novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Bayangan Masa Lalu
Suara dedaunan yang berdesir seakan memekakkan telinga Aric saat ia berdiri diam di tempat, memandangi bayangan ayahnya. Dada Aric terasa sesak, seolah jantungnya sedang diremas. Ia tahu ini bukan kenyataan, tetapi rasa sakit yang menyayat hati itu sangat nyata. "Aku tahu ini tidak mungkin... Tapi kenapa rasanya begitu nyata?" pikir Aric, merasakan kakinya lemas.
"Aric," suara lembut Lyria berusaha menarik perhatian sahabatnya. "Kita harus tetap kuat." Namun, suaranya pun terdengar gemetar, seolah ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Bayangan gurunya yang pernah ia kagumi masih berdiri tak jauh darinya, mata penuh kebencian menusuk jiwa Lyria.
Kael, yang biasanya tegar dan penuh percaya diri, kini tampak rapuh. Bayangan adik perempuannya, Lina, menghantuinya dengan tatapan sedih. "Kael," bayangan itu berkata dengan suara yang pecah, "kenapa kau tidak melindungiku?"
Kael mundur satu langkah, suaranya hampir tak keluar. "Lina... aku... aku mencoba..." Dia menutup matanya, air mata yang jarang keluar kini mengalir di wajahnya. Ingatan tentang malam kelam ketika ia gagal melindungi adiknya kembali menyergap. Kael merasa seakan seluruh beban dunia jatuh di pundaknya.
Seraphine, wanita misterius yang memanggil bayangan-bayangan itu, tetap berdiri di sana, memperhatikan mereka bertiga dengan tatapan penuh minat. "Bagaimana?" katanya, suaranya terdengar seperti angin berbisik. "Bisakah kalian menghadapi rasa sakit itu? Atau kalian akan terus dihantui oleh rasa bersalah?"
Aric menguatkan dirinya, menggenggam pedangnya dengan erat. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan ayahnya dari pikirannya. Tapi suara itu terus menggema. "Aric, kau gagal... Kau membiarkan keluargamu hancur." Kata-kata itu mengiris perasaan Aric lebih dalam dari pedang mana pun.
"Cukup!" Aric akhirnya berteriak, suaranya penuh dengan amarah dan rasa sakit. Ia membuka matanya, menatap bayangan ayahnya dengan tatapan tajam. "Aku tidak bisa mengubah masa lalu! Aku tahu aku gagal, tapi aku tidak akan membiarkan masa lalu terus menghantui hidupku." Ia mengayunkan pedangnya, berusaha menghancurkan bayangan itu.
Namun, pedang Aric hanya menembus bayangan, dan sosok itu tetap utuh. Seraphine tertawa kecil, menikmati penderitaan mereka. "Kekuatan fisik tidak akan membebaskan kalian," katanya, menggelengkan kepala. "Ini adalah ujian hati. Hanya jika kalian bisa menerima dan memaafkan diri sendiri, bayangan ini akan menghilang."
Lyria menunduk, merasakan rasa bersalah menggerogoti hatinya. Ia mengingat semua kesalahan yang pernah ia buat, terutama kenangan saat ia gagal menyelamatkan desa dari serangan bandit. Ia selalu menyalahkan dirinya atas kematian orang-orang yang ia sayangi. "Aku tidak cukup kuat... aku tidak cukup hebat," pikirnya.
"Lyria," Aric memanggilnya, mencoba menyadarkannya. "Kita tidak bisa menyerah. Ingat tujuan kita. Kita datang ke sini bukan untuk dikalahkan oleh kenangan masa lalu." Matanya penuh determinasi, meskipun rasa sakit masih berdenyut dalam dirinya.
Lyria mendongak, menatap Aric dengan mata penuh air mata. Ia tahu Aric benar, tetapi bagaimana caranya melawan rasa bersalah yang terus menghantuinya? Ia menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. "Aku harus menerima ini," pikirnya. "Aku harus berdamai dengan masa lalu."
Kael mengusap wajahnya, air mata yang jarang terlihat akhirnya menetes di pipinya. "Aku selalu menyalahkan diriku sendiri atas hilangnya Lina," katanya pelan, nyaris seperti berbisik. "Aku merasa tidak pantas disebut petualang setelah kegagalan itu." Ia menggigit bibirnya, marah pada dirinya sendiri. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu ia tidak bisa terus hidup dalam penyesalan.
Seraphine mengamati perubahan emosi mereka, bibirnya melengkung menjadi senyum samar. "Menerima kenyataan adalah langkah pertama," katanya. "Tapi apakah kalian cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan?"
Aric menegakkan bahunya, menatap Seraphine dengan keberanian yang baru. "Kami lebih kuat dari yang kau kira," katanya. "Kami tidak akan membiarkan masa lalu menghancurkan masa depan kami." Ia merasakan energi aneh mengalir dalam dirinya, seolah-olah keputusannya untuk menghadapi rasa sakit membuka kekuatan yang terpendam.
Lyria menarik napas panjang, menghapus air mata dari wajahnya. "Aku tidak bisa membatalkan apa yang sudah terjadi," katanya, suaranya kini lebih tegar. "Tapi aku bisa menjadi lebih kuat, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama." Tongkat sihir di tangannya mulai bersinar, seakan merespon keberaniannya.
Kael, yang tadinya tampak rapuh, kini berdiri lebih tegak. "Lina mungkin sudah tiada," katanya, suara bergetar tetapi tegas. "Tapi aku akan terus berjuang demi orang-orang yang masih bisa kuselamatkan." Ia melepaskan busurnya, merasakan beban rasa bersalah perlahan memudar.
Seraphine menatap mereka bertiga, ekspresinya berubah serius. "Kalian memang memiliki keberanian," katanya pelan. "Tapi perjalanan kalian masih panjang. Aku harap kalian siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar." Ia melambaikan tangannya, dan bayangan-bayangan itu perlahan menghilang, seperti asap yang tertiup angin.
Aric menghela napas panjang, tubuhnya terasa ringan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. "Kita berhasil," katanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Lyria tersenyum tipis, meskipun rasa lelah masih membayangi wajahnya. "Ya," katanya, "tapi ini baru permulaan."
Kael mengangguk, meskipun pikirannya masih dipenuhi perasaan campur aduk. "Mari kita lanjutkan," katanya, menggenggam busurnya erat-erat. "Kita tidak bisa berhenti di sini."
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan, melangkah lebih mantap. Hutan Aether yang dulu tampak penuh ketakutan kini terasa sedikit lebih terang. Tapi mereka tahu, bahaya yang lebih besar masih menunggu di depan, dan mereka harus siap menghadapi segalanya.