Dua tahun. Dua sahabat. Satu cinta dan satu hati. Clara dan Sarah, terikat oleh persahabatan yang tak tergoyahkan sejak dua tahun persahabatan mereka di bangku kuliah, menghadapi badai kehidupan bersama. Namun, kedamaian itu hancur ketika sebuah kerikil kecil—sejumlah tokoh antagonis, masing-masing dengan segudang niat jahat—muncul secara tiba-tiba. Serentetan jebakan dan intrik licik memicu serangkaian kejadian di antara Sarah dan Clara: salah paham, pertengkaran, dan pengkhianatan yang tak terduga. Apakah persahabatan mereka cukup kuat untuk menghadapi cobaan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 34. Kedatangan Lein
Di Disneyland, tangan bertautan, tawa bercampur riuh pengunjung, Clara dan Antonio menikmati kebersamaan mereka.
Mereka menjelajahi setiap sudut taman hiburan, mencoba wahana-wahana seru, dan menikmati kelezatan kuliner di sana. Senyum Clara merekah, terutama setelah menjajal wahana-wahana menegangkan yang baru pertama kali ia coba.
Kini, mereka duduk berdampingan di bangku dekat wahana, kepala Clara bersandar lembut di bahu Antonio, sementara belaiannya terasa hangat di rambut Clara.
"Gimana, senang, kan?" tanya Antonio, matanya menatap Clara penuh kasih sayang. Clara dengan mata berbinar, menegakkan tubuhnya. Ia menatap Antonio, lalu mengangguk pelan. "Banget! Apalagi, mainnya sama kamu," jawabnya, suaranya penuh kelembutan.
Senyum Antonio merekah mendengar jawaban Clara. Clara pun kembali menyandarkan kepalanya di bahu Antonio, tangan mereka tetap bertautan.
Aroma parfum Clara yang lembut tercium samar-samar oleh Antonio, membuatnya candu dan tentu saja menyukainya. Ini aroma bunga mawar campur mint. Sementara Antonio sangat menyukai aroma daun mint.
"Aku senang kamu senang," ucap Antonio, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. Ia kembali mengelus rambut Clara, jari-jarinya bergerak lembut dan perlahan. Clara memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut Antonio.
"Kita naik wahana lagi yuk!" ajak Clara tiba-tiba, membuka matanya yang berbinar. Antonio tertawa kecil.
"Wahana apa lagi yang kamu mau?" tanyanya. Clara berpikir sejenak, lalu menunjuk sebuah wahana yang terlihat cukup menantang. "Itu! Yang warna biru itu!"
Antonio tersenyum. "Baiklah, Nona pemberani. Ayo kita coba!" Ia berdiri, menarik tangan Clara dan mengajaknya menuju wahana yang dituju.
Debu-debu halus beterbangan di udara saat mereka berjalan, sisa-sisa kegembiraan pengunjung lain yang baru saja melintas. Antrian untuk wahana biru itu lumayan panjang, tetapi Clara dan Antonio tak keberatan.
Mereka asyik mengobrol, berbagi cerita tentang wahana-wahana yang sudah mereka naiki, tawa mereka bercampur dengan riuh rendah suara pengunjung lainnya.
Clara menceritakan betapa jantungnya berdebar kencang saat menaiki wahana rollercoaster, sementara Antonio bercerita tentang bagaimana ia menahan tawa saat melihat ekspresi Clara yang lucu ketika dihempas naik-turun.
Sesampainya di depan wahana, mereka mengamati sejenak desain wahana yang terlihat modern dan futuristik.
Clara sedikit gugup, tetapi tangan Antonio yang menggenggam tangannya membuatnya sedikit merasa nyaman. Mereka menaiki wahana tersebut, dan lagi-lagi, tawa mereka menggema di antara jeritan dan teriakan pengunjung lain.
Setelah wahana berhenti, Clara dan Antonio keluar dengan wajah yang memerah, tetapi senyum lebar menghiasi wajah mereka.
"Seru banget!" seru Clara, matanya berbinar-binar. Antonio mengangguk setuju. "Kita harus mencoba wahana lain lagi besok!" usulnya. Clara langsung menyetujui ide tersebut.
Sementara itu di kamarnya, Sarah duduk termenung di tepi ranjang. Tatapannya kosong, melayang jauh. Setelah membantu ibunya memasak dan membersihkan rumah, ibunya pergi membantu tetangga menyiapkan kenduri. Sarah ingin ikut, tapi ibunya menolak, menyuruhnya untuk di rumah saja.
Keheningan di kamar terasa panjang. Ia menunggu telepon Clara, namun tak kunjung datang. "Mungkin lagi asyik sama Antonio... ngapain juga aku nungguin telpon Clara," gumamnya pelan, lalu menghela napas. Ia bangkit, berjalan ke dapur untuk minum, namun...
"Sar, ada cowok tuh di depan, katanya nyariin kamu!" Suara ibunya tiba-tiba memecah kesunyian. Sarah tersentak. Ibunya sudah ada di belakangnya, tanpa terdengar langkah kakinya dan kapan ia datang.
