Ares dan Rara bersahabat baik dari kecil. Tidak mau kehilangan Ares membuat Rara mempertahankan hubungan mereka hanya sebatas sahabat dan memilih Arno menjadi pacarnya. Masalah muncul saat Papa Rara yang diktator menjodohkan Ares dan Rara jatuh sakit. Sikap buruk Arno muncul membuat Rara tidak mempertimbangkan dua kali untuk memutus hubungan seumur jagung mereka. Ares pun hampir menerima perempuan lain karena tidak tahan dengan sikap menyebalkan Rara. Namun demi melindungi Rara ,memenuhi keinginan papa dan membalas Arno. Akhirnya Rara dan Ares menikah. Hari - hari pernikahan mereka dimulai dan Rara menyadari kalau menjadi istri Ares tidak akan membuatnya kehilangan lelaki itu. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan mereka yang sebelumnya sahabat menjadi suami istri serta bagaimana jika yang sakit hati menuntut balas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Calistatj, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17
Arno menarik pistol dari saku belakangnya dan menodongkan pistol itu di pelipisku. Jemarinya sudah siap di pelatuk. Tubuhku bergetar. Aku merasa kalau ajal benar - benar sudah dekat.
“NGGAKK! Lepasin Rara” Jerit Ares.
“ANGKAT TANGAN! POLISI” Polisi memasuki ruangan dan menodongkan pistol ke arah Arno. Para anak buahnya sudah mengangkat tangan.
“Sialan lo, Res. Gue udah bilang jangan berani panggil polisi” Pekik Arno.
“Letakan senjata anda atau kami akan menembak” Ancam salah satu polisi.
“Bukan gue yang panggil polisi” Kata Ares.
Salah satu polisi menembak ke atap. Tembakan peringatan untuk Arno. Arno menyunggingkan senyum. Dia merubah arah pistol dan menembak Ares bertepatan dengan tembakan polisi yang mengarah padanya.
“DOOR” suara tembakan dilepas. Ares terjatuh sambil memegangi perutnya. Darah merembes dari kemeja yang dia kenakan membuatku menjerit.
Begitu merasakan pelukan Arno mengendur aku segera berlari ke arah Ares. “Res, sadar Res. Res aku cinta sama kamu. Res , bangun” Kataku panik.
Suara sirine ambulance terdengar dari jauh. Pandangan mataku memudar dan berangsur - angsur menjadi gelap. Hitam. Kesadaranku seketika menghilang.
***
Aku mengerjap - ngerjapkan mataku begitu kesadaranku kembali. Bau alkohol yang bercampur dengan obat - obatan dan pembersih lantai menusuk hidungku. Aku membuka mata perlahan dan mendapati papa tertidur di sampingku. Punggung tanganku juga diinfus. Aku berada di rumah sakit. Mimpi buruk itu terasa terlalu nyata. Apakah semuanya sudah berakhir?
“Pa?” Lirihku.
Mendengar suaraku membuat papa langsung terbangun. “Rara! Ra, kamu nggak apa - apa?” Papaku menatapku khawatir.
Mataku berkaca - kaca. “Ares bagaimana papa keadaanya?” Tanyaku setelah sadar akan apa yang terjadi.
“Ares masih belum sadar paska operasi”
“Tapi, dia akan sadar kan, Pa? Dia nggak apa - apa kan, Pa?” Tanyaku sambil menangis.
“Iya. Peluru itu sudah dikeluarkan dari perut Ares. Syukurlah pelurunya tidak mengenai organ dalam” Jelas Papa.
Untuk sesaat aku bisa menghela nafas lega. “Anakku bagaimana?”
Papa tersenyum ke arahku. “Kenapa kamu nggak bilang ke papa kalau kamu hamil? Untung janin kamu baik - baik saja”
“Syukurlah. Aku mau ini menjadi kejutan untuk keluarga kita. Aku bahkan belum bilang sama Ares secara langsung… bagaimana kalau aku bahkan nggak sempat bilang langsung sama dia?”
Papa meraih jemariku dan menggenggamnya. “Ares akan baik - baik saja, Rara”
“Semoga, Pa” Aku sama sekali tidak menginginkan keluargaku menuju kehancuran. “Arno udah dipenjara kan, Pa?”
“Arno meninggal di tempat. Tembakan polisi mengarah tepat ke jantungnya”
“Rara mau lihat keadaaan Ares”
“Kamu masih lemas, Rara. Tunggu keadaanmu membaik”
***
Sejam ini benar - benar terasa seperti selamanya untukku. Aku menunggu dokter memeriksa kondisiku dan mengizinkanku untuk melihat kondisi Ares. Aku duduk di kursi roda yang didorong papa. Aku hanya ingin memastikan kalau Ares baik - baik saja.
