Stuck On You
Semilir angin bertiup lembut membelai wajahnya yang cantik. Agnia, wanita itu tampak baru saja keluar dari toko kue tempatnya bekerja selama seharian ini. Dia merapatkan jaket, rasa dingin malam itu terasa begitu menusuk tulang.
Menghela napas, Agnia mulai berjalan mencari angkutan umum yang bisa membawanya pulang. Agnia mengernyit, dia menengadahkan wajahnya menatap langit malam, saat merasakan sesuatu yang basah membasahi pipi.
“Sepertinya akan hujan.”
Langkahnya dibuat lebih cepat. Matanya mulai menelusuri jalanan yang tampak cukup sepi tanpa kendaraan.
Ini baru beberapa meter perjalannya saat Agnia mendengar suara mesin motor terdengar, disusul suara klakson nyaring yang reflek membuat Agnia berbalik.
Pengendara motor itu tampak membuka helm, bibirnya mengulas senyum saat pandangan matanya bertemu tatap dengan Agnia.
“Agnia, ayo. Saya antar pulang,” ajak pria itu. Sorot matanya tampak dipenuhi harapan yang begitu besar.
Agnia membalas pria itu dengan senyuman kecil, setidaknya dia tidak ingin menunjukkan sikap tidak sopan di hadapan atasannya itu. “Tidak perlu, Pak. Saya bisa mencari angkutan umum.” Agnia menolak, namun ia tahu pria berusia awal 30-an itu tampaknya tidak akan mudah menyerah.
“Kamu yakin akan ada kendaraan yang lewat sini. Sudah malam loh. Bahaya tahu kalau kamu sendirian di jalan seperti ini,” bujuk pria itu, masih bersikeras.
Lebih berbahaya jika aku bersama Bapak.
Bukan tanpa alasan Agnia berpikir seperti itu. Pria itu adalah Manager di toko kue tempat Agnia bekerja, dia sudah terkenal dengan kepribadiannya yang sering mengganggu wanita-wanita muda yang masih lajang. Padahal, pria itu sebenarnya sudah memiliki tunangan, tapi sikap buruknya itu masih belum hilang, bahkan semakin menjadi saja.
Beberapa hari yang lalu, bahkan pria itu mengungkapkan perasaannya kepada Agnia secara terang-terangan, setelah itu dia jadi terlalu sering menaruh perhatian berlebih pada Agnia.
Agnia kembali menatap pria itu tanpa minat. “Tidak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri.”
Sebelum sempat pria itu membuka mulut untuk meluncurkan rayuan, dering ponsel terdengar membuat sang pemiliknya berdecak. Namun saat melihat nama yang tertera dilayar ponselnya justru terdapat emoticon hati, pria itu langsung menggeser icon hijau dengan gerakan kilat.
“Iya, Sayang?”
Agnia menghembuskan napas kasar, tidak habis pikir dengan sikap pria dihadapannya ini yang bisa berubah-ubah dengan begitu cepat. Namun karena mendapatkan kesempatan, Agnia segera berjalan pergi meninggalkan pria itu setelah sebelumnya berpamitan singkat yang bahkan sepertinya tidak disadari pria itu. Mungkin dia terlalu asik mengobrol lewat ponsel.
Namun setelah beberapa saat berjalan, Agnia malah dibuat semakin kesal karena angkutan umum yang dia tunggu-tunggu tidak kunjung lewat.
Agnia memekik pelan saat gemuruh petir terdengar bersahutan. Sepertinya hujan benar-benar akan turun. “Please, jangan hujan dulu.”
Namun keinginannya tidak terwujud karena jawabannya justru datang terlalu cepat, langit mulai menurunkan hujan dengan rintikan sedang yang jika tidak segera bergegas Agnia pasti akan basah kuyup.
“Jika seperti ini maka aku akan semakin lama sampai ke rumah.” Agnia berteduh di depan toko yang sudah tutup. Dia memeluk tubuhnya saat merasakan udara dingin mulai berhembus cukup kencang saat menyapa kulitnya. Bahkan rambutnya sedikit basah setelah terkena air hujan.
