Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Hanung
Hanung Rahayu adalah seorang gadis yang periang dengan paras menawan. Jika saja hidungnya tidak pesek, mungkin orang akan mengira Hanung adalah keturunan Chinese.
Kedua orang tua Hanung berpisah saat dirinya masih duduk di bangku kelas 4 SD dan berakhir mengikuti sang ayah karena sang ibu tak mau membawanya. 5 tahun kemudian, Ayah Hanung menikahi seorang janda yang dikenalkan oleh teman sejawatnya.
Ibu Jamilah, masuk ke rumah Hanung membawa anak laki-lakinya yang masih balita. Beliau bukan Ibu tiri yang jahat seperti di kisah Cinderella, Ibu Jamilah yang akrab disapa Ibu Jam itu sangat menyayangi Hanung layaknya anak kandung. Segera Ibu Jam dan Ayah Hanung dikaruniai anak laki-laki.
Beberapa tahun kemudian saat Hanung baru saja tamat SMA, Ibu Jam melahirkan anak kedua seorang bayi perempuan. Akan tetapi tak lama setelah kelahiran anak kedua, Ayah Hanung yang bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Tinggallah Hanung bersama Ibu Jam dan ketiga adiknya.
"Mbak Hanung kalau mau lanjut kuliah, lanjut saja. Kita bisa jual sawah yang disewakan Ayah." Ibu Jam mengkhawatirkan Hanung yang sudah lulus SMA setengah tahun yang lalu.
"Tidak perlu, Bu. Kalau dijual kita tidak ada pemasukan bulanan nanti, Bu. Kasihan adik-adik masih kecil." tolak Hanung.
"Ibu bisa kembali bekerja dengan Bu Nyai, Mbak."
Ibu Jam dulunya adalah santri di pesantren yang kemudian menikah dengan seorang ustadz dan ikut mengabdi bersama suaminya sampai suaminya meninggal karena sakit.
"Jangan, Bu! Bagaimana dengan adik-adik kalau Ibu bekerja?"
"Di pesantren itu ngabdi, Mbak Hanung. Bukan kerja pembantu."
"Tetap tidak boleh, Bu. Kalau Ayah masih hidup, juga tidak menginginkan hal itu."
"Lalu Mbak Hanung maunya bagaimana?"
"Hanung mau bekerja saja, Bu. Bisa mengumpulkan uang untuk kuliah nanti sambil bantu-bantu Ibu. Kuliah di universitas terbuka juga tidak apa, Bu."
Ibu Jam tersenyum. Beliau mendukung keputusan Hanung. Bagi Ibu Jam, kebahagiaan Hanung yang utama. Secara kasar, Hanung bisa saja mengusirnya dari rumah sejak suaminya meninggal. Tetapi Hanung justru memintanya untuk tetap tinggal dan memikirkan adik-adiknya.
"Sudah ada bayangan mau kerja apa?"
"Belum, Bu. Hanung masih menunggu kabar dari teman yang sudah bekerja di sebuah percetakan."
"Yang sabar, cari kerja memang tidak mudah." Hanung mengangguk.
Keseharian Hanung diisi dengan membantu pekerjaan rumah dan membuka les privat dirumah atas permintaan para tetangga, mengingat almarhum Ayah Hanung adalah seorang guru. Banyak anak-anak yang mau belajar dengan Hanung. Menurut mereka, mereka lebih cepat paham dengan penjelasan Hanung dibandingkan disekolah.
Les tersebut berjalan dengan bayaran semampu mereka. Terkadang mereka memberikan uang, terkadang mereka akan membayar Hanung dengan hasil panen. Hanung menerimanya untuk menghormati mereka karena niatnya membantu anak-anak.
"Mbak Hanung, maaf. Sebaiknya Didik tidak les dulu, saya belum mampu membayar 2 bulan ini." kata orang tua Didik yang mendatangi rumah Hanung.
"Tidak apa, Bu. Didik sudah mulai bisa menulis. Sayang kalau tidak dilanjutkan."
"Iya, kemarin dia memamerkan tulisan namanya. Tapi saya sungkan, Mbak Hanung."
"Saya tidak masalah, Bu. Yang penting Didik bisa mengikuti pelajaran disekolahnya. Apalagi sebentar lagi akan ada ulangan semester."
"Terima kasih, Mbak Hanung. Saya tidak berharap Didik bisa rangking, yang penting dia tidak tinggal kelas lagi." Hanung mengangguk sambil tersenyum.
Kedua orang tua Didik pun berpamitan pulang. Walaupun mereka masih merasa sungkan, mereka lega bisa berterus terang dengan Hanung.
"Didik itu yang tunggakan kelas satu itu, Mbak?" tanya Iwan, adik tiri Hanung.
