Karena permintaan kakeknya , Ellena dan Luis terpaksa menikah dan hidup bersama tanpa cinta dalam pernikahan mereka. Akankah Ellena mampu bertahan dalam pernikahan itu, atau justru memilih untuk pergi? Hanya waktu yang mampu menjawabnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lusica Jung 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Kau Bahagia?
Usai operasi, Luis kembali ke ruangannya. Ruangan itu tertata rapi dan luas, mencerminkan kepribadiannya yang dingin dan praktis. Ia duduk di kursi, menghadap meja yang penuh dengan berkas-berkas medis. Luis meraih secangkir kopi yang telah disiapkan sebelumnya dan mulai menyesapnya perlahan, menikmati sedikit momen ketenangan setelah operasi yang penuh tekanan.
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka dan seorang wanita masuk. Adelia, kekasih Luis, dengan wajah lelah namun tetap memancarkan pesona. Dia adalah salah satu dokter di rumah sakit ini, dan telah bersama Luis selama setahun terakhir. Meskipun begitu, hubungan mereka selalu terasa dingin dan hambar.
"Luis," panggil Adelia, suaranya lembut.
Luis mengangkat kepalanya, menatap Adelia dengan ekspresi tanpa emosi. "Ada apa, Adelia?"
"Apa kau akan lembur lagi malam ini," tanya Adelia, langsung pada intinya.
Luis mengangguk singkat, "Ya, ada beberapa berkas yang harus aku selesaikan dan pasien yang harus aku pantau."
Adelia mendesah pelan, lalu duduk di kursi di depan meja Luis. "Kau tahu, kadang aku merasa kita jarang punya waktu bersama."
Luis menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Aku tahu. Tapi pekerjaan ini membutuhkan banyak waktu dan dedikasi."
"Aku mengerti," kata Adelia, mencoba menahan rasa kecewa. "Tapi apakah kau pernah berpikir untuk memberi kita sedikit waktu? Mungkin hanya untuk makan malam atau sekadar berjalan-jalan?"
"Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu," balas Luis dingin. "Tanggung jawabku di rumah sakit ini terlalu besar. Kesejahteraan pasien lebih penting."
Adelia menundukkan kepala, merasa frustasi. "Aku mencintaimu, Luis. Tapi terkadang aku merasa seperti tidak ada ruang untukku dalam hidupmu."
Luis menatapnya dengan mata tajam, "Aku tidak punya waktu untuk percakapan ini sekarang, Adelia. Jika kau punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan tentang pekerjaan, kita bisa membahasnya. Jika tidak, aku masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."
Adelia menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. "Tidak, tidak ada yang lain. Aku hanya ingin tahu apakah kau akan pulang malam ini."
Luis menggeleng. "Tidak. Aku akan menghabiskan malam di rumah sakit."
Adelia mengangguk perlahan, merasa kekosongan semakin menghampirinya. "Baiklah, aku akan kembali ke pekerjaanku."
"Hn," jawab Luis singkat, kembali fokus pada berkas-berkas di mejanya. Itulah konsekuensi yang harus Adelia tanggung jika memiliki kekasih yang memiliki sifat seperti kutub Utara.
Adelia berdiri dan berjalan keluar dari ruangan, merasa semakin jauh dari pria yang dia cintai. Meski mereka bekerja di tempat yang sama, jarak di antara mereka terasa begitu lebar. Adelia hanya bisa berharap suatu hari nanti Luis akan memahami perasaannya, meski harapan itu semakin lama semakin pudar di bawah bayang-bayang kesibukan dan sikap dingin Luis.
Luis kembali fokus pada pekerjaannya, tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda penyesalan atau keinginan untuk berubah, karena memang begitulah dirinya dan seharusnya Adelia sudah tau sejak mereka memutuskan untuk bersama. Baginya, pekerjaan adalah segalanya, dan emosi serta hubungan pribadi hanya penghalang dalam jalannya.
***
Di rumah Luis yang megah, Ellena merasa bosan. Dia duduk di ruang tamu, merasa terkurung di dalam keheningan. Tak ada yang bisa dia lakukan di rumah besar itu selain merenung tentang pernikahan yang dingin dan tidak diinginkannya.
"Sepertinya aku perlu mencari kesenangan di luar," gumam Ellena pada dirinya sendiri. Dengan cepat, dia meraih ponselnya dan menghubungi teman-temannya, Choa dan Selly.