Dia pandangi sekeliling, hujan kini menjadi semakin deras membuat tanah di bawah sana tergenang oleh air hujan, gemuruh petir kembali terdengar membuat Agnia berjengit kaget karena suaranya benar-benar memekakkan telinga.
Agnia mulai memundurkan langkah menjauh dari rintikan hujan yang berbentur dengan tanah. Namun saat langkah terakhir, dia hampir terjatuh ke belakang saat kakinya tidak sengaja bersentuhan dengan sesuatu. Berbalik, Agnia mengerutkan kening saat melihat seorang pria tampak bergetar dengan tangan yang saling terlipat menutupi wajahnya. Pria itu meringkuk tepat di belakang Agnia.
Agnia mengerjap beberapa kali, dia bisa merasakan kalau pria itu tampaknya sedang merasa ketakutan atau semacamnya. Karena itu, dengan perasaan ragu Agnia mulai menekuk lututnya untuk mensejajarkan tinggi mereka.
Tangannya mulai terulur ke depan. Agnia memegang pundak berbalut lengan kemeja hitam itu, pelan. “Tidak apa-apa, hujannya akan segera berakhir,” kata Agnia dengan suaranya yang dibuat selembut mungkin.
Agnia sendiri merasa bingung, entah kenapa dia bisa merasa yakin kalau ketakutan pria itu diakibatkan oleh hujan dan bukan yang lain. Hanya saja saat melihat tubuh orang itu yang bergetar, Agnia mengambil kesimpulan sendiri yang tampaknya semakin diperkuat dengan pria itu yang kini menjadi lebih tenang.
Pria itu tampak mengangkat kepala dan menunjukkan sedikit dari wajahnya, membuat Agnia menunjukan senyuman paling manis untuk menenangkan. “Semuanya akan baik-baik saja.”
“Kakak?”
Agnia mengernyit saat pertama kali mendengar pria itu berbicara. Dia yakin pria itu tampak jauh lebih dewasa melihat postur tubuhnya yang jauh lebih besar dari Agnia.
Tapi untuk membuat dia merasa lebih tenang lagi, Agnia akhirnya mengangguk dengan senyuman tulus yang ia perlihatkan. Sepersekian detik kemudian tubuhnya hampir saja ambruk saat pria itu menerjangnya dengan sebuah pelukan.
Agnia bahkan merasa dirinya sulit bernapas saat merasakan pelukan pria itu yang begitu erat. Namun dia semakin dibuat bingung setelah mendengar pria itu kembali berbicara dengan suara yang pelan. “Terima kasih,” tuturnya begitu pelan. Namun pelukannya enggan melonggar, dia kemudian kembali berbicara, “Tolong jangan pergi lagi, Kak. Aku mohon.”
***
Agnia termenung di kamarnya di pagi hari. Dia kembali mengingat kejadian malam kemarin. Kini jadi penasaran apa yang sebenarnya menimpa pria itu hingga berhalusinasi dan menganggap Agnia sebagai kakaknya.
Tubuhnya kemudian berguling ke samping saat jawaban yang dia cari itu belum juga Agnia ketahui.
Malam itu, saat Agnia ingin menawarkan bantuan untuk mengantarkan pria itu pulang, seorang pria lain datang dengan mobil mewah dan langsung membawa pria itu pergi tanpa kata. Bahkan Agnia sempat mendengus karena pria yang baru datang itu bahkan tidak meliriknya sedikitpun. Tidakkah dia tahu kalau Agnia telah membantu menenangkan pria yang dia kenal itu?
Namun Agnia menyayangkan satu hal, dia tidak sempat melihat wajah pria itu sebelumnya. Namun sudahlah, semuanya sudah berlalu dan saat ini yang seharusnya dia pikirkan adalah … perutnya!
