Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apes
Junaidi yang biasa disapa Juna atau Juned itu merasa frustasi setelah malam lalu tak sengaja menabrak seseorang.
Teman satu kosnya, Rumi yang merasa terganggu dengan sikap temannya itu pun memukulnya menggunakan bantal, tepat di kepalanya.
Bluk!
"Apaan, sih. Ganggu aja!" gerutu Junaidi seraya menatap datar temannya itu.
"Tidur, gua ngantuk, kalau lu berisik terus, gimana gua bisa tidur!" sergah Rumi dengan sedikit melotot.
"Tidur, lu enak bisa tidur, gua kagak!" jawab Junaidi yang hampir menangis. Tentu saja, melihat seorang pria yang hampir menangis itu membuat Rumi tertawa lebar.
"Haha, dasar banci!" seru Rumi seraya menendang boko*ng Junaidi membuat pria yang sedang menungging di atas kasur lantainya itu sedikit tersungkur.
Junaidi semakin menarik sarungnya, menutupi seluruh anggota badannya. "Kata orang, kalau mau lihat hantu bisa pakai cara lihat dari bawah kaki, mungkin si Rumi kudu liat dulu, biar tau apa yang gua rasain!" kata Junaidi dalam hati.
Sekarang, pria tampan berkulit kuning langsat itu membuka sarungnya. Dia menatap Rumi yang sedang asik memainkan ponselnya. Merasa diperhatikan membuat Rumi berpikir negatif. "Apa liat-liat? Gua masih normal, ya!" ucapnya dengan lirikan tajamnya.
"Dih, naj*is! Siapa juga yang doyan sama lu!" jawab Junaidi seraya menaikan sudut bibirnya, lalu, pria penakut itu kembali melihat ke arah jendela kamar kosnya yang di dekat pintu yang mana di sana ada sesosok pocong berwajah hitam sedang menatapnya, matanya merah dan hampir lepas dari tempatnya.
"Aaaa! Pergi!" teriak Junaidi seraya menunjuk arah jendela.
Melihat temannya bertingkah aneh lagi, Rumi pun kembali melempar bantal. "Kenapa sih, lu? Kesambet?" tanya pria berambut sedikit gondrong itu.
"Mi, kata orang, kalau lu belum ngerasain gimana jadi orang tersebut, lu nggak bakal tau gimana rasanya tersiksanya dia!" jawab Junaidi dan kali ini dia benar-benar menangis karena sosok yang berdiri di depan jendela menengklengkan kepalanya ke kiri, matanya tetap melotot dan sebelah matanya tiba-tiba saja jatuh.
Tapi, ada satu pertanyaan di hati Junaidi yang belum bisa dia jawab. "Kalau matanya jatuh, terus siapa yang ngambilin dong? Kan, tangan dia ke iket, coooo!"
Astaga, Junaidi semakin merinding, tak mau merasakan kesialan ini sendiri, Junaidi pun meminta temannya itu untuk berdiri di dekatnya, lalu membungkuk badanya.
Tapi, Rumi uang berpikiran jauh kemana-mana itu menolaknya, dia menyingkirkan tangan Junaidi dari punggungnya. "Apaan, sih. Nggak jelas banget! Lu mau ngerasain ini, hah?" tanya Rumi seraya menunjukkan bogem mentahnya, memberikannya tepat di depan wajah Junaidi yang terlihat pucat.
"Heran gua sama lu, kenapa otak lu pikirannya kotor mulu? Perlu dicuci nih kayanya!" sergah Junaidi seraya menyingkirkan tangan itu dan perdebatan kali ini tak selesai sampai datang teman mereka, teman sekolah dulu sewaktu duduk di bangku SMA.
"Lu pada ngapain, dah?" tanya Sami yang baru saja datang, dia membuka pintu lebar dan saat itu Junaidi yang menoleh pun semakin kesal dibuatnya, bagaimana tidak jika sosok mengerikan yang terbungkus kain kumal itu sudah berdiri di belakang Sami, ikut masuk dengan cara melompat-lompat saat pintu terbuka lebar.
"Salah apa dah gua sama lu? Kenapa lu nggak pergi?" tanya Junaidi pada sosok yang berdiri di belakang Sami, pria berjaket parasut hijau lumut itu.
Mendengar itu, tentu saja membuat dua temannya menggeleng. Kemudian, Rumi memukul kepala Junaidi.
