Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Cincin
Didalam kamar, dengan suasana hening. Hanya ada, suara tangis yang memenuhi ruangan. Zamar memilih duduk, dengan mengambil jarak. Tapi, sorot matanya, masih menatap tajam sang kekasih.
Sungguh, ia bingung harus mengatakan apa, selain umpatan. Amarah yang tertahan, seakan merobek dadanya. Pemandangan yang membuatnya jijik, telah meruntuhkan kepercayaannya selama ini.
Pagi yang seharusnya indah dan romantis, menjadi pengkhianatan yang tidak akan ia lupakan seumur hidup. Ia baru tiba, tanpa beristirahat, hanya demi memberi kejutan pada sang tunangan. Tapi, justru ia yang mendapat kejutan, yang membuatnya ingin membunuh seseorang.
"Sudah berapa lama?" tanya Zamar dengan intonasi rendah.
"Za, kau tidak percaya padaku?" Maya mendongak. Terlihat jelas wajahnya yang sembab dan kedua maniknya yang basah.
"AKU BERTANYA, SUDAH BERAPA LAMA?" bentak Zamar, dengan napas naik turun. Bahkan, sudah bangkit dari posisinya.
Tubuh Maya gemetar, karena tersentak. Untuk pertama kalinya, ia melihat Zamar murka. Mata yang selalu menatapnya hangat, berubah menjadi dingin. Ada bom waktu, yang sebentar lagi akan meledak.
"Za. Aku harus bagaimana, agar kau percaya? Aku harus bilang apa lagi?" Suara tangis yang menyesakkan, tapi tidak membuat Zamar merasa iba.
"Bagaimana aku bisa percaya? Kau..... Haaaaaah!!" teriak Zamar frustasi. Bayangan Maya, bersama pria lain, membuatnya meledak. Ia menghancurkan semua perabotan yang ada didalam kamar.
Maya menutup kedua telinga dan matanya, dengan air mata yang meluncur deras. Jantungnya terpacu, dengan sikap Zamar yang meluapkan amarah. Suara kaca yang jatuh, gelas yang terlempar dan vas bunga. Semuanya, berserakan menjadi serpihan kecil diatas lantai.
"Dasar, sial!!" Prang, prang.
Maya tidak berani membuka mata. Ia hanya menangis dalam kegelapan. Suara barang, yang berjatuhan diatas lantai dan umpatan Zamar, membuatnya takut.
Sampai akhirnya, langkah kaki terdengar menjauh dan bunyi pintu yang dibanting dengan keras.
Maya membuka mata. Semua berserakan diatas lantai, tanpa sisa. Termaksud, foto pertunangan mereka yang terpajang. Tangis Maya, semakin menyesakkan.
"Pakai bajumu!" Ternyata, Zamar belum pergi. Ia melemparkan pakaian, pada Maya. "Jangan pernah meninggalkan kamar ini."
"Za, dengarkan aku!"
"Cukup, May! Aku sedang menahan diri, sekarang. Apa kau tahu? Aku ingin melemparmu, dari gedung ini."
Deg.
Maya langsung bungkam. Ia bergidik ngeri, ketika menatap Wajah Zamar. Percuma, ia membela diri. Pria didepannya, sedang dikuasai amarah.
Brak.
Pintu kembali dibanting. Terdengar suara dari luar. Sepertinya, ada beberapa orang yang datang. Entah apa yang mereka lakukan diluar sana. Perlahan apartemen ini, mulai sepi, saat pintu luar tertutup.
Maya memberanikan diri, untuk turun. Ia masih terisak, memperhatikan keadaan kamarnya. Foto pertunangan mereka, sudah mendarat diatas lantai, bersama serpihan kaca. Maya berjongkok, menatapnya.
"Aku, harus bagaimana?" Tes, tes, bulir cairan bening, jatuh diatas bingkai foto yang hancur.
"Aaaa." Maya meringis, memegang perutnya yang tiba-tiba nyeri. "Za," panggilnya, namun tidak ada sahutan.
Ia terpaksa, menyeret langkahnya, naik keatas tempat tidur. Meringkuk, dengan kedua tangan yang tak lepas dari perutnya, yang masih rata.
"Za, Zamar," panggilnya berulang-ulang, dengan sesegukan. Namun, tak ada sahutan dari luar.
Maya menahan sakit, seorang diri. Suara tangis dan rintihan, keluar dari bibirnya. Hanya suara dentingan jam dinding, yang menjadi temannya. Ia mulai memikirkan banyak hal. Bagaimana jika pernikahan ini batal? Bagaimana Zamar yang tidak percaya, lalu memutuskan hubungan?
Maya semakin stress, ia terus menangis tanpa henti. Membiarkan rasa nyeri dan pikiran, yang datang bersamaan.