Benar, jadi selanjutnya, Agnia segera bangkit dari ranjang dan berjalan keluar kamar, perutnya sudah berbunyi sejak beberapa waktu lalu. Ini sudah pagi, jadi sudah waktunya untuk sarapan.
Agnia tersenyum saat pemandangan indah yang sudah mengisi hari-harinya selama bertahun tahun itu ia lihat. Di meja makan, ibu dan ayahnya sudah menyambut Agnia dengan senyuman lembut seperti biasa.
“Ayo duduk, Sayang. Mama siapin dulu rotinya, ya. Kamu mau selai rasa apa?” tanya sang Mama, dengan suaranya yang lembut.
Agnia duduk di kursi makan sebelum menjawab dengan antusias. “Coklat dong, Ma.”
Meylan—mama Agnia pun tertawa kecil, putrinya itu memang sangat menyukai rasa coklat.
“Ini Sayang, habiskan, ya.”
Agnia langsung mengambil piring berisi roti buatan sang Mama. “Makasih, Ma.”
“Sekarang kamu ada kelas pagi? Kalau ada, bareng aja sama Ayah.” Suara itu adalah milik Harris—ayah Agnia. Pria itu tampak fokus pada makanannya, namun matanya sesekali memperhatikan Agnia menunggu jawaban dari putrinya itu.
Agnia menggeleng. “Kelasku, siang Nanti. Pagi ini ada janji sama teman,” kata Agnia, membuat Harris menyipitkan mata merasa curiga.
“Teman siapa? Pacar kamu?” tuduh Harris tiba-tiba, membuat Agnia hampir tersedak roti yang ia makan.
“Bukan, Ayah. Dia perempuan,” jawab Agnia. Harris akhirnya hanya menanggapi Agnia dengan anggukan kepala saja.
“Yaudah, tapi hati-hati, ya,” kata Meylan, memberi nasihat. Agnia mengangguk dengan senyum kecil di bibirnya.
“Ayah lupa bilang, beberapa hari lagi akan ada acara pesta di sebuah kapal pesiar. Acara itu milik salah satu teman bisnis Ayah. Kamu nanti harus ikut, ya.” Harris kembali berbicara saat dia baru saja menyelesaikan acara makannya.
“Aku juga harus ikut?” Agnia menunjuk dirinya sendiri. Bahunya tiba-tiba meluruh, dia menggelengkan kepalanya dengan lemah. “Sebaiknya tidak perlu. Ayah sendiri, kan, tahu kalau aku tidak suka menghadiri acara-acara seperti itu,” katanya mencoba menolak.
“Lagipula, ini bukan acara besar Agnia. Rekan bisnis Ayah semuanya membawa putra putri mereka. Ayah juga ingin memperkenalkan kamu pada mereka. Selain itu, kenapa kamu tidak mendengar nasihat Ayah? Ayah bilang seharusnya kamu tidak perlu bekerja, fokus saja pada kuliahmu itu.”
Agnia menghela napas mendengar ucapan pertama ayahnya itu.
Acara kecil apa yang dilakukan di sebuah kapal pesiar?
Agnia tersenyum kecil, Ayahnya memang selalu peduli padanya. Meskipun tidak seterbuka seperti sang Ibu tapi Agnia tahu seperti apa ayahnya.
“Agnia bekerja juga, kan, disaat Agnia memiliki waktu luang di luar jadwal kuliah. Lagi pula Agnia juga ingin mencari uang sendiri, Ayah. Dan, untuk masalah pertemuan itu, baiklah, Agnia akan ikut,” jawab Agnia, setelahnya bangkit berdiri untuk membereskan piring kotor.
Namun Agnia tidak tahu, tepat saat punggungnya berbalik, dua pasang mata yang semula menunjukan kasih sayang dan kelembutan. Mendadak berubah dengan kilatan licik. Bibir yang semula menunjukkan senyum hangat justru malah mengulas seringai menyeramkan seolah membawa kabar buruk yang akan segera Agnia hadapi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments