Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Sudah Bersuami
"Kamu sudah selesai masak?" tanya Surati.
"Sudah." jawab Hanung singkat.
Surati pun melihat beberapa menu yang dibuat Hanung. Ada udang asam manis, tumis kangkung, sop kembang tahu dan ayam goreng tepung. Entah nyambung atau tidak, Hanung tidak peduli.
"Bagus. Kamu mandi sana, sebentar lagi orangnya datang." perintah Surati
Hanung tanpa menoleh, pergi ke kamarnya. Segera Hanung mengunci kamar dari dalam. Ia membuka ponselnya yang sedari tadi ia simpan di tas pakaian dalam keadaan silent. Hanung membaca beberapa pesan dari Gus Zam.
Gus Zam: Hanung, aku sedang ada di psikiater.
Gus Zam: Psikiater bilang, aku ada perubahan. Kedepannya harus menjaga stabilitas emosi.
Gus Zam: Jangan menelepon dulu, aku sedang menerima hafalan anak-anak.
Gus Zam: Kamu kemana, Humaira ku?
Ada juga beberapa telepon dari Gus Zam. Hanung pun menghubungi Gus Zam.
"Assalamu'alaikum Humaira.."
"Wa' alaikumsalam Mas.. Maafkan Hanung ya, Mas? Hanung baru buka ponsel. Tadi Hanung memasak didapur."
"Tak, apa. Memasak apa memangnya?"
"Ayam goreng, udang asam manis, sop kembang tahu, oseng kangkung." Gus Zam mengernyit.
"Kenapa masakanmu terasa tidak nyambung?"
"Sengaja!" Hanung tersenyum menggoda.
"Memangnya harus ya, memasak sebanyak itu?"
"Katanya akan ada tamu nanti."
"Tamu?" Hanung mengangguk sambil melepaskan hijab dan ikat rambutnya.
"MasyaAllah.."
"Kenapa, Mas?"
"Kangen melihat kamu seperti itu."
"Sabar ya, Mas. Sepertinya satu tahun perjanjian kita akan berakhir lebih cepat."
"Kenapa kamu bilang begitu? Apakah ada masalah disana?"
"Tidak ada. Hanya firasat saja." Hanung tersenyum.
Gus Zam yang sudah mulai curiga sejak siang tadi pun membalas senyum Hanung. Dalam hati, ia penasaran apa yang sedang dihadapi istrinya tersebut. Tetapi ia memilih mengikuti Hanung karena ia juga tidak mau terlalu banyak berpikir yang mana akan membuatnya tenggelam dalam pikiran buruk. Ia akan mengutamakan kestabilan mentalnya dulu saat ini.
"Kamu mau mandi?" tanya Gus Zam yang melihat Hanung melepaskan resleting gamisnya.
"Iya, Mas. Gerah." Hanung melepaskan gamisnya, menyisakan manset dan dalaman gamisnya yang mencetak bentuk tubuhnya.
Gus Zam yang belum pernah melihat pemandangan tersebut pun menelan saliva nya. 2 hari bersama Hanung, ia hanya melihat Hanung dengan gamisnya. Sehingga pemandangan ini adalah pemandangan pertama bagi Gus Zam. Hanung sendiri seperti tidak merasa risih dengan pandangan Gus Zam. Ia dengan santai menyiapkan pakaian ganti untuk mandi.
"Kamu mandi dulu saja, nanti kabari kalau sudah selesai."
"Iya, Mas. Tapi nanti Hanung teleponnya malam ya?"
"Kenapa?"
"Ada tamu dirumah, Hanung masih harus bantu-bantu."
"Oh. Baiklah. Aku tunggu." Hanung tersenyum dan menutup panggilannya dengan salam.
Ia pun menyimpan ponselnya kembali dan pergi mandi. Setelah melaksanakan sholat ashar, ada yang mengetuk pintunya dari luar. Suara ketukan yang tidak bersahabat, Hanung sudah bisa menebak siapa yang mengetuk.
"Kenapa?"
"Jangan terima laki-laki yang dikenalkan denganmu!" seru Lala.
"Tanpa kamu minta pun aku tidak akan menerimanya karena aku sudah bersuami!" ketus Hanung.
"Bagus kalau begitu!"
"Kalau kamu suka, kenapa kamu kesini? Kenapa tidak mengatakannya kepada Ibumu?"
"Itu bukan urusanmu!"
"Tentu saja ada urusannya! Kalau kamu mengatakannya, aku tidak akan ada diposisi sekarang!"
"Kamu hanya beruntung saja!"
"Terimakasih, tetapi aku tidak merasa beruntung!"
"Kamu belum mengenalnya, makanya berkata seperti itu." cibir Lala.
"Biarpun aku sudah mengenalnya, aku akan tetap menolak karena aku sudah bersuami."
"Jangan sombong kamu! Suamimu belum tentu lebih baik dari Kak Alung!"
"Oh, jadi namanya Alung? Kenapa namanya terdengar seperti ayahmu?"