"Iya. Kamu tahu?"
"Tahu. Anaknya penyendiri tidak seperti anak kelas satu yang masih seperti anak TK."
"Kamu saja masih seperti anak kecil!"
"Paling tidak aku sudah bisa menulis saat kelas satu, Mbak!" Iwan tidak Terima.
"Iya-iya. Ulangan hari ini bagaimana?" Hanung mengalihkan topik.
"Salah satu, Mbak." Iwan menyerahkan kertas ulangannya.
"Cara kamu sudah benar, cuma kamu lupa menyamakan penyebut disini. Makanya hasilnya salah. Hasil yang benar itu 2 1/24 karena penyebut yang sama untuk 3 dan 8 adalah 24." jelas Hanung.
"Iya, Mbak. Tidak aku teliti lagi tadi karena waktunya sudah mepet."
"Tak apa, lain kali harus teliti kalau kamu mau mengejar 3 besar."
"Jangan lupa rewardnya, ya?"
"Iya." jawab Hanung sambil mengacak rambut Iwan.
Ibu Jam yang sedang menyuapi Jamal pun tersenyum melihat interaksi keduanya. Beruntung anak ketiganya, Nada tidak begitu rewel sehingga beliau bisa membagi waktunya antara Jamal dan Nada yang hanya beda 1 tahun.
Yang menjadi ganjalan hati beliau adalah kabar dari Ningrum, yang mengatakan suaminya membatalkan lamaran anaknya untuk Hanung. Dengan alasan tak ada lagi koneksi untuk bisa menjadi guru honorer di sekolah menengah yang Ayah Hanung ampu sebelumnya. Ibu Jam masih bingung bagaimana menyampaikan nya.
Tengah malam, Hanung terbangun untuk melaksanakan sholat malam. Mempunyai Ibu tiri jebolan pesantren, membuat Hanung mengikuti rutinitas beliau dan berakhir menjadi kebiasaannya. Hanya saja Hanung tidak penghafal Quran seperti Ibu Jam, ia hanya hafal juz 30 dan surah tertentu.
"Kenapa, Bu?" tanya Hanung yang mendapati Ibu Jam sedang duduk diam menatap teh di depannya.
"Mbak Hanung sudah selesai sholat?" tanya Ibu Jam balik.
"Sudah. Ibu kenapa?"
"Duduk sini, Mbak. Ada yang mau Ibu sampaikan." Ibu Jam menepuk kursi makan disebelahnya.
Hanung pun duduk dan menuang teh yang ada didepan Ibu Jam ke gelas kosong, untuk dirinya.
"Mbak Hanung suka dengan Marsudi?" tanya Ibu Jam hati-hati.
"Marsudi?" Hanung mencoba mengingat-ingat.
"Marsudi yang pernah menemui Ayah itu?" tanya Hanung yang mendapat anggukan Ibu Jam.
"Tidak, Bu. Jangankan suka, kenal saja tidak."
"Waktu itu, Marsudi melamar kamu. Tetapi Ayah mengatakan semua keputusan ada ditanganmu, sehingga mereka menunggu kamu lulus. Tetapi siapa sangka, ajal lebih dulu menemui Ayah dan pembicaraan itupun terlupakan. Kemarin, Ibu Marsudi menghubungi Ibu dan mengatakan kalau lamaran mereka batalkan."
"Lalu?"
"Lalu, Ibu jawab tidak masalah karena Ayah waktu itu juga belum memberikan keputusan."
"Bagus itu, Bu! Ibu yang terbaik!"
"Mbak Hanung tidak sedih gagal dilamar?"
"Untuk apa sedih, Bu? Ayah saja tidak menjawab! Lebih baik batal daripada Hanung harus terikat dengan laki-laki yang Hanung tidak kenal." Ibu Jam tersenyum mendengar perkataan Hanung.
Beliau menghembuskan nafas lega. Perlu waktu bagi beliau menyampaikan hal tersebut. Jika tahu respon Hanung seperti ini, beliau akan mengatakannya lebih awal.
Mereka pun terlibat obrolan seputar jodoh dari kacamata agama. Ibu Jam tak segan membagikan ilmunya untuk Hanung, bahkan Ibu Jam memberikan pengetahuan tentang hubungan yang ada dalam kitab Fathul Izar agar anak tirinya tersebut memiliki bekal nantinya.
Hanung yang awalnya merasa malu, mendengarkan semua penjelasan Ibu Jam dengan seksama. Sampai adzan subuh berkumandang, mereka pun membangunkan Iwan untuk sholat subuh ke masjid.
lagi...
lagi..../Smile/
tebawa suasana
JD + semngat nunggu bsb yg lain ny