Plak! Junaidi pun hanya bisa menangis, dia memilih duduk di sudut, menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya diantara lutut itu.
Sami yang belum mengetahui apapun menjadi bingung, dia bertanya pada Rumi. "Rum, kenapa sih? Gue baru datang malah diusir, nggak mau ini martabak telur?" tanya Sami seraya mengulurkan tangannya.
"Kayanya dia lihat pocong, makanya nangis terus dari kemaren," jawab Rumi seraya bangun dan menerima bingkisan tersebut.
Mendengar celotehan itu membuat Sami menyadari sesuatu, dia pun mengusap lehernya yang terasa dingin, bahkan bulu kuduknya pun berdiri, merinding.
Lalu, Junaidi menimpali perkataan Rumi. "Itu lu tau, kenapa dari tadi pura-pura begok?"
"Heh, asal ngomong!" jawab Rumi seraya menggigit martabak telur tersebut. Tapi, Sami yang melihat keadaan sahabatnya yang terlihat serius itu menjadi khawatir.
"Lu seriusan?" tanya Sami seraya menatap Rumi juga Junaidi.
"Sini!" perintah Junaidi pada Sami dan yang panggil pun mendekat.
"Apa?" tanya Sami seraya sedikit mengangkat dagunya, sementara itu, Rumi tengah asik menikmati martabaknya seorang diri, memperhatikan mereka yang terlihat konyol.
"Bungkuk, terus liat belakang lu dari kolong kaki sendiri!" perintah Junaidi lagi dan pria berambut keriting itu menurut.
Deg! Betapa terkejutnya Sami, dia sampai tak dapat berkata-kata lagi, hanya bisa menatap Junaidi yang meringis. "Lu liat, kan?" tanya Junaidi dan Sami menjawab dengan mengangguk, matanya bulat sempurna dan pria bercelana levis itu hampir terkencing di celana.
"Terus, kenapa lu pada masih di sini? Bukannya keluar, bege!" geram Sami dengan sedikit menahan tangisnya.
"Gimana gua mau lewat kalau dia berdiri di tengah pintu!" jawab Junaidi dengan sedikit menangis, dia menghentakkan kakinya dengan begitu kesal.
Lalu, dengan tertatih, Sami mengulurkan tangannya pada pria yang masih duduk di sudut kamarnya itu dan Junaidi pun meraihnya. "Kita kabur, yuk!" ajak Sami dan Junaidi menjawab dengan mengangguk.
Sekarang, dengan gerakan pelan tapi pasti, mereka berjalan melewati pocong yang diam berdiri tegak lurus di tengah pintu dan saat itu, Junaidi merasa langkahnya terasa amat berat, sudah berusaha dengan susah payah, tapi kenapa kakinya seolah tak mau digerakkan.
Sementara Sami, dia kesal dengan Junaidi yang tak mau bergerak tepat di sisi makhluk tak kasat mata itu, walau Sami sudah tak melihatnya lagi, tapi dia tau di mana sosok tersebut berdiri dan membayangkan kalau sosok itu sedang memperhatikannya.
"Cepetan napa, lu, ah!" geram Sami pada Junaidi yang sekarang malah terkencing di celana.
"Hahahaha, heran gua, napa sih lu pada bersikap aneh gitu?" tanya Rumi yang mengikuti mereka di belakang dan karena Junaidi tak bisa bergerak, Rumi pun mendorongnya keluar membuatnya tersungkur tepat di depan pintu, kemudian tak lupa mengikuti Sami untuk melihat dari bawah kakinya dan seketika, pria yang masih mengunyah martabaknya itu langsung pingsan.
Sementara itu, Junaidi dan Sami segera pergi, mereka berlari menuruni tangga dan saat sampai di lantai paling bawah, ternyata sosok berwajah hitam lekat itu sudah menunggunya.
"Astaga, dia ngincer lu kali, Jun!" kata Sami seraya menepuk punggung sahabatnya.
"Gua nggak tau, perasaan gua, gua nggak punya salah sama dia, gua nggak kenal sama dia, Sam!" jawab Junaidi dengan sedikit berteriak.
"Terus, kenapa sekarang lu berhenti jalan?" tanya Sami dan Junaidi menjawab, "Dia udah berdiri di depan kita, Sam!"
"Apa?" Sami bertanya, tak percaya kalau diikuti oleh mahluk astral tersebut.