Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepuluh - Ceraikan Aku!
Amara menangis dalam diam, tak ada suara isak tangis yang keluar dari bibirnya, hanya air mata yang terus mengalir dari sudut matanya, tanpa bisa ia hentikan. Amara mengingat perjalanan rumah tangga yang ia bangun selama tiga tahun, dan mungkin akan hancur seketika. Apalagi dia tahu soal Alea yang sudah begitu dekat dengan Varo, malah ada perasaan di lubuk hatinya, kalau Alea sebetulnya anak Alvaro dan Cindi.
“Gak mungkin dia anaknya Varo, aku gak boleh mikir sejauh ini!” batin Amara dengan terus menangis meratapi nasib pernikahannya nanti.
Perasaa cinta untuk Varo yang sudah terlanjur tumbuh di dalam hatinya tidak akan bisa mempertahankan rumah tangganya yang sudah terbangun selama tiga tahun. Karena hanya dia yang mencintai Varo, tidak untuk Varo. Kalau dia ada rasa pada dirinya, tadi dia membela dirinya saat dirinya dikatai mandul oleh kakaknya. Karena penyebab dirinya belum hamil karena Varo yang minta, Varo yang belum mau memiliki anak dengan dirinya.
Mau tidak mau dirinya harus merelakan Alvaro menikah lagi dengan perempuan itu. Perempuan di masa lalunya, yang mungkin masih dicintai Alvaro sampai sekarang, karena sampai membuat Alvaro tak ingin memiliki anak darinya. Biar saja dirinya mengalah, dirinya akan mundur dari pernikahannya, hanya demi suaminya bahagia dengan perempuan yang selama ini dicintainya.
Terdengar pintu kamar terbuka, Amara bergegas menyeka air matanya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan suaminya. Dia tidak ingin terlihat seperti menangisi nasibnya.
“Bagaimana, Mas? Apa kamu sudah memutuskan mau seperti apa?” tanya Amara tenang dengan menatap suaminya yang mendekatinya.
Alvaro duduk dengan membuang kasar napasnya. Ia tatap Amara yang juga menatapnya dengan dalam.
“Kalau mas sudah memutuskannya, aku harap mulai saat ini kita saling jaga jarak, sampai waktu perceraian tiba,” ucap Amra lirih. “Aku ingin membiasakan diri tanpa kamu, biar aku tak bergantung padamu. Mulai malam ini juga, aku akan tidur di kamar tamu, tidak mungkin kita masih satu kamar, kalau kita mau pisah?” imbuhnya.
“Aku tidak akan menceraikan kamu! Kita tidak akan berpisah, Amara!”
Amara menatap tajam suaminya. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Tidak mau bercerai tapi masih mengurusi perempuan itu.
“Gak mau cerai gimana? Mas saja begitu?” ucap Amara tidak percaya akan ucapan suaminya.
“Aku tidak pernah menceraikan kamu, Ara. Aku tidak akan menceraikan istriku!” ucap Alvaro, lalu meraih tubuh Amara dan dipeluknya.
Amara langsung mendorong tubuh suaminya. Ia tidak mengerti dengan apa yang suaminya lakukan.
“Aku sudah siap untuk pisah darimu, Mas. Aku relakan kamu untuk bahagia dengan perempuan lain,” ucap Amara dengan menatap Alvaro.
“Lagian untuk apa mempertahankan perempuan sepertiku? Aku kan mandul, Mas? Seperti yang dikatakan kakakmu,” ucap Amara.
“Kamu tidak mandul, Ara!” tegas Alvaro.
Amara teresenyum miris di depan Varo. Bisa-bisanya Alvaro mengatakan hal itu di depannya sekarang. Tidak mengatakan di depan ibu dan kakaknya tadi saat mereka menyuruh diriya untuk menikah lagi dengan Cindi.
“Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang, Mas? Kenapa tidak mengatakan semua itu tadi, di depan ibu dan kakakmu itu? Kamu ini sudah membuatku terhina di depan ibu dan kakakmu. Apa aku ini tidak seberharga itu di matamu, Mas? Harusnya kamu bilang pada mereka, apa yang sudah kamu lakukan padaku, sampai aku tidak kunjung hamil selama tiga tahun ini,” ucap Amara dengan napas memburu karena sudah terlalu sesak dadanya.
