ig: nrz.kiya
Farel Aldebaran, cowok yang lebih suka hidup semaunya, tiba-tiba harus menggantikan posisi kakak kembarnya yang sudah meninggal untuk menikahi Yena Syakila Gunawan. Wanita yang sudah dijodohkan dengan kakaknya sejak bayi. Kalau ada yang bisa bikin Farel kaget dan bingung, ya inilah dia! Pernikahan yang enggak pernah dia inginkan, tapi terpaksa harus dijalani karena hukuman dari ayahnya.
Tapi, siapa sangka kalau pernikahan ini malah penuh dengan kekonyolan? Yuk, saksikan perjalanan mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur dzakiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: Bisikan Nakal Farel
“Oh, ya udah, gue ngerti sekarang,” katanya dengan nada tenang, lalu menambahkan dengan ekspresi sok bijak, “Tapi kalo gue ini Faris, lo pasti udah nggak selamat sih.”
Yena membelalak, setengah kesal setengah bingung. “Maksud lo apaan, Rel?! Kenapa tiba-tiba bawa kak Faris?”
Farel belum selesai dengan kejahilannya malam itu. Ia kembali mendekatkan tubuhnya hingga mendekat ke arah Yena yang masih berusaha keras menenangkan diri. Dengan gerakan licik, dia menunduk, mendekatkan wajahnya tepat di samping telinga Yena.
“Kalau aku Faris,” bisiknya pelan namun penuh arti, “malam pertama itu... kegadisanmu udah hilang, Yen.”
Suara Farel yang rendah dan terlalu terang-terangan membuat Yena langsung menegang. Geli, kesal, dan aneh bercampur menjadi satu dalam tubuhnya. Napasnya tertahan sejenak, lalu wajahnya memerah seketika.
“REL!” serunya, setengah marah setengah gugup, sebelum dengan cepat mendorong tubuh Farel menjauh darinya. Farel hanya terkekeh tanpa dosa, menikmati ekspresi Yena yang sudah hampir kehabisan kata-kata.
“Cukup ya, Rel!” Yena menunjuk wajah Farel dengan kesal. “Kalau lo nggak mau diem dan tidur sekarang, gue serius tidur di sofa! Bahkan gue bakal laporin semua omongan absurd lo ke ibu besok pagi!”
Ancaman itu membuat Farel tersentak, tapi hanya sesaat sebelum dia menyeringai jahil lagi. “Laporin aja, gue kan anak spesial. Paling juga ibu cuma nyuruh lo sabar, sabar, sabar...”
“Rel!” bentak Yena lagi, kali ini jantungnya sudah berdetak cepat. Wajahnya yang merona benar-benar tidak bisa disembunyikan lagi, membuat dia semakin kesal pada suaminya yang benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti.
Melihat Yena yang semakin memerah, Farel akhirnya tertawa kecil, lalu mengangkat tangan seperti menyerah. “Oke, oke, gue diem! Tapi tenang aja, Yen, gue nggak bakal macem-macem kok. Kan gue... suami yang baik.”
“Tapi gak tau malu,” gumam Yena sambil membenamkan wajahnya ke bantal, mencoba mengabaikan Farel sepenuhnya.
Farel akhirnya benar-benar berhenti mengganggu, tapi tidak bisa menahan senyum puas di wajahnya.
Yena kembali berbaring, menenggelamkan wajahnya ke balik bantal dengan kesal. Wajahnya benar-benar merah, terasa panas hingga ke telinganya. Apa-apaan malam ini? Dari video aneh tadi, ucapan absurd Farel, hingga godaannya yang tidak ada habisnya, semua membuatnya tidak bisa tenang.
Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya terus berputar. Ini adalah pertama kalinya ia hidup bersama seorang pria, berbagi tempat tidur, dan meski ia berusaha keras untuk bersikap dewasa, tetap saja rasanya canggung.
Dan yang membuatnya semakin kesal adalah Farel. Kenapa harus menyebut Faris segala? Nama itu seolah menjadi pengingat bahwa pria di sampingnya ini berbeda jauh dengan kakak kembar Farel. Faris selalu dianggap sempurna, dewasa, penuh tanggung jawab, dan perfeksionis. Sedangkan Farel... yah, dia pria tantrum yang sulit ditebak.
Namun, yang paling menyebalkan adalah kalimat Farel tadi. “Gue nggak bakal macem-macem, kan gue suami yang baik.”
Yena mengerutkan kening di balik bantal, kesal. Apa maksudnya itu? Apakah Farel benar-benar tidak akan pernah melihatnya sebagai wanita? Apakah dia berpikir pernikahan ini hanya formalitas dan tanggung jawab belaka? Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak, meski ia tahu ia tidak seharusnya memikirkan hal seperti itu.
