Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Amarah Sang Permaisuri
Di paviliunnya, Aluna duduk termenung di tepi ranjang dengan perasaan yang tak menentu. Pikirannya kembali melayang pada gadis bernama Hae-Ri yang begitu mirip dengan Mira. Kenangan akan sahabatnya di dunia nyata menghangatkan hatinya sekaligus membangkitkan rasa rindu yang dalam. Di tengah rasa bingung dan hampa, ia bertanya-tanya apakah mungkin ada cara untuk kembali ke dunianya.
Tak lama kemudian, seorang pelayan masuk dengan lembut. “Yang Mulia, tabib istana sudah tiba. Pangeran Ji-Woon mengutusnya untuk memeriksa kesehatan Anda.”
Aluna terdiam, agak terkejut mendengar perhatian mendadak dari pangeran. Meski hati kecilnya berbisik bahwa perhatian itu lebih didorong rasa penasaran, Aluna tetap menyambut tabib dengan anggukan pelan.
Tabib berlutut di hadapannya, kemudian dengan hati-hati mengukur denyut nadi di pergelangan tangannya. Aluna mencoba menenangkan debaran jantungnya, meskipun pikirannya masih berputar antara kenyataan dan ingatannya akan dunia yang telah ditinggalkannya. Setelah beberapa saat, tabib itu tersenyum tipis.
“Nona Seo-Rin tampak sehat, namun mungkin membutuhkan istirahat yang cukup,” katanya dengan lembut.
Aluna tersenyum kaku. “Terima kasih, Tabib.”
Setelah tabib dan pelayan meninggalkannya sendirian, Aluna menghela napas panjang. Kini ia benar-benar sendirian di paviliun yang sunyi. Tak ada yang bisa ia ajak bicara, tak ada sahabat seperti Mira yang bisa mengerti apa yang ia rasakan. Hanya ada dirinya sendiri dalam dunia yang terasa begitu asing.
Di luar, langkah-langkah tenang namun mantap bergema mendekat. Pintu paviliun perlahan terbuka, dan di sana berdiri Pangeran Ji-Woon dengan tatapan tenang namun penuh ketertarikan. “Seo-Rin,” panggilnya lembut, namun nada suaranya tetap tegas.
Aluna segera bangkit dan memberi hormat. “Yang Mulia, maafkan jika saya membuat Anda khawatir.”
Pangeran melangkah lebih dekat, sorot matanya menyelidik. “Apa yang terjadi tadi? Kau terlihat sangat tertarik pada putri Menteri Park. Hingga bertanya hal yang, menurutku, cukup aneh.”
Aluna merasa seluruh tubuhnya menegang. Menghadapi Pangeran Ji-Woon yang selalu waspada dan penuh curiga membuat dirinya harus selalu berhati-hati. “Maafkan saya, Yang Mulia. Saya … hanya teringat pada seseorang dari masa lalu. Kemiripan antara Hae-Ri dan orang itu mengejutkan saya.”
Pangeran menatapnya dalam diam sejenak, lalu mengangguk. “Kau adalah selirku sekarang, Seo-Rin. Aku berharap kau dapat menjalankan peranmu dengan sebaik-baiknya. Termasuk bersikap sewajarnya di hadapan para tamu kerajaan.”
Aluna menundukkan kepala. “Tentu, Yang Mulia.”
Ji-Woon menghela napas, tatapan lembut sesaat terlintas di matanya, namun segera tersembunyi di balik sikapnya yang tegas. “Besok kau akan mendampingiku untuk urusan diplomasi. Aku butuh pandanganmu mengenai beberapa pejabat yang dapat diandalkan. Istirahatlah malam ini. Aku tak ingin mendengar keluhanmu kelelahan besok.”
Mendengar perkataan Pangeran, Aluna hanya bisa mengangguk. Setelah pangeran meninggalkannya, ia kembali duduk, kali ini dengan rasa cemas yang berbeda. Rasa khawatir itu kini bukan hanya soal cara kembali ke dunianya, tapi juga tentang tuntutan peran barunya sebagai sekutu pangeran dalam permainan politik istana yang rumit.