"Memang mereka sesuku, hanya berbeda klan saja!"
"Oh!" Hanung ber"oh" tanpa ada rasa penasaran sedikit pun membuat Lala geram.
"Awas saja nanti kalau kamu suka dengan Kak Alung!"
"Kamu bisa pegang kata-kata ku!" kata Hanung yang kemudian menutup kembali pintu kamarnya.
Hanung kembali ke sajadah nya untuk membaca Al-Quran. Sayangnya saat Hanung baru selesai satu ayat, pintunya diketuk kembali. Jika tebakannya benar, kali ini Surati yang mengetuk nya.
"Kenapa belum siap?"
"Ibu tidak bilang jam berapa tadi." jawab Hanung santai.
"Bukankah sudah dibilang kalau tamunya sebentar lagi datang! Cepat bersiap!"
"Iya."
Hanung masuk dan melepas mukena nya dibawah pengawasan Surati. Saat Hanung sudah siap, Surati masih tidak puas dengan penampilannya.
"Seperti itu saja?"
"Memangnya seperti apa?"
"Pakai make up, Hanung!"
"Aku tak terbiasa, Bu! Lagi pula kulit ku sensitif." Surati berjalan menuju meja rias.
Yang ditemukannya adalah face cream, sunscreen, dan lotion dari salah satu brand yang diperuntukan bayi dan anak-anak. Surati menggelengkan kepala. Tetapi ia menemukan lip serum disana. Ia pun mengambilnya dan meminta Hanung memakainya. Hanung menurut saja dan memakainya.
"Begitu lebih baik!" kata Surati yang kemudian keluar kamar diikuti Hanung.
Di ruang tamu sudah ada suami Surati bersama anak balita mereka, Hotnihari Sidabutar. Ada pula Lala dan Lili yang ikut berkumpul bersama satu tamu yang dimaksud.
"Perkenalkan, ini Alung Nasution. Seorang polisi yang bertugas di Kilo 42. Dan Alung, ini Hanung Rahayu anakku dari pernikahan terdahulu." Surati mengenalkan keduanya.
Tetapi saat Alung mengulurkan tangannya, Hanung tidak menjabatnya melainkan menangkup kan tangannya didada. Alung pun mengerti dan ikut menangkup kan tangannya. Lala yang melihat tatapan Alung kearah Hanung pun merasa tidak suka. Memang Hanung terlihat cantik dan memiliki kulit bersih dibandingkan dengan nya yang berkulit sawo matang, tetapi Lala tidak mau mengakui kalau Hanung menang darinya.
Percakapan pun berlangsung dengan memuji pekerjaan Alung sebagai polisi yang disambut semua orang dengan antusias, kecuali Hanung. Ia hanya duduk menunduk sambil sesekali ikut tersenyum dan menjawab seperlunya. Donga akhirnya mengajak mereka semua makan bersama. Disini Surati mulai membanggakan Hanung yang pintar memasak dan mengurus rumah.
"Jika saja dalam keadaan normal, mungkin aku akan tersentuh Bu. Sayangnya apa yang kamu katakan saat ini hanya untuk menaikkan nilai jual ku." batin Hanung menunduk.
Hanung hanyalah manusia biasa yang bisa merasakan haus kasih sayang. Ibu yang ia rindukan sejak dulu nyatanya tak sebaik di ingatannya.
Makan malam selesai, Hanung tak kembali bergabung dengan semua orang. Ia lebih memilih membersihkan bekas makan dan merapikan meja makan. Lala pun merasa menang. Ia percaya dengan kata-kata Hanung yang tidak tertarik dengan Alung. Ia pun mendominasi obrolan dengan Alung saat Donga dan Surati pamit untuk menidurkan Hari.
"Berapa umur Hanung sekarang?" tanya Alung kepada Lala.
"Hanya beda 1 tahun dengan Kak Lala." jawab Lili yang tidak tahu kalau Lala menyukai Alung.
"Beda 4 tahun, tak masalah bagiku." kata Alung tersenyum.
"Kakak yakin mau dengan Hanung?" tanya Lala.
"Yakin."
"Hanung sudah bersuami, Kak. Suaminya di Jawa." kata Lala yang mengejutkan Alung dan Lili.
"Kalau bersuami, mengapa ayah dan ibumu mengenalkannya kepadaku?"
"Aku juga tidak tahu."
Alung terdiam. Ia pun pamit pulang dengan alasan sudah malam. Sebelum pulang ia menyempatkan menitip salam untuk Donga dan Surati. Sehingga saat Donga kembali, ia merasa kecewa Alung sudah pulang lebih dulu.
.
.
.
.
.
Disclaimer:
Nama klan Batak yang Author sebutkan adalah nama yang Author kenal sebagai penganut Islam. Bukan bermaksud untuk SARA atau apa, semua ini hanya setingan Author dan tidak mewakili etnik apapun.
Jika ada kesalahan dalam penyebutan, mohon maaf..