Yena memutar tubuhnya perlahan, melirik ke arah Farel yang kini sudah berbaring membelakanginya, tampak tenang seperti tidak pernah melakukan kesalahan. Ia mendesah pelan, mencoba melupakan semuanya.
"Ya ampun, Rel," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kenapa lo selalu bikin gue ribet bahkan cuma lewat kata-kata?"
Tapi Farel tetap diam, tidak merespons. Entah sudah tidur atau memang sengaja tidak menanggapi.
Yena akhirnya menutup matanya, berusaha tidur, meski pikirannya tetap tak bisa berhenti berputar.
Pagi itu, Farel sudah duduk di meja makan lebih awal dari biasanya. Ia tahu, tidak ada lagi ruang untuk drama pagi seperti kemarin. Roti tawar sudah nangkring di mulutnya, satu gigitan sudah berpindah ke perut. Tapi pemandangan dirinya? Jauh dari kesan profesional.
Kemejanya berantakan, separuh tertarik keluar dari celana. Sebuah dasi malah diikat asal di dahinya seperti ninja gagal. Sepatunya pun hanya dipasang sebelah, yang satu lagi entah di mana. Farel sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang hendak berangkat kerja.
Yena turun dari lantai atas sambil celingak-celinguk mencari sosok suaminya. Begitu matanya menangkap Farel di ruang makan, ia langsung menghela napas panjang dan refleks menepuk jidatnya.
“Rel... kenapa bajunya jadi begini?” gumamnya kesal sambil melangkah mendekat. Padahal, kemeja itu sudah ia setrika dengan rapi semalam. Tapi kini, kemeja itu terlihat seperti habis dipakai untuk perang, bukan kerja.
“Ini udah rapi, Yen. Jangan terlalu rapi, itu bukan gayaku,” ucap Farel, sambil terus mengunyah roti di mulutnya. Ucapannya terdengar samar karena suara kunyahan yang mendominasi.
Yena tidak menggubris ucapan itu. Dengan penuh kesabaran dan mungkin sedikit kekesalan, ia menarik kemeja Farel, membuka kancingnya sedikit, lalu merapikannya dari awal. Farel hanya bisa diam, matanya mengikuti setiap gerakan Yena.
“Jangan banyak gaya deh. Lo pikir ini acara cosplay apa pakai dasi di kepala kayak gitu?” ujar Yena sambil membuka dasi yang melingkar di dahi Farel.
“Eh, itu cara baru menggunakan dasi tau,” protes Farel sambil menyikut angin, tapi tetap membiarkan Yena mengambil alih.
Yena mengabaikan protes itu. Ia memasang dasi ke leher Farel dengan cekatan, menariknya hingga pas. Tapi ketika selesai, ia malah melangkah mundur sedikit, mengamati Farel dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Sepatunya mana?” tanya Yena dengan tatapan curiga.
Farel melirik ke bawah meja, lalu menunjuk salah satu sudut ruangan dengan santai. “Satu di sana. Yang ini masih di kaki gue, aman kok.”
Yena memutar bola matanya. “Rel, lo harus inget, ini kerja di perusahaan besar ayah lo. Lo tuh nggak bisa tampil kayak mau ngamen di perempatan.”
“Yang penting kan kerja otaknya, bukan bajunya. Gue ganteng aja udah cukup,” balas Farel sambil nyengir.
Yena menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan tawa yang hampir pecah. Tapi ia tetap tegas, mengambil sepatu Farel yang terserak, meletakkannya di depan Farel, lalu menunjuk ke arahnya.
“Pakai. Sekarang.”
Farel hanya bisa nurut. “Baik, bos istri!” ujar Farel dengan nada bercanda sambil memasang sepatunya dengan enggan.
Setelah semuanya beres, Yena berdiri di ambang pintu, memperhatikan Farel yang akhirnya tampak lebih presentable. Tapi tetap saja, ekspresi jahil Farel tidak berubah.
“Nah, sekarang gantian gue nanya,” ujar Farel sambil menyeringai. “Lo mau kerja jadi stylist gue aja nggak, Yen? Gaji gede, loh.”
“Rel, pergi sana sebelum gue balikin dasi lo ke kepala,” jawab Yena sambil mengibas-ibaskan tangannya, berusaha menahan tawa lagi.
Dan Farel pun akhirnya pergi, meninggalkan rumah dengan gaya santai yang khas, meski sudah “dibereskan” oleh Yena.