“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 : Berhak Bahagia
“Mas, ... ayo!” rengek Aisyah masih berusaha mendapatkan haknya.
Jujur, Ilham ingin berkata kasar, bahkan bila perlu melakukan yang lebih parah dari yang ia lakukan kepada Arimbi, agar Aisyah mau meninggalkannya. Masalahnya, Ilham sudah terikat perjanjian, dan tentu saja, Ilham harus membayar denda andai ia berani macam-macam ke Aisyah jika ia sampai berulah apalagi sampai memperlakukan Aisyah layaknya ia membuang Arimbi.
“Maaf, Aish ... aku baru ingat, di luar masih banyak pekerjaan. Kalau kamu mau tidur, tidur saja. Toh, kamu juga belum terbiasa beres-beres rumah, kan?” ucap Ilham yang kemudian sibuk berdeham.
“Memuliakan istri dengan bantu beres-beres rumah memang bagus, Mas. Pahalanya besar. Masalahnya, ini rumah orang tua Mas, bukan rumah kita. Kita enggak berkewajiban bantu. Malahan kita lebih wajib ibadah malam apalagi kita sudah resmi,” ucap Aisyah sambil berdiri layaknya yang sudah lebih dulu Ilham lakukan.
“Kalau cara kamu begini, pantas kamu langganan jadi janda. Sama keluarga suami saja kamu sengaja menjaga jarak!” kesal Ilham. “Pantas kamu sampai dinikahkan, kelakuan kamu saja enggak jelas begini. Jangan bilang yang ada di pikiran kamu cuma seeekkks!” Ilham benar-benar marah, dan langsung mendapat tatapan tak kalah marah dari Aisyah.
“Aku enggak mau diperbudak oleh keluarga suamiku, Mas. Karena jangankan keluarga suami, Romo saja enggak berhak atur-atur aku!” tegas Aisyah yang langsung membuat wajah Ilham merah padam.
“Merinding aku dengar ucapanmu, Aish!” balas Ilham.
“Asal Mas tahu, sebelum menikah dengan Mas, aku sudah dijodohkan dengan kyai Agung. Laki-laki terpandang dan Mas beneran enggak ada apa-apanya! Jadi Mas harusnya berterima kasih karena aku memilih Mas, dan ini bikin derajat Mas sekeluarga, terangkat!” balas Aisyah.
Yang langsung ada di ingatan Ilham adalah ketika dirinya membuang Arimbi dan memberi wanita itu kata-kata menyakitkan. Persis seperti yang tengah Aisyah lakukan kepadanya.
Mengangguk-angguk sambil menatap kecewa Aisyah, Ilham berkata, “Dan asal kamu tahu, dipilih kamu ibarat mala petaka untukku! Sekarang, setelah tahu kamu begini, aku juga jadi tahu kenapa tidak ada satu pun suami kamu yang betah. Kenapa Romo Kyai sampai melakukan segala cara termasuk membayarkan semua hutangku, asal aku tetap mau menikah dengan kamu. Jawabannya kamu, ... kamu demit yang berlindung di balik syari sekaligus cadarmu. Karena andai kamu memang manusia, kamu pasti bisa memiliki sikap baik orang pesantren apalagi Romo Kyai! Dan asal kamu tahu, aku MENYESAL sudah menikah sama kamu. Daleman sama luar sama rusaknya!” Ilham memilih pergi dari sana. Membiarkan Aisyah yang mematung, seorang diri. Kenyataan yang Ilham yakini akan menjadi kebiasaannya, yaitu menjauhi Aisyah, menjadikan wanita itu sebagai istri yang haramm disentuh seperti yang sempat ia lakukan kepada Arimbi.
“Jadi nyesel, kenapa kemarin aku enggak langsung nyoba Arimbi saja biar aku enggak beneran rugi bandar begini!” kesal Ilham dalam hatinya. Walau niatnya berdalih akan beres-beres demi menghindari Aisyah, nyatanya Ilham masuk ke kamar sebelah dan bersiap tidur di sana.
“Si Ilham beneran jahat. Awas kamu, Ham. Kalau kamu enggak mau memulai, biarkan aku yang memulai semuanya. Siap-siap saja, tunggu pembalasanku!” batin Aisyah yang buru-buru memakai pakaiannya lagi. Termasuk jilbab dan juga cadarnya. Ia belum siap membiarkan orang tua Ilham melihat wujud aslinya.