Sarah mengangguk, lalu bergegas ke ruang tamu, meninggalkan ibunya yang buru-buru menuju kamar. Dengan penasaran, ia membuka pintu...
"Lein?"
Ya, orang yang datang ke rumahnya adalah Lein. Setelah beberapa hari menghilang tanpa kabar, tiba-tiba pria bule di depannya ini berdiri di depan rumahnya. Kemana Lein pergi? mengapa ia datang ke rumahnya? Pikir Sarah.
Lein hanya menatap Sarah tanpa bicara. Tatapannya sendu, seakan menyimpan beban yang berat. Lalu...
Grepp
Lein memeluk Sarah erat, membuatnya terkejut. Apa maksudnya?
"L-Lein?" Sarah tidak membalas pelukan Lein, ia cukup terkejut untuk bisa melakukan itu. Tangannya tetap terkulai lemas di sisi tubuh.
Lein menggeleng cepat, masih tetap memeluk Sarah. Bahkan, ia semakin mengeratkan pelukannya itu, membuat Sarah merasa sesak.
"Jangan nolak, Sar. Please, aku mau meluk kamu bentar. Nyium aroma tubuh kamu yang begitu candu buat aku," pinta Lein. Suaranya sedikit bergetar, serak.
"Lein?"
"Aku kangen sama kamu, Sar. Apa kamu nggak kangen sama aku?!" Suara Lein sedikit meninggi, nafasnya memburu, namun ia enggan untuk melepas pelukannya.
Mama Sarah pun keluar dari rumah, langkahnya tergesa, tapi seketika ia menghentikan langkahnya setelah melihat Sarah berpelukan dengan pria.
"Sar, kamu..." Mama Sarah tampak terkejut, tentu saja. Ini adalah kali pertama ia melihat Sarah berpelukan dengan laki-laki.
Sarah dan Lein spontan melepas pelukan mereka. Sarah menoleh, menundukkan kepalanya. "Maaf, Ma," ujarnya, rasa bersalah terlihat jelas di wajahnya, takut mendengar respon mamanya.
"Ini...Pacar kamu?" tanya mamanya menatap Lein.
Sontak, Lein dan Sarah saling menatap. Terkejut, tapi kemudian senyum cerah terukir di bibir Lein. Ia menatap mama Sarah.
"Iya Tante, saya Lein, pacarnya Sarah," jawab Lein, senyumnya merekah—suatu pernyataan yang mengejutkan bahkan dirinya sendiri.
Kebohongan itu terlontar begitu saja, didorong oleh gelombang kerinduan yang membuncah dan kebutuhan akan kedekatan dengan Sarah. Ia berharap, semoga saja kebohongan ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik. Mama Sarah tampak masih terkejut, namun ada secercah penerimaan di matanya.
Deg!
"Pacar? Lein... Kita kan cuma teman," batin Sarah, tertegun. Ucapan Lein masih bergema di telinganya, membuat matanya terpaku pada sosok di sampingnya.
"Oh pacarnya Sarah, kirain siapa tadi," kata Mama Sarah, tersenyum ramah. "Ya udah kalau gitu kamu masuk aja, ngobrol sama Sarahnya di dalam. Nggak enak kalau dilihat orang."
Sebelum Sarah sempat menanggapi, Mama Sarah melanjutkan, "Sar, Mama pergi dulu ya. Balik lagi ke tempat kenduri, belum selesai tadi persiapannya. Mama pulang sebentar karena ada panggilan alam. Urgent banget, hehe. Yaudah mama tinggal ya." Mama Sarah pun pergi, meninggalkan Sarah dan Lein berdua.
"Sekarang...aku harus apa? berdua aja sama Lein gitu?" batin Sarah, melirik Lein. Sebuah kekhawatiran, bercampur rasa gugup tergambar di wajahnya.
"Silakan masuk, Lein," ucapnya, sedikit canggung. Lein mengangguk, mengikuti Sarah masuk dan duduk di sofa. Setelah Lein duduk, Sarah berdiri, hendak mengambilkan Lein minuman, tapi... Lein mencekal lengan Sarah.
"Aku kesini bukan mau minum, Sar," katanya, "tapi karena aku kangen sama kamu dan pengen ketemu." Sarah diam, menatap mata Lein, lalu menghela napas panjang.
"Beberapa hari ini kamu kemana aja, kok nggak wa aku?" tanya Sarah, sedikit khawatir.
Lein tersenyum—senyum yang sedikit terbebani rasa bersalah. "Aku... aku ada urusan penting, Sar. Masalah keluarga. Maaf ya, aku nggak sempet kabarin kamu," jawabnya, lalu menghela napas panjang.
"Tadi... kamu kenapa meluk aku, terus ngaku-ngaku ke Mama sebagai pacar aku? Kamu tahu, aku takut banget tadi. Aku takut mama bakal marahin aku, karena udah pelukan sama cowok," ujar Sarah, nafasnya memburu. "Kamu kenapa datang ke rumah nggak kabarin aku dulu?" lanjutnya.
Lein hanya diam, tatapannya tak lepas dari Sarah. Hening menyelimuti mereka hingga akhirnya...
Bersambung ...