Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Kembali Di Pernikahan Ayah
Veltika Chiara Andung adalah seorang wanita muda dengan karier gemilang di dunia kreatif. Di usianya yang ke-27, ia telah menorehkan namanya sebagai salah satu desainer interior terbaik di kotanya. Veltika adalah perpaduan sempurna antara ambisi dan keanggunan. Rambut hitam panjangnya selalu tertata rapi, menjadi ciri khas yang mencerminkan disiplin hidupnya. Namun di balik kesuksesannya, ada luka masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.
Veltika tumbuh sebagai anak tunggal dalam keluarga yang dulu harmonis. Setelah ibunya meninggal saat ia berusia belasan tahun, hubungan dengan sang ayah, Andung Bramanta, menjadi tumpuan utamanya. Ayahnya selalu menjadi sosok pelindung, sekaligus tempat ia bersandar. Namun, hubungan mereka mulai renggang ketika Andung mendadak memutuskan untuk menikah lagi. Pernikahan ini datang seperti badai di tengah laut tenang, membawa perempuan yang hampir tak dikenal Veltika masuk ke dalam hidup mereka.
Pernikahan ayah Veltika, Andung Bramanta, berlangsung di sebuah ballroom megah yang dihiasi dengan nuansa emas dan putih. Lampu kristal raksasa menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang memantulkan kemewahan di seluruh ruangan. Deretan meja dengan taplak satin putih dan bunga mawar putih menghiasi setiap sudut, menambah kesan elegan. Di tengah ruangan, terdapat panggung besar dengan dekorasi menyerupai taman impian, lengkap dengan lengkungan bunga dan lilin-lilin yang menyala temaram.
Para tamu yang hadir mengenakan pakaian formal terbaik mereka, bercengkerama di bawah alunan musik orkestra yang mengiringi suasana. Makanan mewah tersaji di meja prasmanan, mulai dari hidangan khas lokal hingga makanan internasional yang disiapkan oleh chef ternama. Pelayan-pelayan berseragam hitam putih berjalan sigap melayani para tamu, memastikan semua orang merasa istimewa.
Di tengah keramaian, Veltika berdiri di salah satu sudut ruangan, mengenakan gaun hitam sederhana namun memukau. Matanya mengikuti setiap langkah ayahnya yang tampak gagah dengan setelan jas hitam, berjalan mendampingi wanita yang kini menjadi istri barunya. Senyuman Andung terlihat begitu bahagia, tetapi hati Veltika justru dipenuhi kebimbangan. Ia mencoba menenangkan dirinya, namun pikirannya terus melayang pada perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya.
Saat pasangan pengantin menaiki panggung untuk menyampaikan ucapan terima kasih, Veltika mendengar tepuk tangan riuh dari para tamu. Namun, semuanya seakan terhenti ketika ia melihat seorang pria muda muncul dari kerumunan, berjalan mendekat ke arah panggung. Pria itu tampak mengenakan jas abu-abu, dengan tatapan mata yang begitu familier. Denis Irwin Jatmiko. Tubuh Veltika menegang seketika. Dalam sekejap, semua kenangan masa lalu kembali menyeruak, membanjiri pikirannya di tengah suasana pesta yang megah.
Veltika memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan itu, namun justru semakin jelas kenangan itu menyeruak ke permukaan. Ia teringat malam di mana dirinya terjebak dalam pesona Denis Irwin Jatmiko. Malam itu begitu nyata—aroma parfum pria itu masih terbayang, hangatnya sentuhan tangan Denis di punggungnya, dan suara baritonnya yang memanggil namanya dengan lembut.
Mereka bertemu di sebuah pesta teman, keduanya asing di tengah keramaian. Awalnya hanya obrolan ringan yang tak disengaja, tetapi tatapan Denis, tajam namun hangat, membuat Veltika tak mampu berpaling. Waktu seakan melambat ketika Denis mengulurkan tangan, mengajaknya berdansa di bawah lampu temaram. Tanpa ia sadari, ia menyerahkan dirinya pada momen itu, tenggelam dalam kenyamanan yang Denis tawarkan.
Malam itu berakhir dengan kebersamaan yang tak terduga. Denis membawanya ke tempat yang sunyi, hanya mereka berdua, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Ia ingat bagaimana Denis membisikkan kata-kata lembut di telinganya, menenangkannya, membuatnya merasa istimewa. Tak ada satu pun saat itu yang terasa salah. Malam itu hanya tentang mereka—dua jiwa yang saling tertarik, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi keesokan harinya.
