Kehidupan Agnia pada awalnya dipenuhi rasa bahagia. Kasih sayang dari keluarga angkatnya begitu melimpah. Sampai akhirnya dia tahu, jika selama ini kasih sayang yang ia dapatkan hanya sebuah kepalsuan.
Kejadian tidak terduga yang menorehkan luka berhasil membuatnya bertemu dengan dua hal yang membawa perubahan dalam hidupnya.
Kehadiran Abian yang ternyata berhasil membawa arti tersendiri dalam hati Agnia, hingga sosok Kaivan yang memiliki obsesi terhadapnya.
Ini bukan hanya tentang Agnia, tapi juga dua pria yang sama-sama terlibat dalam kisah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Sri.R06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan yang Berulang
Agnia baru saja selesai melayani pembeli saat sebuah pertanyaan muncul begitu saja sampai membuat wanita itu mengernyit tidak mengerti. “Apa kamu sudah mendengarnya?”
“Mendengar apa?” tanya Agnia, mencoba menanggapi teman kerjanya yang memang memiliki kebiasaan mengumpulkan informasi terbaru di sekitar mereka.
“Itu loh, Pak Dani,” katanya, mulai membuka informasi.
“Iya, Pak Dani kenapa?” Agnia berusaha sabar, tidak bisakah temannya mengatakan sesuatu itu sekaligus?
“Dengar-dengar, ya. Dia baru saja putus dari tunangannya. Katanya, sih, karena tunangannya ketahuan selingkuh dengan temannya.”
Pergerakan Agnia yang sedang mengoperasikan komputer pun terhenti. Sebenarnya yang membuat dia kaget bukan masalah putusnya hubungan atasannya dengan tunangannya itu. Tapi karena tunangan atasannya yang justru berselingkuh, dan bukan Pak Dani Manager mereka.
“Apa berita itu benar?” tanya Agnia, merasa tidak yakin.
Temannya itu mengangguk pasti, tampak sekali tidak ada keraguan di matanya.
“Bagaimanapun, kelakuan Pak Dani sendiri memang sudah terkenal sering menggoda wanita-wanita muda terlepas dari dia serius atau tidak. Tapi saat tahu ternyata tunangannya selingkuh, mungkin putus memang jalan terbaik untuk mereka. Mungkin itu salah satu jalan yang terbaik supaya mereka tidak saling menyakiti.” Agnia menghela napas, memikirkan ini membuatnya tersadar, mencari pasangan yang bisa menjadi sandaran dan saling berbagi perasaan dengan tulus mungkin akan sangat sulit.
Namun itu bukan menjadi tujuan utamanya. Dia hanya ingin bekerja dan mendapatkan uang. Lulus dari universitasnya dengan baik dan menjauh dari banyak masalah.
Temannya itu mengangguk setuju. “Kamu memang terkadang bisa menjadi sangat bijak. Senang aku memiliki teman seperti kamu.”
Agnia hanya tersenyum kecil menggelengkan kepalanya sedikit. Sudah biasa ia menghadapi kelakuan temannya itu yang terkadang cukup aneh.
Agnia mengecek arloji di tangannya, sudah pukul 15.00 ini adalah waktunya untuk pulang. Namun saat Agnia bersiap untuk membereskan barang bawaannya. Teman wanitanya itu tiba-tiba menunjukkan gelagat aneh. Agnia mengerutkan kening, curiga. “Kenapa?”
Dia tampak menunjukkan cengiran yang membuat Agnia hampir kesal. “Anu … itu, bisa ditunda dulu tidak pulangnya, takut ada pelanggan. Aku mau ke toilet sebentar.” Mengatupkan tangan di depan dada dia kemudian melanjutkan saat menyadari raut wajah Agnia yang mulai tidak enak. “10 menit, janji!” Bahkan tidak menunggu jawaban Agnia, wanita dengan jepit rambut pita berwarna soft pink itu langsung berlari ke belakang menuju toilet di mana dia bisa menyelesaikan urusannya.
