bagaimana dengan Pulau Asa? Dewa menciptakan Pulau Asa karena Azkan. Jika Azkan tidak ada, maka tidak akan ada Pulau Asa. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang diselamatkan Pulau Asa? Kemana jiwa orang-orang yang putus asa akan hidupnya akan pergi untuk memulihkan diri kalau tidak ada Pulau Asa?
“Tapi Dewa tidak lagi mendengarkanku. Sekarang, Dia justru mengirimkan Perempuan Pilihan ke-8 dengan sayap malaikat. Dia sekarang dengan terang-terangan menunjukkan padaku, bahwa aku harus menerima Perempuan Pilihan ke-8 ini karena dia spesial. Dia berbeda dari ketujuh Perempuan Pilihan yang ada bersamaku.” Suara Azkan terdengar makin lirih. Ardoz merasa pilu mendengarnya.
Tujuh ratus tahun hidup seorang diri, adalah kesepian yang terlalu panjang untuk bisa dimengerti oleh mereka yang hanya hidup selama puluhan tahun.
“Ardoz, sepertinya aku mulai mengerti. Mungkin saja, ini adalah kesempatan terakhirku.” Kalimat terakhir Azkan tidak dipahami Ardoz sama sekali. Namun tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya untuk bertanya.
“Azkan, pakaian ganti dan makanan hangat yang anda minta, sudah datang.” Ardoz justru mengumumkan kehadiran kepala pelayan yang hendak masuk ke dalam kamar Azkan.
“Letakkan saja di meja. Aku yang akan mengurus sisanya. Lalu siapkan semua kebutuhan pribadinya dan juga isi satu lemariku dengan pakaian untuknya. Persiapkan itu semua besok. Sekarang, kalian beristirahatlah.”
Perintah Azkan membuat kepala pelayan yang usianya sudah senja, tertegun.
“Iya, Armana, Dia akan tinggal di sini, bersamaku.”
“Baik, Azkan. Akan kulakukan seperti yang kau perintahkan besok.” Armana segera keluar dari kamar Azkan dan membagikan tugas kepada pelayan yang lain agar besok segala yang diminta Azkan segera disiapkan.
“Kau juga, Ardoz. Pulanglah. Beristirahatlah.” Azkan menatap Ardoz, orang kepercayaannya, dengan senyuman sendu.
“Baik. Sampai besok.” setelah mengucapkan selamat tinggal, Ardoz menutup pintu kamar Azkan lalu berjalan pergi, meninggalkan kastil Azkan kembali dalam sepi meski kini ada satu orang baru yang tinggal di dalamnya.
“Sekarang, hanya tinggal kau dan aku di sini.” Azkan membelai wajah perempuan di hadapannya yang masih terpejam.
“Sepertinya aku harus mengganti pakaianmu. Kalau tidak, kau akan demam.” Azkan berdiri dari sisi tempat tidur, lalu mengambil pakaian baru yang disiapkan Armana untuknya. Dengan begitu lembut, seakan sedang menyentuh seorang bayi yang baru lahir, Azkan melepas pakaian perempuan yang namanya belum dia ketahui, menggantinya dengan pakaian kering dan hangat lalu menyelimutinya.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Azkan tidur bersama dengan seorang perempuan di atas tempat tidur miliknya, di dalam kamar pribadinya, di kastilnya yang tak pernah dihuni oleh orang lain selain dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments