Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Setiap kali Tiara pulang kerja, Raka selalu menunggunya di kamar, duduk di tepi tempat tidur dengan mata berbinar seolah sedang menanti sesuatu yang tak sabar ia ungkapkan. Tiara masuk ke kamar dengan lelah yang tergambar di wajahnya, tetapi senyum kecil langsung terbit begitu melihat Raka. Seperti biasa, Tiara mendekat dan memeluk sang adik dengan erat, seolah pelukan itu menjadi pelampiasan dari kepenatan yang ia rasakan setiap hari.
"Kakak pulang," bisik Raka pelan. Tiara pun mengangguk dan membenamkan wajahnya di bahu sang adik.
Kali ini terasa sedikit berbeda. Ada kehangatan yang lebih dari sekadar rutinitas biasa. Raka, yang semakin terbiasa, mulai berani menggoda kakaknya. Sambil memeluk Tiara, Raka bertanya dengan lelucon kecil, "Kak, kerjaan kakak tuh ngapain aja sih? Ga mungkin kan kalau cuma nganter pesanan doang, hee?" tanyanya sambil tertawa kecil.
Tiara tersenyum, lalu tanpa sadar menggoyangkan tubuhnya perlahan, memperagakan sedikit tarian yang biasa ia lakukan di tempat kerja. "Ya engga dong, Kakak mesti gini nih, hahaaa..." ucapnya dengan nada bercanda sambil menunjukkan gerakan tarian sederhana. Seketika Raka terbelalak melihat sang kakak menari. "Hah? Beneran? Ke semua tamu kayak gitu?" ucapnya setengah kaget.
Tiara pun tertawa melihat ekspresi sang adik, merasa geli dengan reaksi yang ditunjukkannya. "Ah, kamu ini... Udah ah, kakak mau mandi dulu, mau ikut?" jawab Tiara sambil menggoda sang adik. Dalam tawanya, Tiara merasa ada sesuatu yang berubah antara kedekatan mereka. Keduanya semakin dekat, semakin akrab, hingga rasa canggung yang dulu ada perlahan sirna. Tiara merasa lebih nyaman membuka diri tentang pekerjaannya kepada Raka, yang jelas-jelas adalah adiknya.
Raka pun semakin berani menanyakan banyak hal, termasuk hal-hal sensitif seperti urusan orang dewasa. Rasa keingintahuannya yang begitu besar membuat sang kakak sedikit kewalahan. Tanpa ragu, Tiara pun mulai menceritakan pengalamannya ketika menghadapi tamu-tamu yang tidak selalu menyenangkan, tetapi ia harus terus tersenyum demi pekerjaannya. Sesekali, ia menunjukkan gerakan-gerakan kecil, seperti saat ia melayani tamu dengan senyum manisnya, lalu sedikit menggoda sang adik dengan sentuhan lembutnya.
Karena suasana kamar terasa sedikit gerah, Tiara dan Raka pun akhirnya mandi bersama. Mereka tak canggung lagi untuk melakukan hal itu. Bagi sang kakak, selama masih dalam batas kewajaran, apa yang dilakukan Raka padanya bukanlah hal yang membuatnya risih. Saat Tiara melihat pusar sang adik, ia pun hanya tertawa kecil. Bagian atasnya mulai ditumbuhi rambut halus. Sang adik pun tanpa malu memamerkannya kepada sang kakak. Mereka pun saling menyabuni satu sama lain, sesekali Raka melakukan gerakan nakalnya, tetapi sang kakak langsung menahannya dengan mencubit tipis tangan sang adik.
Malam pun semakin larut, tetapi tawa mereka masih terdengar di kamar itu. Tiara merasa lega bisa menceritakan kehidupannya yang selama ini ia simpan rapat.
Akhirnya, setelah cerita dan candaan yang panjang, Tiara dan Raka pun tertidur bersama. Raka yang awalnya penasaran pada sang kakak kini semakin nyaman berada dalam pelukan hangat kakaknya, begitu pula dengan Tiara yang selalu merasakan ketenangan setelah berbagi sebagian beban yang selama ini menghimpit hatinya.
Hari demi hari terus berlalu, Tiara pun semakin menikmati pekerjaannya. Di saat Tiara selesai membantu sang ibu, ia ditelepon oleh manajer tempat ia bekerja. Tiara terpaksa masuk kerja karena Diana, rekannya yang biasa melayani tamu VIP, jatuh sakit dan tidak bisa masuk kerja. Singkat cerita, Tiara pun pergi ke tempat kerja meskipun rasa malas menyelimuti perasaannya. Dengan perasaan yang campur aduk, Tiara berjalan ke tempat kerja. Sesampainya di sana, ia langsung berjalan menuju ruang ganti dan bersiap mengenakan seragamnya: rok hitam pendek di atas lutut dan kemeja putih ketat yang kini menjadi seragam favoritnya.
"Ra, kamu malam ini gantiin Diana, ya. Ada tamu VIP yang udah sering kamu layani juga," ucap manajer tanpa memberi ruang untuk penolakan. Tiara hanya bisa mengangguk pelan, berusaha mengendalikan perasaan gugup yang kembali muncul.