Pada Akhirnya, Agnia hanya bisa menghela napas, dia akan membantu temannya itu untuk kali ini. Namun ternyata, ketakutan temannya itu benar, tepat saat dentingan bel terdengar seorang pria dengan setelan rapi masuk dan langsung menuju tempat Agnia bertugas, area kasir.
“Saya ingin mengambil pesanan atas nama Abian.” Suara bernada bariton membuat Agnia tertegun, dia merasa familiar dengan suara itu. Meskipun nada dinginnya terlalu mendominasi, namun kelembutan yang tersembunyi di dalam suaranya berhasil Agnia tangkap, seolah dia pernah mendengar suara itu sebelumnya.
“Baik, Tunggu sebentar.” Agnia mengambil sebuah kotak dengan nama yang tertera, itu memang sudah ada di sana beberapa saat lalu.
“Silahkan.” Agnia menyerahkan kotak kue yang tertutup paper bag itu pada pria di depannya. “Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan lagi, Pak?” Agnia kembali bertanya, takut-takut mungkin pria itu membutuhkan sesuatu yang lain.
“Tidak, terima kasih,” pria itu sedikit mengangkat paper bag, dia menatap pada Agnia sekilas tampak sedang berpikir tentang sesuatu. “Apa … kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya pria itu tampak ragu.
Agnia mengangkat sebelah alis. Terdiam sebentar, dia tampak berpikir. Agnia juga beranggapan sama, pria ini tampak cukup familiar baginya, tapi dia tidak yakin. Karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman. Dengan senyum profesional Agnia lantas menggeleng. “Saya rasa tidak pernah, Pak.” jawabnya, nada suara wanita itu tampak begitu yakin.
Kemudian pria itu tampak mengangguk. Setelahnya dia langsung pergi begitu saja dari sana. Membuat Agnia mengernyit tentang maksud dari pertanyaan itu.
Pria itu, Abian putra Bellamy, dia baru saja keluar dari toko kue saat pikiran itu tiba-tiba muncul di kepalanya. Tapi, kenapa aku merasa jika kita pernah bertemu sebelumnya?
***
Tampaknya rencana pulangnya harus tertunda untuk beberapa waktu lagi, Agnia kini harus mengantarkan pesanan kue ke sebuah perusahaan karena permintaan dari pemilik toko. Katanya driver yang seharusnya mengantar pesanan mengalami masalah, dan driver lain sedang begitu sibuk. Entah kenapa kini menjadi dia yang harus dimintai tolong untuk mengantar pesanan itu.
Namun disinilah Agnia sekarang. Kepalanya mendongak menatap gedung tinggi di hadapannya. Nama gedung itu terpampang begitu jelas di depan matanya. Perusahaan itu begitu megah dan … sangat besar.
“Perusahaan Madhava Grup, pasti ini perusahaan yang dimaksud. Jadi aku hanya tinggal memberikan ini pada orang yang memesan pesanan ini, bukan?” Agnia kemudian melangkahkan kakinya memasuki gedung perusahaan, dia mulai menuju tempat tujuan setelah sebelumnya bertanya dan diarahkan ke sebuah ruangan di lantai 36.
Agnia menelpon nomor yang tertera di kertas yang diberikan oleh pemilik toko miliknya bekerja. Dia ingin segera meninggalkan tempat ini, kakinya sudah terlalu lelah untuk tetap berada di sana. Jadi saat disuruh menunggu sebentar oleh orang yang dia hubungi, Agnia hanya bisa menurut.
Sepatu flatnya mengetuk lantai marmer untuk menghalau rasa bosan, sesekali matanya menyapu segala sisi untuk memperhatikan setiap detail dari tempat itu. Entahlah, Agnia hanya suka melakukannya.
Kemudian saat suara pintu ruangan di depannya terbuka, Agnia segera berbalik. Di sana sudah ada seorang pria yang berdiri dengan wajah datar menatap Agnia dengan tatapan dingin. “Itu pesanannya?”
“Benar, pesanan atas nama Cecilia Ranisya.” Agnia menyebutkan satu nama, guna mengkonfirmasi pesanan yang diantarkan itu benar-benar sampai ditujuan.
“Iya, itu Saya.”