Di kamar sebelah, Ilham yang membawa ponsel, mendadak kepikiran Arimbi. “Aku sudah talak tiga dia, enggak mungkin bisa lagi. Tapi, Rimbi bilang mau batalin pernikahan kami, jadi ini statusnya bagaimana?” pikirnya sambil memandangi kontak WA Arimbi yang sudah tidak memakai foto profil kebersamaan mereka. Kini, Arimbi memakai foto hamparan langit biru sebagai foto profilnya.
***
Pagi-pagi sekali, Arimbi sudah siap dengan pecel, lontong, dan juga aneka gorengannya. Ia langsung memboyong semuanya ke motor dan siap mendagangkan semua itu. Ia tak berjuang sendiri karena sang mamak masih membantu di tengah keterbatasan wanita itu.
Hari ini Arimbi membawa dagangan jauh lebih banyak karena kini, Arimbi yang tak lagi bekerja di rumah ibu Irma, akan fokus jualan.
“Nanti Mas Agung ke sini kok, Bu. Bantu urus bikin pondasi rumah. Ibu juga jangan capek-capek, Ibu istirahat, ya.” Seperti yang Arimbi katakan, mulai ini juga, pembangunan untuk rumah barunya akan dimulai.
“Iya, Mbi. Ibu semangat banget!” balas ibu Warisem optimis mereka akan menemukan kebahagiaan walau tanpa Ilham.
“Wajib dong, Bu!” ucap Arimbi sembari memasang maskernya. Selain itu, ia juga makin menjaga penampilannya untuk lebih menarik pelanggan. Bukan bermaksud genit, melainkan agar kerapihan tampilannya tidak membuat pembeli ragu apalagi jijik untuk membeli.
“Ya sudah, Ibu mau siapin sayur buat pecel sekalian gorengannya. Takutnya ada yang beli,” ucap ibu Warisem.
“Gorengannya gorengnya dadakan saja, yah, Bu. Biar lebih enak!” balas Arimbi yang kemudian pamit pergi.
“Walaikum salam, Mbi.” Dalam hatinya, ibu Warisem yang masih tersenyum cerah melepas kepergian Arimbi berkata, “Kamu, ... kita berhak bahagia, Mbi!”
Kabut tebal masih menyelimuti pagi karena kini memang baru pukul lima lewat. Rasa dingin terasa hingga ke sendi dan tang, tapi itu sudah membuat seorang Arimbi kebal. Jalan becek menuju rumahnya sudah sampai ia beri batu cadas dan sampai dibantu diratakan oleh warga sekitar. Arimbi membeli satu truk batu cadas menggunakan uang ganti rugi dari Ilham. Transportasi ke sana jadi lebih mudah. Beberapa orang yang akan ke sawah maupun nderes atau itu menyadap nira kelapa untuk dijadikan gula merah, sampai lewat sana. Beberapa di antaranya yang berpapasan dengan Arimbi, tak segan menyapa. Karena mereka juga menanyakan stok pecel lontong berikut gorengan.
“Iya, di rumah masih ada, Wa. Langsung saja minta ke Ibu, Uwa butuhnya jam berapa.”
Berkat mas Aidan yang telah menyingkirkan fitnah keji Ilham, nama baik Arimbi telah pulih. Tak ada lagi anggapan miring, atau wejangan orang tua kepada putrinya yang belum menikah, agar tidak meniru Arimbi yaitu jadi wanita gampangan dan sampai hamil di luar pernikahan. Malahan kini, para orang tua meminta anak perempuannya untuk meniru Arimbi, menjadi wanita ulet yang juga sangat tangguh.
Sampai di depan rumah Ilham, di sana masih sepi dan gelap, beda dengan rumah lain yang sudah ramai dan oleh aktivitas baru. Namun di teras rumah, Arimbi mendapati Ilham. Pria itu berdiri mengamati sekitar. Ilham masih memakai peci, koko panjang, dan juga sarung. Anehnya, Ilham tampak mengukir senyum layaknya biasa sebelum mereka terlibat tragedi kemarin. Namun Arimbi yang telanjur gondok, langsung memalingkan pandangan karena belum tentu juga, senyum Ilham memang untuknya.
“Maaf-maaf saja, sih. Kalaupun itu memang buat aku, ihhh ... gedek! Aku berhak bahagia bahkan tanpa kamu, Mas. Dikiranya cuma kamu yang berhak bahagia dengan wanita sucimu!” batin Arimbi terus mengemudikan motornya. Ia akan segera dasar dagangan di perempatan sebelah pasar dan terkadang menjadi tujuan mas Aidan berwisata kuliner sambil jalan kaki bersama kakek neneknya.