Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan
"Dikurung bareng lo kayaknya seru. Ya, udah, yuk." Dia maju dan kasih gue ciuman singkat di bibir. Ciuman sederhana jadi lebih spesial kalau dari Yesica.
"Lo bikin semuanya jadi lebih hidup," kata gue. "Hidup gue. Jadi lebih semangat... karena ada lo."
Kata-kata gue bikin dia senyum lagi. Dia enggak tahu, tapi setiap kata yang gue ucapkan cuma punya satu alasan, cuma bikin dia senyum.
Gue keluar dari parkiran dan bilang ke Yesica kalo kita bakal ke pantai. Dia bilang dia ingin ambil baju renangnya, jadi kita balik ke rumah dulu buat ambil baju renang. Kita juga bawa bekal dan selimut.
Kita pergi ke pantai.
Dia duduk sambil baca buku.
Gue ingin lihat dia duduk di pangkuan gue sambil baca buku.
Dia tiduran di gazebo, tengkurap, menyender di sikunya. Gue senderkan kepala di tangan dan fokus memperhatikan dia.
Mata gue mengikuti lekukan halus bahunya, lengkungan punggungnya, cara lututnya menekuk dan kakinya diangkat dengan pergelangan kakinya yang saling menyilang.
Yesica bahagia.
Gue bikin dia bahagia.
Gue bikin hidupnya jadi lebih baik.
Hidupnya lebih baik karena ada gue.
"Yesica," bisik gue. Dia menyelipkan penanda di buku dan tutup bukunya, tapi dia enggak langsung lihat gue. "Ada yang mau gue bilang ke lo."
Dia mengangguk sambil tutup matanya, seolah ingin fokus ke suara gue dan enggak ada yang lain.
"Waktu nyokap gue meninggal, gue berhenti percaya sama Tuhan."
Dia rebahkan kepalanya di lengannya dan tetap merem.
"Gue enggak percaya kalau Tuhan bakal bikin seseorang ngerasain sakit. Gue gak percaya Tuhan bakal bikin seseorang menderita kayak yang dialami nyokap gue. Gue gak percaya Tuhan bisa bikin seseorang ngalamin hal seburuk itu."
Air mata jatuh dari matanya yang terpejam.
"Tapi gue ketemu lo, dan setiap hari sejak saat itu, gue selalu bertanya-tanya mana mungkin ada seseorang yang seindah lo kalo Tuhan gak ada. Gue bertanya-tanya mana mungkin seseorang bisa bikin gue sebahagia ini kalo Tuhan gak ada. Dan gue sadar... tuhan ngasih kita hal-hal buruk biar kita enggak menganggap remeh hal-hal indah dalam hidup."
Kata-kata gue enggak bikin Yesica senyum.
Kata-kata gue bikin Yesica cemberut.
Kata-kata gue bikin Yesica menangis.
"Tama," bisiknya.
Dia menyebut nama gue dengan suara pelan banget, seolah-olah dia enggak ingin gue dengar.
Dia menatap gue, dan gue bisa lihat kalo momen ini bukan momen yang indah buat dia.
Enggak juga buat gue.
"Tama... gue telat."
...Sintia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Amio: Mau makan malam bareng, enggak? Lo pulang kerja jam berapa?
^^^Gue: Sepuluh menit lagi. Di mana?^^^
Amio: Kita ada di dekat Rumah Sakit lo. Ketemu di depan aja.
Kita?
Gue enggak bisa mengabaikan rasa senang yang tiba-tiba muncul gara-gara chat itu. Pasti maksudnya "kita" itu dia lagi sama Tama. Gue enggak bisa tebak siapa lagi yang bakal datang bareng dia, dan gue tahu Tama pulang tadi malam.
Gue selesaikan sisa pekerjaan gue, terus mampir ke kamar mandi buat cek rambut sebelum keluar buat ketemu mereka.
Pas gue keluar, ketiga orang itu berdiri di dekat pintu masuk. Ian dan Tama ada di sana bareng Amio. Ian senyum pas lihat gue, soalnya dia satu-satunya yang menghadap ke arah gue.
Amio berbalik pas gue datangi mereka.
"Siap? Kita mau ke Mc.D."