Namun, kini kenangan itu menjadi beban. Lelaki yang pernah membuainya dengan kehangatan kini berdiri di hadapannya, tidak lagi sebagai seorang asing, tetapi sebagai adik tirinya. Veltika merasakan rasa malu, amarah, dan kebingungan berbaur menjadi satu. Apakah Denis juga mengingat malam itu? Atau bagi Denis, malam itu hanyalah cerita singkat yang tak berarti? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui benaknya, membuatnya sulit berpikir jernih.
"Vel, kenalkan ini putraku satu-satunya, Denis," suara lembut namun penuh wibawa dari Caroline, istri baru ayahnya, memecah suasana di ruang tamu mewah itu. Veltika yang sedang sibuk menyesap teh hangatnya, nyaris tersedak mendengar nama itu. Ia menoleh perlahan, dan saat pandangannya bertemu dengan pria yang berdiri di samping Caroline, jantungnya berdegup kencang.
Denis Irwin Jatmiko.
Pria itu berdiri dengan tenang, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, memberi kesan santai namun tetap memikat. Tatapannya dingin namun tajam, bibirnya melengkungkan senyum tipis, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Tapi Veltika tahu, ia tidak mungkin salah. Itu dia—pria yang pernah membuatnya lupa akan segalanya, pria yang pernah memeluknya begitu erat di malam yang tak terlupakan itu.
"Senang bertemu denganmu, Kak Veltika," ucap Denis dengan nada tenang, tangan kanannya terulur ke arahnya.
Tubuh Veltika kaku, namun ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Bibirnya membentuk senyuman yang dipaksakan, dan dengan sedikit ragu, ia menerima uluran tangan itu. Sentuhan Denis mengirimkan gelombang memori yang membuat kepalanya berputar. Ia mencoba membaca ekspresi Denis, mencari tahu apakah pria itu sengaja menyembunyikan sesuatu, tapi Denis tetap tenang—terlalu tenang.
"Halo, Denis. Selamat datang di keluargaku," jawab Veltika akhirnya, suaranya sedikit bergetar.
Denis hanya tersenyum kecil, tapi matanya berbicara lebih banyak daripada bibirnya. Dalam tatapan itu, Veltika tahu Denis tidak melupakan apapun. Malam itu masih hidup di antara mereka, meski keduanya sekarang berada dalam situasi yang jauh lebih rumit dan mustahil.
"Maaf ya, waktu perkenalan Denis dulu, dia lagi di Singapura, jadi baru bisa bertemu sekarang," tambah Ibu Caroline dengan nada ceria, seolah suasana canggung yang melingkupi ruang tamu itu tak pernah ada. Wanita paruh baya itu tampak sangat bahagia, jemarinya menggenggam lengan Denis dengan bangga, seperti ingin menunjukkan kepada dunia bahwa putranya adalah kebanggaannya.
Veltika berusaha keras mempertahankan ekspresinya tetap tenang, meskipun di dalam dirinya, badai emosi sedang bergemuruh. Ia menyesap teh di tangannya dengan perlahan, mencari celah untuk menghindari kontak mata lebih lama dengan Denis. Namun, Denis tampak santai. Bahkan, ada kilatan kecil di matanya yang membuat Veltika semakin gugup.
"Ah, begitu ya," sahut Veltika akhirnya, mencoba tersenyum. "Kedengarannya seru ya, tinggal di Singapura."
"Memang seru," Denis menjawab dengan nada ringan, mengangkat bahunya sedikit. "Tapi di sana terlalu sibuk, jadi pulang ke sini rasanya lebih... menenangkan."
Setiap kata yang keluar dari mulut Denis seolah memiliki makna tersembunyi, dan Veltika bisa merasakannya. Caroline melanjutkan pembicaraan, menjelaskan betapa bangganya ia pada Denis yang sukses dengan kariernya di luar negeri. Tapi bagi Veltika, suara Caroline seperti menjadi latar belakang samar-samar, tidak mampu mengusir pikiran-pikiran yang terus berputar di kepalanya.
Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Kenangan malam itu dan kenyataan hari ini saling berbenturan, menciptakan rasa canggung yang tidak bisa ia jelaskan. Dan setiap kali Denis meliriknya, senyum kecil di sudut bibirnya seolah menjadi pengingat bahwa ada rahasia besar di antara mereka, rahasia yang tak boleh sampai terungkap di depan keluarga mereka