Agnia terkejut, apa ini semacam nama samaran? Tapi mendengar suara di telepon tadi adalah seorang wanita benar-benar membuat otaknya terkuras. Tapi Agnia tidak peduli, dia sudah menyelesaikan tugasnya. Kini hanya perlu kembali setelah dia memberikan kue itu.
“Kalau begitu, silahkan, Pak.” Agnia menyodorkan paper bag berisi pesanan kue itu pada pria didepannya. Namun bukannya menerima, pria itu tampak memperhatikan wajah Agnia begitu lama, jelas karena hal itu Agnia merasa risih.
“Sepertinya setelah ini kamu tidak bisa pergi, karena Saya menginginkannya?!”
“Maaf?” Agnia jelas tidak mengerti dengan ucapan aneh pria itu, nyatanya tampang yang bagus tidak menunjukkan hal serupa untuk kepribadiannya.
Jadi karena tidak ingin menghadapi keanehan pria itu lebih jauh lagi Agnia memilih untuk menaruh paper bag itu di telapak tangan pria itu dengan cepat. Biarlah itu disebut tidak sopan, lagi pula pria itu yang memulainya terlebih dulu membuat Agnia tidak nyaman.
Tepat saat Agnia akan berbalik untuk pergi, pergelangan tangannya tiba-tiba dicekal begitu erat, membuat Agnia berjengit kaget mendapat perlakuan seperti itu.
“Bukankah sudahku bilang, kamu tidak bisa pergi setelah ini!”
Gila! Agnia merasa sekujur tubuhnya merinding. Dia merasakan rasa panas dan perih dari cengkraman pria itu. Tenaganya tidak cukup untuk melepaskan diri.
“Dengar, Pak. Sepertinya Anda salah paham tentang sesuatu. Tapi Saya tidak mengenal Anda, jadi sebaiknya Anda lepaskan tangan Saya sebelum Saya berteriak!” ancam Agnia, dengan sorot mata tajam.
Agnia berdecak dalam hatinya, kenapa orang-orang seolah menghilang saat ini. Tidak ada yang lewat di sekitar mereka, padahal sebelumnya akan ada pegawai perusahaan yang berlalu lalang meskipun tidak sering.
“Sayang … kamu kok lama?” Suara seorang wanita terdengar, membuat Agnia semakin panik, dia tidak ingin disalahpahami. Jadi Agnia memilih jalur penyelamatan untuk melindungi diri. Dia mengerahkan tenaganya pada kaki yang saat ini menginjak dengan keras sepatu kulit milik pria itu. Sepertinya itu berhasil karena saat merasakan cengkraman di pergelangan tangannya mulai mengendur Agnia segera menarik tangannya sekuat tenaga. Terakhir, melayangkan tatapan membunuh pada pria itu sebelum berjalan pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.
“Kaivan, ih, kok kamu lama banget sih.” Wanita itu menunjukkan wajah cemberut. “Aku nunggu kamu, loh, dari tadi.” Karena terlalu kesal menunggu, wanita bernama Cecilia itu mendekat lantas melingkarkan tangannya dengan manja di lengan pria itu.
“Kenapa, sih?” tanyanya lagi, karena masih belum mendapat respon dari orang yang dia cintai itu.
“Bukan apa-apa, hanya bertemu dengan kenalan lama.”
Meskipun bingung wanita itu hanya mengangguk saja. Pandangannya kemudian mengarah pada sesuatu yang berada di tangan kekasihnya. “Itu kue pesanan aku, ya? Makasih Sayang.”
Kaivan hanya tersenyum simpul, pikirannya masih belum lepas dari sosok Agnia. Bahkan kini jantungnya berdetak terlalu cepat saat memikirkan wanita itu, seolah ada adrenalin yang menjalar di setiap aliran darahnya. Perlahan seutas senyum terbentuk. Aku tidak mungkin salah mengenali orang, dan kamu adalah seseorang yang membuatku yakin.
***
Agnia benar-benar merasa harinya sangat berantakan. Bertemu dengan dua pria yang bersikap seolah mereka pernah bertemu membuat Agnia merasa bingung. Dia tidak terlalu keberatan dengan Abian, karena dia sendiri pun merasa demikian, namun dengan Kaivan? Agnia benar-benar tidak memiliki ingatan apapun tentang pria itu.
Agnia menghela napas sebelum fokus utamanya kembali ke jalanan yang hari itu tidak terlalu ramai oleh kendaraan. Semuanya baik-baik saja hingga langkahnya hampir sampai di ujung jalan, dan harus menghadapi kejadian yang membuat jantungnya berdetak berkali lipat.
Sebuah mobil hitam melaju dari kanannya bersamaan dengan suara klakson panjang dan nyaring yang berhasil memekakkan telinga. Agnia melesat beberapa centi lebih cepat sebelum mobil itu berhasil menyentuhnya. Deru napasnya memburu dengan helaan nafas lega karena baru saja berhasil terlepas dari maut.
“Bagaimana bisa dia mengemudi seperti itu?! Apa dia tidak melihat lampu merah di sana?!”
Agnia berusaha mengatur napasnya yang masih memburu, menenangkan diri untuk yang kesekian kalinya. Dia memperhatikan mobil itu yang sudah melaju cukup jauh. Benar-benar tidak memiliki rasa tanggung jawab, pikirnya.
“Kamu tidak apa-apa?”
Agnia berbalik mendengar suara berat seseorang berbicara di sebelahnya. Sedikit tertegun saat kepalanya memutar memory beberapa waktu lalu, dia tahu orang ini, mereka pernah bertemu sebelumnya.
“Iya, aku baik-baik saja,” kata Agnia, namun selanjutnya sorot matanya menyendu saat melihat stok makanan yang ia beli sebelumnya justru sudah hancur. Sepertinya terlindas oleh mobil tadi.
“Seharusnya aku bisa menahannya lebih lama.” Agnia mencebikkan bibirnya melihat makanannya sudah berserakan di jalan. Dia terlalu kaget saat mobil tadi melaju dan hampir mengenainya, hingga tidak sadar jika apa yang ia bawa terlepas dari genggaman tangannya.
“Apa?” tanya pria itu, menatap Agnia dengan sorot bingung.
Agnia hanya menggeleng, dia tidak harus menjelaskan masalahnya. Tapi kemudian dia tersadar, menatap sekilas ke arah pria itu Agnia lantas bertanya, “Kenapa Anda di sini?”
Pria itu terdiam sejenak, jujur saja dia juga tidak mengerti. Hanya saja saat melihat wanita asing itu hampir mengalami kecelakaan membuat dia yang sedang mengendarai mobilnya tidak bisa lagi memikirkan apapun. Dia hanya terlalu khawatir dan akhirnya turun untuk mengecek kondisi wanita itu.
“Saya baru dari suatu tempat, dan melihat kamu hampir mengalami kecelakaan, Saya tentu saja tidak bisa bersikap untuk tidak peduli, jadi setidaknya Saya ingin memastikan jika orang itu baik-baik saja.”
“Terima kasih atas perhatian Anda, sekarang Saya sudah baik-baik saja. Jadi sepertinya Anda memiliki kesibukan sendiri tidak perlu mengkhawatirkan Saya.” Agnia tersenyum kecil, menunjukkan ketulusan dan rasa terima kasih. “Kalau begitu Saya permisi. “Agnia lantas berbalik bersiap pergi. Namun sesuatu tiba-tiba menahannya, Agnia kembali berbalik hanya untuk melihat sebuah tangan yang sudah memegang pergelangan tangannya. Dia menatap ke arah wajah pria itu yang tampaknya ingin mengatakan sesuatu.
“Apa kamu yakin sebelumnya kita tidak pernah bertemu?” pria itu tampak kembali mengambil topik beberapa waktu lalu, namun Agnia masih memiliki jawaban yang sama. Jadi dia mengangguk.
Tapi beberapa saat kemudian dia berkata, “Tapi kita memang pernah bertemu sebelumnya, jika Anda lupa, kita bertemu saat Anda akan mengambil pesanan kue di toko tempat Saya bekerja.” Agnia menjawab begitu tenang, dia melewatkan raut tidak puas yang tertinggal di wajah pria itu.