Mereka keren banget sebagai tim. Masing-masing ganteng dengan caranya sendiri, tapi makin keren lagi pas mereka pakai jaket pilot dan jalan bareng kayak begini. Gue enggak bisa bohong, gue merasa agak canggung, jalan bareng mereka pakai seragam medis. "Ayo, gue laper banget," kata gue.
Gue melirik ke Tama, dan dia cuma mengangguk dikit tanpa senyum. Tangan dia masuk ke kantong jaketnya, dan dia lihat ke arah lain pas kita mulai jalan. Dia selalu selangkah di depan gue, jadi gue jalan di samping Amio.
“Ini lagi pada ngerayain apa sih?” tanya gue sambil jalan menuju restoran. “Ngerayain kalau kalian bertiga akhirnya bisa libur bareng, gitu?”
Ada percakapan diam-diam di sekitar gue. Ian lihat ke arah Tama, Amio lihat ke arah Ian. Tama enggak lihat ke siapa pun. Dia tetap fokus ke trotoar di depan kita.
“Ingat gak waktu kita kecil, terus Mama sama Papa bawa kita ke Mc. D?” tanya Amio.
Gue ingat malam itu. Gue belum pernah lihat orang tua gue sebahagia itu. Gue enggak baru lima atau enam tahun waktu itu, tapi itu salah satu dari sedikit kenangan yang gue punya dari masa balita. Itu hari di mana Bokap gue dapat jabatan kapten di maskapainya.
Gue langsung berhenti dan lihat ke arah Amio.
“Lo jadi kapten? Enggak mungkin lo bisa jadi kapten. Lo masih terlalu muda.” Gue tahu betapa sulitnya untuk jadi kapten dan berapa banyak jam terbang yang harus dikumpulkan seorang pilot buat bisa diangkat. Kebanyakan pilot yang masih di usia dua puluhan biasanya cuma jadi ko-pilot.
Amio geleng-geleng kepala. “Gue enggak jadi kapten. Tahu sendiri kalau gue sering pindah-pindah maskapai.” Dia melirik ke arah Tama. “Tapi, ada yang baru aja dapet penghargaan. Pecahin rekor perusahaan, bro.”
Gue lihat ke arah Tama, dan dia lagi geleng-geleng kepala ke arah Amio. Gue bisa lihat dia malu karena Amio baru saja mengumumkan itu, tapi kerendahan hatinya malah bikin gue makin suka.
Gue bisa bayangkan kalo teman mereka, Joshi yang dapat promosi kapten, dia pasti bakal naik ke atas bar dan mengumumkan ke seluruh dunia pakai microphone.
“Enggak sehebat itu juga,” kata Tama. “Cuma maskapai regional. Banyak pilot juga yang dipromosiin.”
Ian geleng-geleng kepala. “Buktinya gue enggak dapet promosi, tuh. Amio juga enggak. Joshi apa lagi. Lo udah setahun kerja lebih lama dari kita semua, belum lagi lo baru 24 tahun.” Dia putar badannya dan jalan mundur, menghadap ke kita bertiga. “Tinggalin dulu kerendahan hati lo, bro. Pamer dikit lah. Soalnya kita bakal ngelakuin hal yang sama kalo posisinya kebalik.”
Gue enggak tahu berapa lama mereka berteman, tapi gue suka sama Ian. Gue bisa lihat dia dan Tama dekat banget, soalnya Ian benar-benar bangga sama dia dan sama sekali enggak iri.
Gue senang Amio akhirnya punya teman-teman kayak begini. Bikin gue lega. Gue selalu membayangkan dia tinggal di sini, kerja terus-terusan, menghabiskan semua waktunya sendirian dan jauh dari rumah.
Gue enggak tahu kenapa gue selalu membayangkan Amio kerja sendirian dan jauh dari rumah, padahal Bokap gue juga seorang pilot dan dia cukup sering di rumah. Jadi gue enggak seharusnya khawatir dengan kehidupan Amio sebagai pilot.
Kita sampai di Mc.D, dan Amio buka pintu buat kita. Ian masuk lebih dulu, dan Tama mundur sedikit, kasih gue jalan buat masuk.