ig: nrz.kiya
Farel Aldebaran, cowok yang lebih suka hidup semaunya, tiba-tiba harus menggantikan posisi kakak kembarnya yang sudah meninggal untuk menikahi Yena Syakila Gunawan. Wanita yang sudah dijodohkan dengan kakaknya sejak bayi. Kalau ada yang bisa bikin Farel kaget dan bingung, ya inilah dia! Pernikahan yang enggak pernah dia inginkan, tapi terpaksa harus dijalani karena hukuman dari ayahnya.
Tapi, siapa sangka kalau pernikahan ini malah penuh dengan kekonyolan? Yuk, saksikan perjalanan mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur dzakiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: Tumbal Kakak
Pintu utama rumah keluarga Aldebaran itu terbuka lebar. Suara koper besar diseret kasar memenuhi ruang tamu. Farel muncul dengan hoodie kusut, wajah yang sama sekali tak menyiratkan penyesalan, dan earphone menggantung sembarangan di lehernya.
“Home sweet home,” katanya dengan nada berlebihan sambil menjatuhkan koper besar ke lantai, menggelegar seperti suara guntur.
“Pasti pada kangen gue, kan?”
Di ruang tamu, duduklah Pak Syaiful, ayahnya, bersama beberapa anggota keluarga lain. Suasana yang awalnya tenang berubah hening.
Semua mata tertuju pada Farel, kecuali Pak Syaiful yang tetap memandang lurus dengan aura intimidasi yang sulit disangkal.
“Farel,” suara Pak Syaiful akhirnya terdengar, dingin dan pelan, “sini.”
Farel melenggang dengan gaya sok santai, seolah baru memenangkan hadiah besar. Tapi begitu melihat ekspresi serius ayahnya, dia langsung memasang muka malas.
“Apa lagi nih, Yah? Nilai gue jelek? Kampus gue ribet?” katanya sambil duduk di sofa, menjatuhkan tubuhnya dengan gaya lebay.
“Ya, salah kampusnya lah! Gue itu keren, mereka aja nggak ngerti gaya hidup gue.” lanjut Farel, dengan menyilangkan kedua tangannya di dada.
Pak Syaiful tidak langsung menjawab. Napas panjang yang dihela cukup untuk membuat Farel merasa gelisah, meski dia mencoba menutupinya dengan senyum sombong.
“Kamu dikeluarkan dari kampus, Farel,” ujar Pak Syaiful, dengan nada yang begitu tenang, tapi cukup menghantam seperti palu.
Farel tertawa kecil. “Yaelah, Yah. Itu kampus nggak ngerti seni hidup. Gue cuma bikin pesta kecil-kecilan di aula kampus. Masa salah gue lagi, mereka aja tuh, yang nggak bisa nikmatin DJ internasional!”
Beberapa keluarga di ruangan itu menutup wajah, malu mendengar ucapan Farel. Tapi Pak Syaiful tetap tenang.
“Kamu pikir hidupmu bisa terus seenaknya?”
“Yah,” Farel bersandar, “hidup gue ini masterpiece. Gue cuma kurang dihargai, ngerti, kan?”
Senyum itu memudar ketika Pak Syaiful melanjutkan, “Faris sudah tiada, Farel. Sekarang giliranmu.”
Hening. Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir yang tertahan.
“Giliran apa?” tanya Farel akhirnya, keningnya berkerut. “Giliran gue jadi anak baik? Duh, susah, Yah. Itu misi impossible.”
Pak Syaiful menatapnya tajam. “Giliran kamu menikah. Kamu akan menggantikan Faris menikahi Yena.”
Farel berdiri. “APA?!”
Dia menunjuk dirinya sendiri, lalu tertawa, tapi lebih seperti histeris. “Gue yang harus nikah? DENGAN YENA?! Oh Tuhan, ini hukuman apaan, sih?”
Dia melangkah beberapa kali ke depan, lalu berbalik, ekspresinya seperti aktor drama yang sedang bermain tragedi besar.
“FARIS! LU NGGAK BERPERIKEMANUSIAAN, BRO! Lu pergi gitu aja ninggalin gue yang jadi tumbalnya? Serius, sih, lu egois banget bahkan di akhirat!”
“Farel,” suara Pak Syaiful menghentikan langkahnya. “Kamu satu-satunya anak laki-laki yang tersisa. Tanggung jawab ini ada di kamu.”
“Tanggung jawab?” Farel menunjuk dirinya sendiri, terkejut seperti baru mendengar dirinya terpilih jadi presiden. “Yah, Yena itu buat Faris! Gue alergi komitmen! Gue bakal bikin Yena kabur!”
“Farel,” suara Ibu yang lembut terdengar dari belakang. “Ini soal keluarga. Kamu harus belajar bertanggung jawab.”
