Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keraguan
“Mas, aku mau kerja lagi ya? Pagi itu aku bertanya pada Riko yang baru saja bangun. Buatku, pertanyaan ini adalah hal ringan. Tidak mungkin merusak suasana hatinya, apalagi sudah tiga minggu kami melewati surga suami istri.
“Buat apa? Di mana?” suara Riko meninggi. Aku sedikit kaget dengan intonasinya itu. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku.
“Aku itu gak biasa kalau gak kerja Mas. Lagian kata kamu sebelum nikah, aku boleh kerja lagi asal di Jakarta. Kerjaan aku yang terakhir di Bogor kan kejauhan dari rumah ini.”
“Iya, kerja di mana?”
“Di lembaga penelitian Mas. Besok aku diminta datang buat wawancara. Mas ikut aja!”
“Kapan ngelamarnya? Kok gak bilang?”
“Kemaren gak sengaja aku chat Ibu Susi. Dulu aku pernah satu kantor sama dia, ternyata dia sudah pindah ke lembaga itu. Jadi ngobrol-ngobrol deh. Eh malah diajak gabung. Katanya, datang aja dulu ke sini.” Aku bercerita panjang lebar soal pekerjaan itu. Jarak dari rumah menuju lembaga tersebut tidak terlalu jauh. Sekitar 45 menit sampai jika lancar. Riko diam, tidak merespon. Ia malah sibuk dengan ponselnya.
Keesokan harinya, kami pergi ke kantor Bu Susi. Riko menunggu di bawah. Aku dan Bu Susi sudah mencapai kesepakatan. Ternyata, beliau yang memimpin Divisi Riset. Tugasku hanya menelepon objek sampel untuk menanyakan tingkat kepuasan dan beberapa pertanyaan lainnya. Tentu saja sesekali, aku harus datang ke perusahaan untuk membagikan angket. Tetapi itu hanya sesekali saja. Akhirnya, Bu Susi memintaku untuk mulai bekerja besok pagi.
”Mas, Alhamdulillah. Aku diterima. Besok pagi mulai kerja.” Sambil tersenyum sumringah, aku menatap Riko yang sedang mengemudikan mobil.
“Gaji berapa?” tanyanya ketus.
Agak aneh Riko bertanya soal gaji. Bukankah hal pertama yang harus ia ucapkan adalah kata ‘selamat’. Memangnya kenapa kalau gajiku kecil atau besar. Dia tau persis alasan aku bekerja. Anak sulungku sebentar lagi masuk SD, ia cukup mandiri sehingga tidak membutuhkan pengasuh. Apalagi, aku sudah berencana untuk menyekolahkannya ke sekolah swasta dengan metode belajar fullday system. Aku bekerja agar kemampuan yang kumiliki tidak mati. Dulu, ketika aku bekerja di perusahaan besar, posisiku cukup lumayan sebagai manajer. Gaji, tunjangan, asuransi, uang makan, dan bonus, aku dapatkan dengan jumlah lumayan besar. Belum lagi fasilitas hotel bintang lima jika aku melakukan perjalanan dinas. Perusahaan terakhir tempatku bekerja ketika bertemu dengan Riko pun sebenarnya lumayan bagus. Tetapi Riko menyuruhku berhenti dengan alasan terlalu jauh. Aku hanya bertahan beberapa bulan di sana.
Jadi, kalau hari ini Riko bertanya jumlah gajiku, rasanya aku tersinggung. Tapi, ah mungkin dia hanya ingin tau saja.
“Hemm gaji pokoknya sih sekitar lima juta mas. Tapi nanti ada insentif kok.” Gaji yang kecil sebenarnya kalau dibandingkan dengan keahlianku di masa lalu. Tetapi aku memang butuh kegiatan.
“Ya ampun Na. Ngapain capek-capek kerja di situ kalau gajinya kecil. Jauh pula dari rumah. Gak usah, mending kamu buka usaha sendiri aja!”
Aku terdiam. Selalu ada alasan yang sama. Lagi-lagi jarak. Memangnya kenapa dengan jarak? Masih di Jakarta. Perjalanan rumah menuju kantor sekitar satu sampai dua jam itu wajar untuk di kota besar. apa karena gajinya yang kecil? Atau karena dia merasa mampu memberi lebih daripada itu. Tempat terakhirku bekerja memberiku gaji sepuluh juta. Cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan ibukku. Tetapi aku rela berhenti demi menjaga kekhawatiran Riko.
Riko memang terbilang mampu untuk memenuhi kebutuhan kami. Dia memiliki usaha showroom mobil dan motor. Karyawannya tidak banyak, hanya dua orang ditambah satu sopir. Tempat usaha showroom berupa ruko tiga lantai itu, ditinggali Riko sebelum menikah denganku. Setelah menikah, Riko tinggal di rumah kami dan pergi ke ruko yang terletak di daerah BSD.