Entah berapa lama, ia menangis. Sakit yang ia alami semakin menjadi.
Brak.
Maya tersentak dan degup jantungnya tak beraturan. Zamar kembali dengan menatap nyalang kepadanya.
"Mana cincinmu?" tanya Zamar, yang perlahan mendekat.
Maya tidak menjawab. Ia lemah dan kepalanya berputar, ditambah nyeri dibagian perutnya. Ia hanya mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan jari manisnya, yang tersemat cincin pertunangan mereka.
Tapi,
"Kau membuang cincin pemberianku?" teriak Zamar, yang membuat Maya, menatap jari manisnya. Cincin yang berbeda, dari yang biasa ia gunakan. Cincin berwarna emas polos, melingkar disana.
"Za, aku tidak tahu. Sumpah. Aku tidak pernah melepas cincin pertunangan kita." Maya bangkit, dengan wajah meringis dan memegang perutnya. Dengan cepat, ia melepaskan cincin dari jari manisnya.
"Kau tahu, dimana aku menemukan ini?" Zamar memperlihatkan cincin pertunangan mereka, yang bertahtakan berlian. "Ditempat sampah."
"Ap-apa?" Maya terperanjat. Dadanya merasa sesak, beriringan air matanya yang semakin deras.
"Dia melamarmu semalam, bukan?" ujar Zamar, dengan rahang yang mengeras.
"Za. Aku mohon, tolong percaya padaku. Aku sama sekali, tidak tahu apa yang terjadi semalam." Kini Maya menjatuhkan lututnya diatas lantai. Memohon dengan linangan air mata, berharap ada setitik kepercayaan untuknya.
"Tidak tahu?" Smirk dengan tatapan dingin. "Sini, aku tunjukkan!" Zamar menarik dengan kasar, tangan Maya. Tidak peduli, dengan Maya yang meringis dan mengaduh kesakitan. "Lihat, apa yang kalian lakukan semalam?"
Maya melihat botol wine diatas meja, gelas yang masih tersisa, sedikit wine didalamnya. Lilin yang sudah padam dan buket bunga mawar merah. Menggambarkan, suasana romantis telah terjadi semalam.
Tapi, ingatan Maya, bukan seperti ini. Semalam, ia menemani Sandra, minum.
"Bukan seperti ini." Maya menggelengkan kepala. Siapa yang sudah menjebaknya, dengan skenario seperti ini?
"Kau masih mau menyangkal?" Zamar mencengkam dagu Maya. "Kau wanita licik dan penipu."
"Lepas!" Maya menghempaskan tangan Zamar, entah dari mana, ia mendapatkan kekuatan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Semalam aku bersama Sandra. Dia berada di apartemen, saat aku pulang dari rumah ibumu. Ia mabuk dan setelah itu, aku sungguh tidak tahu lagi," teriak Maya, yang mulai muak dengan segala tuduhan.
Plak.
Zamar mendaratkan telapak tangannya. Kedua matanya, menyiratkan kemarahan. Hidungnya kembang kempis, menahan gejolak amarah.
"Sampai, kapan kau akan membohongiku, May?Menyebut nama sahabatmu, sebagai perisai."
"Kenapa kau tidak percaya padaku?" isak Maya, dengan salah satu tangan, memegang pipinya yang perih.
"Sandra, di luar negeri, dari seminggu yang lalu. Dan, kau masih menyebut namanya. Kau membuatku muak dan jijik padamu."
Jantung Maya, seolah berhenti berdetak beberapa detik. Matanya membulat dan tenggorokannya tercekat.
Ada apa ini? Sandra mengatakan, dia akan pergi minggu depan. Lalu, siapa yang bersamaku semalam? Aku masih ingat, itu Sandra.
Maya menjambak rambutnya sendiri, karena kebingungan yang berperang dalam pikirannya. Ia ingat betul, apa yang terjadi semalam, sebelum ia tertidur.
Mengabaikan Zamar. Maya menggeledah isi rumahnya, termaksud tempat sampah. Seingatnya, Sandra membawa banyak minuman dan makanan ringan. Namun, semua terlihat bersih, seolah rumah ini tidak kedatangan tamu semalam. Hanya ada, sobekan kertas dalam tempat sampah.
"Sandra," ujar Maya dengan suara serak. Pikirannya, langsung memvonis tersangka, yang menyebabkan hidupnya seperti ini.
Pandangan Maya, semakin buram. Sakit dibagian perutnya, semakin menjadi. Kepalanya berdentam hebat. Hingga akhirnya, ia ambruk, tak sadarkan diri.
"MAYA," panik Zamar, yang berlari menangkap tubuh tunangannya. Matanya melebar, tatkala darah segar, mengalir turun, di kaki Maya.
🍋 Bersambung.
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️