“Tanggung jawab apa?” Farel menunjuk ke foto kakaknya di dinding. “Faris, lu tega ninggalin gue buat acara begini? Kalau di atas sana lu ketawa, gue doain setan-setan di neraka nge-dance di depan lu!”
“FAREL!” bentak Pak Syaiful.
Farel langsung terdiam, tapi detik berikutnya dia bersandar lagi di sofa, kembali menyilangkan tangan di dada. “Oke. Tapi Yena pasti tau gue ini paket gagal. Gue nggak cocok jadi suami, gue ini cuma... Farel. Bahkan Faris nggak suka gue dulu.”
Pak Syaiful memukul meja. “Kamu nggak punya pilihan, Farel. Nikah atau kartu kreditmu saya blokir.”
Hening kembali menyelimuti ruangan. Mata Farel melebar, tangannya terangkat, seolah Pak Syaiful baru saja melemparkan ultimatum yang lebih buruk dari hukuman mati.
“Yah... nggak segitunya dong. Tapi... gila, sih. Yena bakal nangis kalau tau pengganti suaminya pria kayak gue!” decak Farel masih dengan posisi tangan yang terangkat, bayangkan saja Farel seperti di sodongkan pistol.
Tiba-tiba sebuah ide muncul di otak jeniusnya, dengan senyum bangga. perlahan ia menurunkan tangannya, dan bangkit, berjalan mendekat ke sofa di mana ayah dan ibunya duduk.
"Aku ada ide," Farel langsung duduk di tenga-tenga ayah ibunya, karena gerakan itu mengeluarkan tenaga, ibunya dengan spontan menutup hidungnya.
"Farel, kamu tidak lupa mandi kan? Saat kembali dari UK?" tanya Arina, Ibunya, tidak tahan dengan aroma yang di keluarkan putranya itu.
Farel hanya melihat ibunya dengan wajah malu, tangannya spontan menggaruk-garuk kepalanya, memperlihatkan rambutnya yang tiga hari tidak keramas.
"Jangan bahas itu dulu, Bu, aku ada ide cemerlang nih." balas Farel mencubit pipi ibunya dan berbalik ke ayahnya.
"Aku tidak mau mendengar ide cemerlangmu itu," jawab Pak Syaiful cepat sebelum Farel mengucapkan ide yang mungkin di luar nalar.
"Duh... Gini, Yah. Kenapa tidak di batalin aja perjodohan ini? Apalagi, si Yena kan bisa cari cowok lain. Di luar sana pasti banyak yang ngantri buat dia.”
Pak Syaiful menghela nafas panjang, semakin tidak mengerti dengan pola pikir putranya itu. Dia kembali menatap Farel tajam.
“Kamu pikir perjodohan ini cuma buat gaya-gayaan?”
“Ya, nggak juga sih,” Farel menjawab santai. “Tapi... buat apa dipaksain? Gue aja nggak ada pengalaman pacaran. Lagian, Yena tuh berhak dapet cowok yang... ya, normal.”
“Normal?” Pak Syaiful menaikkan alis.
“Yah, liat gue deh.” Farel menunjuk dirinya sendiri, dari kepala hingga kaki. Dimana rambutnya yang berantakan bahkan ada sedikit memperlihatkan serpihan ketombe, wajah kusutnya, hoodie abu-abu yang belum di cuci dipadukan celana jeans robek. Menghilangkan harga diri barang branded yang melekat di tubuhnya.
“Gue nggak cocok jadi suami. Suami itu harus rapi, elegan, kayak Faris. Gue? Gue mah kayak figuran film komedi.” lanjut Farel dengan mantap.
Pak Syaiful kembali menghela napas panjang, “Farel, kamu sadar nggak ini bukan tentang gaya hidup kamu? Perjodohan ini adalah amanah dari kakekmu. Kamu tahu apa artinya amanah?”
Farel terdiam sebentar, lalu mengangkat bahu. “Tahu sih... cuma ya, kenapa harus gue? Ini tuh amanah buat Faris, bukan gue." bantah Farel menyilangkan kedua tangannya di dada, sudah menjadi gaya andalannya.
"Aku tidak ingin lagi mendengar ucapanmu, mau tidak mau kamu harus menikah besok. Kalau kamu tidak ingin kartu kreditmu itu di blokir dan di hapus dari pewaris tunggal. Kamu harus menurut. Ini juga adalah hukumanmu." ujar Pak Syaiful dengan tegas, ia berdiri, berniat untuk pergi.
Dengan kasar Farel mengacak-acak rambutnya, ibunya hanya bisa pasrah melihat situasi itu, sedangkan anggota keluarga lain, om dan tantenya yang ikut menyusun rencana pernikahan itu, hanya menggeleng pasrah.