*
Di paviliun yang mewah namun terasa dingin, Putri Kang-Ji duduk dengan amarah yang membara. Ia menggenggam erat lengan kursinya, pandangan matanya tajam memandangi jendela besar yang menghadap ke taman istana. Malam itu, kabar bahwa Pangeran Ji-Woon menghabiskan waktu di paviliun Seo-Rin membuat dadanya terasa seperti terbakar.
“Bagaimana mungkin dia begitu terang-terangan mengabaikanku?” desisnya dengan suara yang bergetar menahan emosi. Jubahnya yang megah berkilau di bawah cahaya lentera, namun tak ada yang bisa meredam bara yang berkobar di hatinya. Satu demi satu, bunga-bunga di dalam vas yang tergeletak di mejanya ia patahkan dengan kasar, seolah setiap kelopak yang hancur melambangkan perasaannya yang terkoyak.
Dayang utama Kang-Ji, Young-Sun, mendekat dengan hati-hati, membungkuk dalam ketakutan. Ia telah lama menemani Putri Kang-Ji dan tahu benar betapa kerasnya sang putri saat amarahnya tersulut. “Yang Mulia, mungkin ada alasan mengapa Pangeran Ji-Woon berkunjung ke paviliun Seo-Rin…”
“Alasan?” Kang-Ji menyentakkan pandangannya pada Young-Sun, sorot matanya tajam. “Apa yang mungkin bisa dibicarakan Pangeran dengannya, di malam seperti ini? Hanya ada satu alasan: dia terpikat pada perempuan rendah itu!”
Young-Sun menunduk lebih dalam, tak berani menatap wajah sang permaisuri. “Yang Mulia, bukankah ini kesempatan bagi Anda untuk menunjukkan sisi keanggunan yang lebih berwibawa? Semakin Anda menunjukkan ketegasan, semakin besar kemungkinan Pangeran akan menyadari nilai Anda.”
Kang-Ji tersenyum tipis, tetapi senyum itu lebih mirip senyuman penuh amarah dan kesombongan. “Seo-Rin tak lebih dari sekadar pion dalam permainan ini. Dia mungkin berhasil menarik perhatian Ji-Woon untuk saat ini, tapi aku adalah permaisuri—statusku jauh di atasnya.” Suaranya melunak namun penuh penekanan, seolah ia tengah meyakinkan dirinya sendiri bahwa Seo-Rin tidak lebih dari ancaman sementara.
Namun, di balik pernyataan itu, ada kecemasan tersembunyi yang membuat Kang-Ji gelisah. Ji-Woon tidak pernah bersikap sehangat itu pada siapa pun selain dirinya, dan fakta bahwa ia mengabaikan permaisuri demi seorang selir membuatnya merasa terancam.
Young-Sun mengangguk pelan. “Yang Mulia benar. Anda adalah permaisuri, sosok yang lebih berkuasa dan berwibawa di mata semua orang. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Anda.”
Meskipun kata-kata itu sedikit menenangkan, Kang-Ji masih merasa ada sesuatu yang salah. Pangeran Ji-Woon semakin sering bersama Seo-Rin dan tampaknya tak terpengaruh oleh upayanya untuk menarik perhatian.
“Mulai besok, aku akan memastikan Seo-Rin tahu tempatnya,” gumam Kang-Ji dengan suara rendah namun penuh tekad. Matanya bersinar dengan kebencian yang dalam. Jika Seo-Rin ingin bermain dalam wilayahnya, maka Kang-Ji akan menunjukkan padanya bahwa ia bukanlah lawan yang mudah.
Kecantikan dan anggunnya tidak akan cukup untuk mengalahkan seorang permaisuri yang penuh dengan kekuatan dan tekad. Di dalam dirinya, rencana-rencana baru mulai terbentuk—rencana untuk mempertahankan posisinya sebagai yang paling diinginkan, bahkan jika itu berarti menghancurkan siapa saja yang mencoba merebutnya.
*
Pagi itu, di antara desiran angin yang lembut, Kang-Ji melangkah memasuki taman istana dengan iringan para dayangnya. Meski wajahnya tampak tenang, di balik senyum tipisnya tersimpan niat yang penuh perhitungan. Hari ini, ia bertekad menunjukkan siapa yang benar-benar memegang kendali di istana. Jika Seo-Rin ingin berperan sebagai sekutu Ji-Woon, maka ia harus merasakan beban yang datang bersamaan dengan kedudukan itu.
Di sisi lain, Seo-Rin—dalam tubuhnya yang diisi jiwa Aluna—hanya berharap waktu ini berlalu cepat. Ia sadar bahwa posisinya sebagai selir telah memicu berbagai kecemburuan dan intrik, terutama dari Kang-Ji.
Namun, ketika ia berada di taman itu, takdir sekali lagi mempertemukannya dengan permaisuri yang penuh amarah. Dengan senyum yang tampak ramah namun menyimpan niat tersembunyi, Kang-Ji mendekat ke arahnya, diikuti oleh dayang-dayangnya yang tampak menunduk dalam ketakutan.
“Selamat pagi, Seo-Rin,” sapa Kang-Ji dengan nada lembut yang dipaksakan. “Aku melihat kau sering menemani Pangeran Ji-Woon akhir-akhir ini. Pasti sangat melelahkan bagimu, bukan?”
Aluna tersentak. Ia dapat merasakan bahwa ini bukanlah percakapan ramah. Namun, dengan tenang, ia membalas, “Hamba hanya melakukan tugas yang diperintahkan oleh Yang Mulia Pangeran. Jika beliau berkenan, hamba pasti akan melaksanakan apa pun yang diperintahkan.”
Kang-Ji tertawa kecil, meskipun suaranya terdengar tajam. “Oh, kau begitu patuh, Seo-Rin. Tapi sebagai selir, kau harus tahu batas-batasmu. Jangan sampai kau lupa siapa yang memiliki hak atas posisi di sisi pangeran.”
Aluna hanya tersenyum samar, mencoba menyembunyikan ketegangan yang mulai muncul. “Tentu saja, Yang Mulia Permaisuri. Hamba hanya ingin melayani yang terbaik untuk Pangeran Ji-Woon, demi kehormatan istana ini.”
Namun, kata-kata itu justru semakin memancing amarah di hati Kang-Ji. Dengan mata yang bersinar penuh kecemburuan, ia mendekat lebih lagi, menyisakan hanya beberapa jengkal di antara mereka. “Ketahuilah, Seo-Rin, posisimu di istana ini hanyalah sementara. Kau tidak lebih dari seorang bayang-bayang yang akan segera sirna.”
Di bawah tekanan tatapan permaisuri, Aluna merasakan kebencian yang begitu mendalam. Ia tahu bahwa permainan ini semakin berbahaya, namun tak bisa mundur begitu saja.
Di kejauhan, Pangeran Ji-Woon memperhatikan percakapan itu dengan pandangan tajam. Meski ia tidak mendengar seluruhnya, ia tahu bahwa keduanya tidak memiliki hubungan yang harmonis. Ji-Woon mendekati mereka, membuat Kang-Ji segera memasang ekspresi tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Seo-Rin, mari kita kembali,” ucap Ji-Woon singkat namun tegas, seraya melirik Kang-Ji yang tampak memasang senyum formal.
Seo-Rin membungkukkan tubuhnya pada sang permaisuri sebelum mengikuti langkah pangeran.
Namun, di saat punggung mereka berpaling, wajah Kang-Ji berubah tajam. Ia bertekad untuk tidak membiarkan Seo-Rin atau siapapun merebut perhatian Ji-Woon dari sisinya. Kang-Ji berjanji, bahwa ia akan melakukan apa saja demi mempertahankan posisinya di hati pangeran, bahkan jika ia harus menyingkirkan lawan-lawannya dalam bayang-bayang kelam yang kini semakin pekat mengelilinginya.
Bersambung >>>
𝐤𝐚𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐥𝐮𝐧𝐚 𝐤𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐨 𝐫𝐢𝐧, 𝐣𝐝𝐢 𝐤𝐮𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐞𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐜𝐚
𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐠𝐮𝐬 , 𝐭𝐭𝐞𝐩 𝐬𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