Saat Tiara masuk ke ruangan VIP, ia melihat wajah yang tak asing lagi muncul di hadapannya. Fajar, tamu VIP yang pernah ia layani sebelumnya. Senyum genit Fajar menyapa Tiara seolah menandakan malam itu akan menjadi malam yang panjang. Fajar tampak sudah siap bersenang-senang, sementara Tiara hanya bisa menenangkan dirinya sambil mempertahankan senyumnya. Ia tahu betul, sebagai pemandu karaoke, perannya lebih dari sekadar menyajikan hiburan.
"Hai Tiara, kamu ingat aku, kan?" Fajar tersenyum sambil meliriknya. Tiara membalas dengan senyum genit yang sudah menjadi topengnya setiap kali bekerja. "Inget dong, maaf ya om malam ini Diana ga masuk, dia lagi sakit, jadinya aku yang gantiin. Gpp kan om?" jawabnya manis, meski hatinya berdebar tak karuan.
"Iya, gpp kok. Om juga pengennya kamu yang temani om, hee... Sini dong, duduk..." ucap Fajar sambil menepuk-nepuk sofa di sampingnya.
Malam itu, sepertinya Tiara bakal sedikit sibuk karena selain harus melayani Fajar, ia juga harus melatih seorang karyawan baru bernama Putri. Tiara menghela napas pelan, tetapi ia tak punya pilihan lain selain menurut.
Tiara melangkah maju, mengambil alih tempat yang biasa diduduki Diana di samping Fajar. Sementara Putri, dengan wajah canggung dan bingung, duduk di sebelahnya. "Gausah khawatir, nanti juga terbiasa," bisik Tiara kepada Putri dengan nada tenang, berusaha menenangkan gadis baru itu. Namun, di dalam hatinya, ia tahu betapa sulitnya pekerjaan ini, terutama ketika berhadapan dengan tamu seperti Fajar.
Dengan senyumnya, Tiara mulai memainkan perannya. Ia melayani Fajar dengan senyuman genit dan gerakan-gerakan tubuh yang sudah biasa ia lakukan. Tangannya memegang gelas minuman sambil menyodorkannya kepada Fajar, kemudian ia menggoyangkan tubuhnya sedikit mengikuti alunan musik yang mengisi ruangan. Fajar tertawa, menikmati hiburan yang diberikan Tiara, sementara Putri hanya duduk terpaku di sebelahnya, masih canggung dan belum tahu harus berbuat apa.
"Put, sini-sini, gini ya... Maaf ya om, Putri masih baru," ucap Tiara dengan lembut sambil berusaha menunjukkan cara membuat tamu nyaman. Putri, meski masih terlihat gugup, hanya mengangguk dan mencoba mengikuti arahan Tiara.
Fajar, seperti biasa, mulai menggoda Tiara dengan kata-kata gombalnya dan sentuhan-sentuhan halus. "Kamu semakin cantik saja, deh," ucapnya sambil meletakkan tangan di bahu Tiara dan merangkulnya. Tiara hanya bisa tersenyum tipis, menahan rasa risih yang muncul dari sentuhan itu. Ia tahu menolak hanya akan menimbulkan masalah, jadi ia berusaha untuk tetap tenang.
"Ah, Om Fajar bisa saja. Jangan cuma lihat aku doang, dong. Kan ada Putri juga di sini yang cantik. Lihat tuh," balas Tiara, mencoba mengalihkan perhatian Fajar kepada karyawan baru itu. Putri hanya bisa tersenyum gugup saat mendengar namanya disebut.
Fajar melirik Putri sekilas lalu tertawa kecil. "Iya sih, tapi cantikan kamu," ucapnya sambil mencubit lembut pipi Tiara. Tatapan Fajar terus menatap, membuatnya semakin merasa tidak nyaman.
Tiara berusaha tetap profesional meski hatinya bergemuruh. Ia melanjutkan tugasnya dengan kepura-puraan, tersenyum dan melayani Fajar sesuai permintaan. Sementara itu, Putri hanya mengamati, mencoba memahami peran yang harus dijalani di tempat kerja yang keras ini.
Malam itu terasa panjang bagi Tiara. Setiap senyuman yang ia pasang, setiap gerakan tubuh yang ia tampilkan, terasa seperti beban yang berat. Namun, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari pekerjaannya. Tak peduli seberapa risih atau tidak nyamannya, Tiara harus menyenangkan tamu, karena itulah yang diinginkan oleh manajer dan tamu-tamu VIP seperti Fajar.
Di akhir malam, Fajar berdiri dan menepuk pundak Tiara dengan santai. "Makasih ya, Ra. Kamu paling bisa nyenengin tamu. Om sampai kewalahan," katanya dengan nada menggoda. Tiara hanya bisa tersenyum tipis, meski dalam hatinya ia merasa lelah dan kesal. Setelah Fajar dan tamu VIP lainnya pergi, Tiara menarik napas panjang dan akhirnya bisa merasa sedikit lega.
"Put, sudah lihat kan? Besok-besok kamu bisa coba kayak gitu dulu. Ikutin aja alurnya," kata Tiara sambil menepuk pundak Putri. Meski masih bingung, Putri mengangguk dan tersenyum, berterima kasih atas bimbingan Tiara.
Malam itu, Tiara pun pulang dengan perasaan campur aduk. Beban pekerjaannya semakin berat, dan kini ia harus membimbing orang lain pula. Meski lelah, ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk terus mendapatkan penghasilan demi keluarganya.