Kemudian pria itu menghela napas, dia melepaskan pegangan tangannya di pergelangan tangan Agnia, kemudian tangannya itu berubah terulur ke depan. “Kalau begitu mari saling mengenal, namaku Abian.” Tiba-tiba pria yang mengaku bernama Abian itu tersenyum membuat Agnia bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Apa ini adalah bagian dari cara modus laki-laki untuk mendapatkan perempuan yang menarik perhatian mereka? Tapi sepertinya dia bukan tipe orang yang seperti itu, lalu apa alasannya? Agnia mengernyit begitu halus, namun tangannya tetap membalas uluran tangan Abian. “Saya—maksudku, namaku Agnia.” Dia sedikit mengangguk, merasa bingung saat pertama kali berkenalan seperti ini dengan orang baru. Terlebih, perkenalan ini terlalu random, rasanya sangat cepat hanya dalam dua kali mereka bertemu bahkan dalam situasi tidak saling berjanji.
Saat jabat tangan terlepas, rasanya suasana menjadi canggung untuk Agnia, karena dia tidak tahu harus apa sekarang, namun saat mendengar Abian berbicara terlebih dahulu Agnia sedikit lega karena hanya perlu menanggapi. “Apa kamu dalam perjalanan pulang?” tanya Abian.
Agnia mengangguk, raut wajahnya menjadi lebih tenang kini. “Iya, tadi ke toko di sana untuk membeli bahan makanan tapi sekarang ….” Tiba-tiba dadanya terasa sesak saat mengingat nasib makanan yang ia beli sudah tidak berbentuk.
“Kalau begitu ayo,” Abian tiba-tiba menarik Agnia menuju mobilnya yang terparkir membuat wanita itu panik.
“Ke mana?” tanya Agnia, berusaha menghentikan langkah Abian.
“Kita beli makanan.” Abian kembali menarik Agnia menuju mobilnya yang terparkir di samping jalan.
Agnia membelalakkan matanya. “Apa?! Tidak—tunggu—itu tidak perlu!”
Abian bahkan tidak mendengarkan perkataan Agnia, tetap memaksa perempuan itu memasuki mobil bahkan saat Agnia berusaha menolak.
Agnia hanya berharap ini bukan salah satu aksi penculikan yang sedang terjadi pada dirinya. Ya, semoga saja!
***
Agnia bisa bernapas lega karena dia benar-benar bertemu dengan orang baik, selain itu dia bisa kembali mendapatkan ganti dari makanannya yang hancur. Dia baru saja memasuki rumahnya setelah sebelumnya pulang menggunakan ojek online.
Itu terjadi, karena Agnia menolak saat Abian ingin mengantarkannya pulang, dia beralasan kalau rumahnya sudah sangat dekat, selain itu tampaknya Abian mendapatkan telepon penting sehingga dia harus segera pergi.
Agnia membaringkan tubuhnya di ranjang setelah sebelumnya membersihkan tubuhnya terlebih dulu. Ini sudah cukup larut, jadi Agnia hanya ingin beristirahat malam itu.
***
Sementara di tempat lain seorang pria setengah baya tampak kalut dengan apa yang sedang menimpanya, bau asap rokok tercium di setiap penjuru, dengan beberapa botol minum beralkohol yang tersimpan di atas meja.
“Bagaimana ini Ma, Siapa yang seharusnya kita ikuti. Aku benar-benar tidak tahu.”
“Sudahlah, Pah, kita lihat nanti saja, yang siap mengeluarkan uang lebih besar berarti anak itu milik klien kita,” kata wanita yang berstatus sebagai istrinya.
Kemudian sebuah dering ponsel terdengar, membuat pria itu langsung bergerak cepat untuk menggeser icon hijau. Tepat saat ponsel ditaruh di samping telinga suara di seberang sana terdengar. Pria itu tampak mendengarkan dengan saksama, dengan sesekali mengangguk meskipun tahu yang di seberang sana tidak bisa melihatnya.
“Baik Tuan, semuanya sudah siap, sesuai seperti apa yang Anda inginkan. Besok malam, dia akan berada dalam genggaman Anda,” kata pria itu, dengan seringainya yang menyeramkan.