"Choa, Selly, ayo kita keluar malam ini," kata Ellena, langsung ke intinya.
"Kemana?" tanya Choa di ujung telepon.
"Klub malam, aku butuh bersenang-senang," jawab Ellena tanpa ragu.
"Baiklah, kami siap," sahut Selly.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga tiba di sebuah klub malam yang ramai. Musik menghentak, lampu berkedip-kedip, menciptakan suasana yang penuh energi. Mereka masuk dan berjalan melewati kerumunan yang menari dengan liar di lantai dansa. Ellena memimpin teman-temannya menuju lantai atas, mencari suasana yang lebih tenang.
"Aku sedang tidak ingin menari malam ini," ujar Ellena ketika mereka mencapai lantai atas.
Choa mengangguk. "Kita bisa duduk di bar dan menikmati minuman."
Mereka bertiga menuju bar, di mana Charlie, sang bartender, menyapa Ellena dengan senyuman akrab. "Ellena! Lama tak melihatmu di sini. Kenapa kau jarang datang?"
Ellena tersenyum tipis. "Jadwalku sebagai model sangat padat, Charlie. Tapi malam ini, aku butuh sedikit pelarian."
"Minuman favoritmu?" tanya Charlie.
"Tentu saja," jawab Ellena.
Charlie segera meracik minuman dan menyerahkannya kepada Ellena. Choa dan Selly juga memesan minuman mereka, lalu duduk di kursi bar, menikmati suasana yang lebih tenang dibandingkan lantai bawah.
"Apa yang terjadi, Ellena? Kau terlihat berbeda malam ini," tanya Selly, memperhatikan sahabatnya.
Ellena menghela napas panjang. "Banyak hal yang berubah dalam hidupku. Pernikahan ini... benar-benar menguras energiku. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk diriku sendiri."
Choa dan Selly saling bertukar pandang, terkejut dengan pernyataan yang baru saja dikatakan oleh Ellena. "MENIKAH?! KAU SUDAH MENIKAH?" pekik mereka berdua dengan nada meninggi.
"Tapi dengan siapa dan bagaimana? Kenapa kami tidak tahu?" Choa menatap Ellena dengan penuh rasa ingin tahu.
Ellena menghela nafas lagi. "Panjang ceritanya. Nanti saja aku ceritakan, untuk saat ini aku ingin menenangkan pikiran."
Mereka bertiga menikmati minuman sambil berbincang-bincang, mencoba melupakan sejenak semua masalah yang ada. Klub malam yang biasanya penuh keramaian dan kegilaan menjadi tempat pelarian bagi Ellena, memberikan sedikit kedamaian di tengah kekacauan hidupnya.
"Apakah kau bahagia, Ellena?" tanya Selly tiba-tiba, wajahnya serius. Dia melihat kesetiaan di wajah sahabatnya itu, Choa berani bersumpah jika Ellena tidak bahagia dengan pernikahannya.
Ellena mengangkat bahu dengan acuh. "Aku tidak tahu, Choa. Hidup ini... terasa rumit. Tapi setidaknya malam ini aku bisa merasa sedikit lebih baik," ucapnya sambil menikmati minumannya.
Selly menyentuh lengan Ellena. "Kita di sini untuk bersenang-senang, ingat? Untuk itu jangan memikirkan tentang kesedihan apalagi perasaan-perasaan yang rumit, kita nikmati malam ini."
Mereka tertawa, meskipun dalam hati Ellena masih ada kekosongan yang mendalam. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika sekarang dia berstatus sebagai istri orang. Suasana di sekitar mereka begitu hidup, musik menghentak, dan lampu berkilau memberi sedikit semangat baru. Ellena merasakan beban sejenak terangkat, berlari dari kenyataan yang mengekangnya.
"Bagaimana kalau malam ini kita berpesta?" ajak Selly, mengangkat gelasnya.
"Setuju," jawab Choa, tersenyum. "Kita harus merayakan kebersamaan ini."
Ellena mengangguk, meski pikirannya masih melayang. Malam itu, meskipun hanya sebentar, memberikan ruang bagi Ellena untuk bernapas dan melupakan sejenak kehidupan yang penuh tekanan yang harus dia jalani setiap hari.
---
Bersambung
agar bisa menyenangkan suamimu...❤️❤️