“Sayang, Eyang Putri nyuruh mampir!” tiba-tiba Riko membuyarkan lamunanku.
“Kapan?” Sambil membetulkan kerudung, aku menoleh suamiku sesaat. Sepertinya, aku harus merayu sekali lagi agar diizinkan bekerja di lembaga penelitian tersebut.
“Sekarang! Oh ya, soal kerjaan dengan Bu Susi tadi, jangan dibahas lagi ya. Aku gak setuju!” Riko menyampaikan hal tersebut dengan ketus. Mirip adegan sinetron seorang bos galak yang berbicara pada bawahannya. Dan aku, hanya bisa menahan amarah, menahan pendapat, menahan segala yang kupikirkan dan kurasakan. Demi sebuah pernikahan.
“Ya sudah mampir dulu ke toko kue. Aku mau bawa cake kesukaannya!”
“Enggak usah! Eyang gak minta kok!”
Enggak minta? Memangnya harus nunggu diminta orangtua. Aku sedikit bingung. Ah, bukan sedikit tetapi banyak. Berarti selama ini, kalau aku bawa oleh-oleh atau makanan untuk keluargaku dan dia yang bayar, dia keberatan?
“Aku mau bawa, ga sopan ke rumah orang tua tapi gak bawa apa-apa!
“Sayang, keluarga aku itu enggak begitu. Ibuku gak akan marah kok kalau gak bawa makanan, paling juga nanti kamu dibawain makanan.”
“Justru itu Mas, Eyang itu sudah sering ngasih makanan dan lain-lain buat kita. Masa kita gak bawa apa-apa. Lagi pula kamu aneh deh, waktu kita belum nikah, kamu gak komplen. “
Riko diam. Akhirnya ia menepikan mobilnya di toko kue. Sepanjang perjalanan, perdebatan kami soal cake kesukaan Eyang, kuhentikan. Aku tidak ingin berdebat lagi. Dua hal yang membuatku tidak setuju dan bertanya-tanya. Soal pekerjaan dan masalah oleh-oleh.
“Assalaamualaikum!” Aku masuk ke rumah di jalan Siaga itu. Rumah bercat putih dengan model klasik. Kursi ruang tamu dan perabot lain yang terbuat dari kayu jati. Khusus didatangkan dari Jepara. Di sudut-sudut ruangan, terlihat beberapa guci yang di bawa langsung dari China oleh Eyang Kakung. Sedangkan dinding-dinding rumah, Nampak penuh oleh lukisan-lukisan kuda dan gajah. Itu juga sama, di bawa Eyang kakung dari Thailand. Eyang Kakung memang bekerja keliling Asia, di bidang ekspor dan impor.
“Waalaikumsalam!” Eyang putri menghampiri kami. Ia langsung mencium dan memelukku. Ada Ria sedang duduk di ruang TV. Ria, adik Riko memang tinggal bersama Eyang di rumah itu. Suaminya terlalu sibuk bekerja dan mengurus ibunya yang sering sakit. Ria pun sepertinya lebih betah tinggal bersama orangtuanya.
“Waduh bawa apa ini?” tanya eyang karena melihatku meletakkan cake di atas meja makan.
“Ini loh cake kesukaan Eyang, rasa pandan!” jawabku sambil tersenyum lantas mengambil pisau dan beberapa piring kecil.
“Wah makasih ya, berapa kamu beli? Nanti Eyang ganti! Oh ya, Ria … Ria.. ambilkan sendok kecil dan piring kue! Kalau kue ini bukan yang ini piringnya Na, sendoknya juga harusnya sekalian dibawa!”
Sebentar. Apa aku tidak salah dengar. Diganti? Apa maksud Eyang dengan ‘diganti’. Kenapa dia harus mengganti kue yang aku bawa. Dan kenapa seolah-olah kata-kata itu sudah biasa dilontarkan Eyang. Aku bergegas ke dapur menghampiri Ria. Ingin kutanyakan hal kecil yang sedikit mengganggu ini.
“Ria, itu maksudnya apa ya? Maksud Eyang dengan ‘diganti’ tadi?” tanyaku setengah berbisik.
“Oh itu, iya diganti buat beli kuenya.”
“Kenapa? Aku kan ngasih buat Eyang, bukan untuk minta diganti.”
“Loh, memang harus diganti. Nanti juga Mas Riko minta ganti. Biasanya begitu kok Mbak!”
“Biasanya? Maksudnya?” Aku bertanya lagi sambil keheranan.
“Dari dulu juga memang seperti itu. Kalau Mas Riko diminta belikan sesuatu atau bawa sesuatu, pasti Mas Riko minta ganti sama Eyang.”