Alvaro termenung menyadari kesalahannya itu. Ia tidak sadar jika diamya membuat hati istrinya sakit. Alvaro baru merasakan hatinya sedikit sakit karena melihat mata Amara berkaca-kaca menahan tangisnya.
“Aku menyerah, Mas. Aku ingin kita bercera saja. Silakan talak aku, ceraikan aku sekarang, Mas,” ucap Amara lirih dengan suara bergetar, dan air matanya luruh seketika.
“Masa lalumu sudah kembali, Mas. Aku tahu hatimu masih berhenti di sana, masih terbelenggu dengan masa lalumu bersama Cindi. Dia sudah kembali, silakan ceraikan aku, Mas,” lanjutnya dengan menyeka air matanya.
“Tidak, Ara! Aku tidak ingin ada perceraian di antara kita! Aku tidak akan menceraikan kamu!” tegas Alvaro.
“Aku tidak ingin ada madu di dalam rumah tangga kita, aku juga tidak mau menjadi orang ketiga di antara kalian. Izinkan aku pergi, mencari kebahagiaanku sendiri, Mas,” ucap Amara.
Bagaimana nantinya jika Alvaro benar-benar menikahi Cindi, apa Amara sanggup melihat kemesraan mereka dan kebahagiaan mereka? Tentu saja Amara tidak akan bisa, bahkan hatinya akan hancur sehancur-hancurnya.
“Apa selama ini kamu tidak bahagia hidup bersamaku, Ara? Sampai kamu ingin mencaari kebagiaan lagi di luar sana?” tanya Alvaro.
“Aku bahagia, Mas. Sangat bahagia. Akan tetapi tidak dengan kamu, Mas. Aku tahu kamu tidak pernah bahagia hidup bersamaku, jadi aku relakan kamu menikah lagi, aku relakan kamu menikahi perempuan itu, jika dia adalah bahagiamu,” jawab Amara.
Alvaro kembali terdiam mendengar ucapan istrinya itu. Benar pertama kali menikah dengan Amara, dirinya tidak bahagia karena terpaksa. Tapi entah kenapa saat Amara meminta untuk bercerai, hati Alvaro sakit, dia tidak mau kehilangan Amara.
^^^
Pagi harinya Amara menata sarapan di ruang makan. Pagi ini masih ada ibu mertua dan kakak iparnya di rumah. Mereka menginap di rumah Alvaro, karena ini weekend. Setelah sarapan selesai di tata, Amara langsung duduk di kursi sambil menunggu yang lain dipanggil oleh Bi Asih.
Semua sudah kumpul di ruang makan. Entah kenapa ruang makan ini terasa hening, tidak ada yang bersuara, baik ibu mertuanya atau kakak iparnya. Mereka menikmati sarapannya dengan diam, tidak seperti biasanya yang kadang Amara merasa bising degan mendengarkan ocehan kakak ipar dan ibu mertuanya.
Setelah selesai sarapan. Ibu mertua dan Kakak Iparnya langsung pamit pulang. Sekarang di ruang makan hanya ada Alvaro dan Amara saja. Mereka masih saling diam dengan menikmati buah. Biasanya Amara mengupaskan buah untuk Varo, akan tetapi kali ini tidak. Ia mengupas apel untuk dirinya sendiri.
“Ara aku ada pekerjaan yang belum selesai, aku harus menyelesaikannya sekarang. Aku pergi dulu, ya?” pamit Alvaro.
“Hmmm ...,” jawab Amara bergumam saja, dan masih memakan apel yang dia kupas tadi.
Alvaro pergi dengan melihat Amara yang masih belum beranjak dari kursinya. Pagi ini Amara benar-benar acuh padanya.
Amara berhenti memakan apelnya. Ia menatap Alvaro yang berjalan keluar. Bisa-bisanya Alvaro ada pekerjaan di hari minggu? Amara yakin Alvaro paling akan menemui Cindi, dan anaknya. Ini hari minggu, pasti mereka akan pergi rekreasi atau ke mana. Miris sekali jika memang terjadi begitu.
Amara memanggil Bi Asih untuk membereskan meja makan. Lalu ia memilih ke dapur, mengecek bahan-bahan untuk membuat kue kering. Daripada pikirannya ke mana-mana, entah memikirkan apa, lebih baik Amara membuat kue kering untuk cemilan.