“Res” Kataku begitu papa mendorong kursi rodaku mendekat kepada Ares. Lelaki itu tampak tak berdaya dengan beberapa lebam yang ada ditubuhnya dan kesadaran yang belum kembali. Om Lukman berada disisi anaknya dengan wajah yang sangat khawatir.
“Kamu baik - baik saja, Ra?” Tanya Om Lukman.
“Aku nggak apa - apa, Pa. Ares bagaimana?”
”Ares masih belum sadar. Kata dokter operasinya berjalan lancar” Jelas Om Lukman,
Aku mengarahkan kembali pandanganku kepada Ares dan meraih jemarinya. “Cepat sadar. Ada hal yang belum aku kasih tau ke kamu”
“Ares akan segera sadar, Rara. Nanti papa akan kasih tau kamu begitu dia sadar. Sekarang kamu kembali istirahat di kamar ya” Pinta papaku. Aku mengangguk dan membiarkan papa membawaku meninggalkan ruang rawat Ares. Kejadian ini membuatku benar - benar menyadari kalau aku mencintai Ares dan sama sekali tidak ingin kehilangannya. Aku meremas kedua tanganku dan menyalahkan diriku sendiri. Semua ini terjadi karena aku. Aku menjalin hubungan dengan lelaki tidak benar yang menyeretku ke dalam masalah seperti ini. Andai dari dulu aku mendengarkan papa semua tidak akan terjadi. Tapi, tak ada masa lalu yang bisa diubah. Sebanyak apapun aku menyalahkan diri. Masa laluku tidak akan berubah.
“Ra, papa ambil baju kamu di rumah dulu” Pamit papa. Aku mengangguk.
Sepeninggal papa aku memandang langit - langit kamar dalam diam. Aku ingin berada di sisi Ares sekarang. Tapi, aku harus beristirahan demi memulihkan kondisiku terlebih dahulu. Pintu kamarku didorong dan menampakan sosok Donna.
“Donna” Lirihku melihat Donna di ambang pintu. Raut wajah perempuan itu tidak dapat aku artikan.
Donna berjalan ke arahku dengan pelan. “Rara, Ares nggak apa - apa kan?”
Dari dekat aku bisa melihat wajah sembab Donna. Dandanannya tidak glamour seperti biasa. Donna menggunakan kaos putih dan celana jeans serta sendal jepit padahal biasanya dia selalu berdandan seperti seorang model.
“Ares belum sadar. Ngapain kamu disini?”
“Ada papa Ares di kamar. Aku nggak bisa mendekat kesana” kata Donna.
Aku memandang Donna. “Kamu sayang sama Ares?”
Donna mengangguk. “Jatuh cinta sama Ares sebelumnya nggak ada di rencanaku, karena aku tau dari dulu dia jatuh cinta sama kamu. Jadi, aku hanya berusaha untuk menyukai Ares sebagai teman. Tapi, perasaan ini semakin tidak bisa dikendalikan waktu kami bertemu kembali setelah lulus kuliah” Donna mendekat dan mengambil duduk di samping brankarku. “Aku yang panggil polisi”
Mataku membulat dan memandang Donna. “Dari mana kamu tau?”
“Ares lagi sama aku waktu penjahat itu telepon dan dia minta aku telepon polisi dalam satu jam”
“Kamu ada hubungan apa sama Ares?” Tanyaku was - was.
“Aku minta Ares temui aku untuk yang terakhir. Aku tau sebanyak apapun usaha aku. Perasaan Ares nggak akan berubah” Donna mengeluarkan sebuah boarding pass dari dalam tasnya. Tiket itu akan membawanya menuju New York malam ini.
Donna mengelap air matanya dengan punggung tangan. “Jujur aku masih ingin merebut Ares dari kamu. Tapi, aku nggak mungkin selamanya berjuang. Ares ke apartemen aku beberapa hari lalu, karena aku bilang aku sakit dan aku mau dia tolong aku. Dia datang dan bawa aku ke dokter, tapi hanya itu. Sebanyak apapun aku menggoda dia. Dia sama sekali nggak tergoda. Jadi, aku harus menyerah dan menata ulang hidup aku”
“Ares pasti sayang kamu juga sebagai teman”
Donna mendongak dan menatapku. “Ternyata lebih baik membiarkan dia hidup bersama orang yang membuat dia bahagia, dari pada melihat dia pergi untuk selamanya”
“Don, kamu tau dari mana soal kejadian ini?” Aku penasaran. Mencoba menyusun kepingan puzzle yang belum sempurna.
“Aku ikutin Ares” Jelas Donna. Sekarang semua kepingan puzzle ini jadi tersusun rapih di kepalaku menjawa bpertanyaan yang aku pertanyakan tentang dari mana Donna tau Ares dirawat disini.
“Makasih, Don. Kamu mau liat Ares?”
“Please, Ra”
“Ayo kita ke kamar Ares” Ajakku. Donna sudah menyelamatkan kami dan dia juga menyayangi Ares, jadi aku mengajaknya ke ruang rawat Ares.