Ria kembali ke meja makan sambil memotong kue. Aku yang masih berdiri di dapur seketika mematung dan bingung. Kemudian, aku mencuci beberapa gelas kotor yang ada di sana. Hari sudah siang, pembantu rumah itu biasanya sudah pulang. Samar-samar kudengar pembicaraan Eyang putri dengan Riko. Sepertinya, Riko tidak sadar dengan keberadaanku di dapur. Terlebih lagi, pintu dapur sedikit tertutup.
“Tinggal berapa bulan lagi habis sewa rukonya Mas?”
“Bulan depan Yangti. Saya dari mana kalau bukan dari Yangti.”
“Tapi kamu setiap hari ke Ruko?”
“Tergantung situasi. Kalau Raina ada acara ke luar atau ketemu temannya, saya harus antar, gak bisalah saya ke Ruko.”
“Ya antar saja tapi enggak usah ditunggu, Mas!”
“Enggak bisalah, nanti kalau Raina kenapa-napa?”
“Ih, kamu ini, Mas. Yo wes, ini uangya seratus tigapuluh juta ya. Nanti Eyang bilang sama Yangkung. Tahun berikutnya, kamu cari pinjaman saja. Kayaknya setahun lagi Yangkung pensiun.”
Sewa ruko? Apalagi ini. Bukannya ruko itu milik Riko. Kenapa jadi sewa? Berarti selama ini Riko berbohong soal ruko. Kuperhatikan Eyang dan Riko dari balik pintu dapur. Aku mengambil lap, pura-pura membersihkan meja dapur dan kompor, sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
“Oh iya Eyang, gaji karyawan belum Eyang transfer ya. Besok mereka gajian.” Kata Riko sedikit berbisik.
“Ya nanti ditransfer.”
Aku semakin terdiam. Gaji karyawan dan ruko. Baiklah, jadi selama ini ruko itu hanya sewa, dan karyawan Riko digaji dari uang Eyang. Ditambah lagi alasan Riko jarang ke ruko belakangan ini karena sering mengantar aku dan takut kenapa-napa? Aku menarik napas dalam-dalam sambil menahan amarah. Rasanya ingin kulangkahkan kaki ini untuk segera pulang.
“Raina!” Eyang putri memanggilku.
“Ya Eyang,” aku bergegas ke meja makan. Menghampiri Yangti yang sedang duduk bersama Riko dan Ria. Kutatap mata Riko. Dia sedikit terkejut karena melihatku keluar dari dapur.
“Loh aku pikir kamu di kamar. Engga salat?” Tanya Riko.
“Iya, mau Mas sebentar lagi.”
“Raina, kamu enggak mau belajar masak dari Ria. Ria itu kan pintar masak. Coba kamu belajar masak makanan Jawa. Siapa tau nanti bisa buka rumah makan atau jualan apa gitu di rukonya Riko. Kan bisa bagi dua ruangannya dengan showroom. Lagi pula ruko itu banyak ruangan yang tidak terpakai.”
“Oh iya Eyang. Nanti saya coba. Tadinya sih mau kerja lagi, tapi Mas Riko keberatan.”
Sekalian saja kubuka masalah pekerjaan tadi pagi. Supaya orang tuanya tahu kalau anaknya banyak melarang. Apalagi sekarang, aku baru tahu kalau Riko berbohong soal tempat usahanya. Dari situ saja cukup terlihat kalau dia ternyata belum mampu untuk hidup mandiri.
“Ya kalau suami keberatan, istri memang harus patuh.” Eyang melirikku dan tersenyum. Kepatuhan seorang istri segalanya bagi mereka. Hal itu terlihat dari posisi Eyang Putri sebagai ibu rumah tangga. Begitu juga dengan Ria, ia tidak bekerja di luar rumah meskipun pendidikannya cukup tinggi.
Tak ada pembelaan dari Eyang putri. Eyang justru membahas kalau aku buka usaha nanti, ia sudah menyiapkan perlengkapan memasak untukku. Ria juga sepertinya mendukung usulan Eyang.
Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Riko bertengkar. Riko mengakui kebohongannya dan meminta maaf. Dia bilang, dia sangat takut kehilanganku kalau dia jujur soal ruko dan gaji karyawan. Usahanya sedang menurun, jadi beberapa bulan ini, Eyang yang menutupi gaji karyawan. Lalu Riko bercerita tentang kesuksesannya di masa lalu. Ketika dia mampu membeli rumah dari hasil kerja kerasnya.
Ada rasa iba yang hadir di dadaku. Barangkali benar, roda kehidupan selalu berputar. Tak ada salahnya juga aku membantu suami. Jika memang harus bekerja lagi, buka usaha makanan mungkin jawabannya karena hanya itu yang diizinkan suamiku. Sekalian memanfaatkan ruko yang ada, aku juga tidak perlu jauh-jauh dengan Riko.